Mentari pagi ini terlihat sangat malu-malu, sinar redupnya membuat orang mengira kalau hari itu masih malam. Tapi, suara kehebohan dikamar Bima terdengar.
"Hey! Jangan dorong-dorong! Aku duluan yang mau pakai kamar mandi!" ucap Juna menghadang pintu kamar mandi.
Juno mendesak Juna. "Plis, udah diujung banget! Aku duluan ya..."
"Nggak!"
"Tolong lah, keburu kebobolan ini..."
Bret!
Dentuman keras terdengar dari bokong Juno.
"Kan..." ucap Juno lemas.
"Pfft, hahahaha!" tawa Juna sangat keras hingga membangunkan Yuda.
Yuda yang kesal melempar bantal. "Sana masuk kamar mandi, udah bau tai!" ketus Yuda menutupi hidungnya.
Satu jam kemudian, mereka berempat berkumpul didalam kamar.
"Gimana ujian kalian? Lancar?" tanya Bima.
"Yah~ begitu lah... Kami bosan menunggu giliran, bertarung..." desah Juna.
"Hmm, betul... Aku saja kadang sampai tertidur sangking bosannya." ucap Juno yang sibuk mengunyah keripik singkong.
"Tapi, Bim. Sumpah, pertarungan kalian epik banget. Aku aja sampe ngebayangin gimana caranya kamu ngalahin si sombong Varka itu pas dia lagi pakai jurus Bayangan Darah Iblis." puji Juna.
Bima menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Yah... Begitu lah... Lagi pula jurusnya tak begitu kuat, kok."
"Bohong banget... Padahal jurus itu terkenal sebagai jurus penambah kekuatan atau sihir, kalau kita berdua melawan satu orang pengguna jurus itu saja pasti nggak bakal bisa."
"Itu karena kalian lemah." ketus Yuda.
Ting Ting Ting ...
Suara lonceng berbunyi, para murid akademi bergegas menuju ruang kelas masing-masing.
—
Didalam ruangan kelas, Sooji mengumumkan kalau sebentar lagi mereka harus bergegas ke gedung arena.
"Ujian kedua akan segera dimulai. Jadi, dalam tiga puluh menit kedepan— kalian harus bergegas kesana." ucap Sooji.
Seketika kelas ricuh.
"Pak! Kita kan belum belajar apapun setelah ujian pertama, gimana caranya kita bisa melewati ujian selanjutnya?"
"Benar, pak! Kita juga baru selesai ujian pertama, masa langsung ada ujian kedua?"
Sooji menghela nafas. "Ujian kedua ini adalah ujian kelompok, tujuan ujian ini adalah untuk menyelesaikan misi di Mading. Jadi, selama ujian kedua berlangsung— kelas akan dikosongkan sementara."
Ted mengangkat tangannya. "Apa misinya, pak?"
"Misinya tergantung tingkat kesulitan. Pertama, ada tingkat Normal, bisanya ditingkat ini kalian hanya perlu membantu para warga disekitar akademi— tidak terlalu sulit bukan?" Sooji memiringkan kepala. "Terus ada tingkat E, ditingkat ini kalian akan membasmi monster-monster kecil— contohnya tikus, belalang, atau hama petani lainnya,"
"Lalu tingkat D, ini sedikit lebih sulit... Kalian harus membasmi monster-monster atau iblis kecil yang muncul di lokasi yang telah ditentukan— contohnya goblin, tuyul, atau bisa jadi Imp,"
"Lalu tingkat C, ini tidak dianjurkan dan sangat berbahaya! Ditingkat ini, kalian harus membasmi para Orc liar, Orge, iblis berjenis Hound, atau bahkan Jiangshi."
"Ugh, mendengar namanya saja sudah merinding." ucap Ted memeluk tubuhnya sendiri.
Bima mengangkat tangannya. "Lalu, berapa banyak misi yang harus kita tuntaskan, pak?"
"Pertanyaan bagus!" Sooji tersenyum. "Semua tergantung tingkatannya. Tingkat normal itu 100 kali, tingkat E itu 50 kali, tingkat D 10 kali, dan tingkat C 1 kali." jelas Sooji.
"Wah, lebih cepat kalau kita ngambil tingkat C ya?"
"Itu bahaya bodoh! Kamu tahu Jiangshi itu sangat kejam kan?"
"Ugh, benar juga..."
Para murid berargumen tentang penjelasan dari Sooji ke teman sebangku mereka, tapi Sooji hanya menikmati kegaduhan kelasnya.
"Kalau bapak boleh ngasih saran, lebih baik kalian ambil misi tingkat D. Kenapa? Karena misi ditingkat ini meningkatkan pengalaman kalian untuk bertarung secara langsung degan para iblis, musuh kita,"
"Tapi bagi kalian yang akan memilih tingkat C, lebih baik urungkan niat kalian. Karena ditingkat ini, nyawa kalian akan terancam dan akademi juga angkat tangan soal masalah ini..."
"Akademi juga akan menganggap kalian hilang ketika misi."
Ting Ting Ting.
Suara bel kembali berbunyi.
"Nah, baiklah anak-anak. Silahkan kalian menuju gedung arena."
Para murid berjalan menuju gedung arena.
Melihat jumlah murid di akademi ini, Bima merasa heran. "Apa murid yang tidak lulus juga banyak? Kenapa ini berkurang setengahnya?" batin Bima.
Wajar kalau Bima tidak tahu, ketika ujian berlangsung Bima dan Yuda malah menuju ruang kelas akademi untuk mencari petunjuk siapa saja orang-orang yang berkaitan dengan Zenith di akademi Hongtie ini.
Tora naik keatas podium, dengan mantel putih berbulu— ia tampak sangat berkarisma.
"Selamat bagi kalian yang telah lulus ujian pertama. Sebagai hadiah kalian akan diberi makan gratis selama jam makan."
Seluruh murid yang berkumpul bertepuk tangan dengan bahagia. Namun...
"Ujian kedua akan dimulai Minggu depan, ujian ini akan dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 10 orang, dan kalian bebas memilih siapa anggota kalian,"
"Selama seminggu kedepan— kelas akan dikosongkan, kalian dapat menggunakan waktu itu untuk memilih anggota kalian,"
Setelah itu, kepala akademi menjelaskan tentang ujian yang sangat mirip dengan apa yang dijelaskan oleh Sooji ketika dikelas.
"Setelah kalian membentuk kelompok, silahkan melapor ke guru yang berjaga didepan Mading— tepatnya disebelah timur gedung arena ini,"
"Sekian, terimakasih." Tora turun dar podium lalu meninggalkan arena.
Semua murid ikut membubarkan diri, namun Bima ditahan oleh beberapa murid.
Seorang murid perempuan memberi salam formal dengan menggenggam kepalan tangan kanannya dengan tangan kirinya. "Salam kenal, saya Irli. Saya dari jurusan sihir," Irli menatap Bima. "Apa kamu mau membentuk kelompok denganku?"
Bima tersenyum, tapi Litzie menyelip ditengah antara Irli dan Bima. "Kamu harus melakukan tes dulu~" ucap Litzie melempar senyum pahit.
"Memangnya kamu siapa?!" tanya Irli dengan berapi-api. "Kamu kan bukan kelompoknya."
"Kata siapa?! Aku dan dia itu satu kelompok waktu ujian pertama, otomatis dia sekarang kelompokku!"
"Heh, yang lalu biarlah berlalu— memangnya kenapa kalau kamu kelompoknya dulu?! Belum tentu juga dia mau sekelompok lagi denganmu."
"Hoo~ kalau begitu ayo kita bertarung, siapa yang memang akan jadi kelompoknya— gimana?"
Kedua perempuan itu saling beradu tatapan tajam, bagaikan dua singa betina yang ingin bertarung memperebutkan seekor singa jantan. Ketika ditengah krisis itu, Bima melesat diam-diam meninggalkan mereka disana.
Ted melihat sekeliling, ia kehilangan Bima. "Bangsat, lagi-lagi dia begini..." gerutu Ted menendang lantai arena.
Litzie dan Irli bertarung, Ted juga menggunakan jurus seribu langkah sunyi meninggalkan mereka berdua yang sedang sibuk memperebutkan Bima.
Bima duduk termenung ditepi tebing— tempat biasa mereka berkumpul. Bima juga memikirkan, "siapa ya yang harus aku rekrut?"
Tapi ditengah-tengah ia sedang berpikir keras, justru teriakan Ted yang sedang dikejar oleh murid lain. Langkah kakinya memantul diatas kerikil, daun-daun tersibak tak karuan karena angin dari langkah kaki Ted sangat besar.
"BIMA BANGSAT! TOLONG AKU!" teriak Ted dengan lantang.
Ted dikejar oleh banyak murid, para murid tahu kalau Ted dekat dengan Bima. Jadi, alih-alih mereka mendekati Ted— sebenarnya tujuan mereka mendekati Bima lewat Ted.
Bima terbelalak melihat Ted yang sedang berlari keatas tebing. Dengan tertatih, Bima langsung naik keatas pohon untuk bersembunyi.
"BIMA! DIMANA KAMU?!" teriak Ted lagi.
Melihat para murid yang mengejar dirinya mendekat, Ted langsung terjun bebas dari atas tebing. Beruntungnya ia selamat karena tinggi tebing itu hanya 6 meter dari tanah. Lalu Ted kembali berlari sampai terkentut-kentut.
Bima melihat para murid yang mengejar Ted menyerah, mereka seperti kehilangan semangat.
"Sudahlah, ayo kita buat kelompok lain saja..."
"Benar, pasti tidak ada harapan bagi kita, huft..."
Karena semua murid sudah turun dari tebing, Bima turun dari pohon dan langsung pergi ke asramanya secepat kilat.
—
Angin malam berhembus kencang, udara dingin sedikit kasar membuat rambut Bima yang terikat terbang kesana kemari.
Bima yang sedang duduk di bangku belakang gedung asrama, lalu Yuda menghampiri dirinya.
"Hey, ngapain kamu disitu?" tanya Yuda memecah ketenangan Bima.
"Tidak ada... Aku hanya memikirkan kelompok untuk ujian kedua nanti."
"Kenapa nggak dengan kelompok sebelumya, kan sudah ada 5 orang termasuk kamu."
"Iya... Tapi 5 orang lagi?" tanya Bima menengok kearah Yuda.
Yuda duduk disebelah Bima. "Yah tinggal cari lah, begitu aja kok repot."
"Ah, apa aku ajak si kembar?"
"Duo babi itu? Kamu yakin?" tanya Yuda menyipitkan mata.
"Kenapa nggak? Mereka itu kan dari jurusan ahli beladiri, mereka juga berfokus ke-pertahanan badan— mereka pasti cocok."
Yuda mendesah. "Hah... Sebenarnya aku benci dengan mereka, aku berani bertaruh kalau mereka pasti cuma jadi beban."
Bima menyenggol pelan Yuda. "Ayolah~ coba kamu percaya pada mereka, lagi pula kita sudah lama tinggal bersama... Mau sampai kapan kamu terus nutup diri begitu?"
"Aku bukannya menutup diri, tapi aku masih nggak percaya dengan semua orang disini... Aku yakin pasti ada mata-mata dari istana kekaisaran untuk memata-mataiku."
Bima menatap Yuda. "Aku akan menjamin, mereka pasti bukan bagian dari istana."
"Hey, kalian berdua sedang pacaran ya?" suara cempreng terdengar dari arah belakang— itu adalah suara Ted.
Yuda mendesah. "Yang datang malah si tolol." Yuda bangkit lalu pergi meninggalkan Bima.
Bima terdiam, Ted menghampiri Bima. "Dia kenapa?"
"Entah lah, dia memang begitu." jawab Bima kembali menatap pohon besar yang ada dihadapannya.
"Kamu sudah memikirkan anggota ya?" tanya Ted.
"Justru itu... Aku belum menemukan ide... Aku sih maunya kita berlima masih satu kelompok, tapi lima orangnya lagi siapa?"
"Ajak aja si kembar." usul Ted sambil mengeluarkan gorengan dari plastik. "Kamu mau?" Ted menawarkan gorengan yang ada di plastik.
Bima bangkit. "Ayo temani aku ke kantin, aku mau makan."
"Aku baru dari sana."
"Kamu nggak makan emangnya?"
"Aku beli ini." Ted mengangkat plastik yang berisikan gorengan.
"Bodoh, kamu lupa kita dapat makanan gratis? Kenapa kamu beli gorengan, hah?"
"Ah! Iya juga! Ayo ke kantin."
Ted dan Bima pergi ke kantin bersama.
—
Setelah makan, Bima dan Ted keluar dari kantin. Namun mereka dihadang oleh segerombolan murid yang tiba-tiba memberikan salam formal ke Bima dan Ted.
"Bima, tolong terima kami sebagai anggotamu— kami akan melakukan apa saja yang kamu minta." ucap salah satu murid.
Bima terkejut, ia bingung harus bilang apa. Tetapi, tiba-tiba Yuda muncul entah dari mana.
Yuda merangkul Bima. "Kita sudah memiliki kelompok, tapi hanya kurang lima orang... Jadi kita nggak mungkin Nerima kalian semua."
"Sial, sisa 5 orang?"
"Bagaimana nasib kita nanti?"
"Disini kemungkinan ada 30 orang, mana mungkin bisa jadi satu kelompok?"
Bisikan demi bisikan terdengar, Bima berusaha tenang.
Sejurus kemudian, Bima memikirkan sesuatu. "Kami sebenarnya sudah bertujuh, sisa tiga orang lagi. Lagi pula, aku bukan cuma sekedar mencari anggota untuk ujian kedua... Tapi aku juga ingin mencari sahabat yang bisa dan sanggup menemaniku baik itu susah maupun senang."
Bima menghirup napas panjang. "Aku juga ingin mencari sahabat yang mau menghancurkan Zenith, bagaimanapun caranya."
Mendengar kata-kata Bima, semua murid yang berkumpul membubarkan diri. Namun ada tiga orang murid yang masih bertahan.
Mereka adalah Indri dari jurusan sihir, Giagi dari jurusan pedang, dan Jinna dari jurusan ahli beladiri. Motif mereka sama, yaitu anggota keluarga mereka dijadikan tumbal oleh Zenith.
—
1 Minggu kemudian, seluruh murid tahun pertama berkumpul di sebelah timur gedung arena.
"Para perwakilan kelompok, silahkan berbaris didepan Mading." ucap Timothy— salah satu guru.
Seluruh perwakilan kelompok berbaris, begitu pula dengan Bima.
Singkat cerita, Bima berdiri didepan Mading yang sangat besar. Disana terpampang misi dari tingkat normal hingga tingkat D.
"Dimana misi tingkat C?" batin Bima.
Tak lama dari itu, seorang guru datang kedepan Mading dan menempel selembaran kertas yang bertuliskan 'misi tingkat C: membasmi 100 Death Hound yang menginvasi desa Cabala'.
Dengan secepat kilat, Bima mengambil misi itu. Bahkan Timothy pun tak sempat melihat kalau Bima sudah mengambil misi itu.
Bima langsung melapor ke guru penjaga Mading.
"Kamu yakin ingin mengambil misi ini?" tanya guru penjaga menengok kearah Bima.
Dengan penuh keyakinan Bima menjawab. "Ya, saya ingin memberikan pengalaman yang lebih baik untuk anggota saya," Bima mengangkat kedua bahunya. "Lagi pula, kalau ada jalan yang cepat— kenapa harus memilih jalan yang berputar-putar?"
Guru itu hanya tersenyum tipis. "Baiklah, semoga kalian pulang dengan selamat." guru itu menulis laporan tentang kelompok Bima mengambil misi tingkat C.
Bima berjalan kembali ke kelompoknya dengan percaya diri, kemudian ia memberikan selembaran misi itu ke anggotanya.
"Kamu gila, hah?! Kamu ingin kita mati?!" ucap Ted memegangi kerah Bima.
"Melawan Hound aja sudah sulit, apalagi Death Hound?!" Juno merasa frustasi.
"Tenang dulu," Indri mencoba memisahkan Ted dengan Bima. "Ayo kita dengar dulu penjelasan dari Bima."
Bima menepuk-nepuk kerahnya lalu membenarkan seragamnya. "Aku ingin kalian memiliki pengalaman yang melebihi murid-murid lain..."
Mendengar perkataan Bima, teman-temannya menatap satu sama lain.
"Hanya kamu saja yang kuat, kita disini masih belum sekuat dirimu... Yang ada kita cuma jadi beban buat kamu." ucap Juna.
"Benar, mendengar nama Death Hound saja membuatku sudah bergidik." ucap Giagi.
Bima tersenyum tipis. "Kalau kalian tak sanggup melawan Death Hound. Gimana kita mau melawan Zenith?"
Teman-teman Bima kembali menatap satu sama lain, walau diantara mereka tak memiliki kaitan dengan Zenith— tapi mereka mencoba untuk mendukung Bima.
"Yah, mau bagaimana lagi?" Yuda mengangkat bahunya.
"Pengalaman kita memang masih kurang, tapi kalau menurutku... Jika ada badai didepan lebih baik aku masuk kedalam badai tersebut lalu bertahan hidup didalamnya hingga badai itu berhenti, ketimbang aku harus berlari namun terus dikejar oleh badai itu— lalu akhirnya mati ditelan badai." ucap Litzie merangkul Indri yang sedari tadi menatap kearah tanah.
"Artinya... Jika kita bertemu dengan masalah, lebih baik kita hadapi dan bertahan hingga masalah itu selesai. Daripada kita harus terus berlari menghindari masalah tapi masalah itu terus tetap mengejar kita. Betul, nggak?" Litzie melirik kearah Bima.
Bima mengangguk sambil tersenyum. "Pokoknya kita harus menjalani misi ini."
"Kalian enak bisa bilang begitu, tapi gimana dengan nyawa kita?!" tanya Ted.
"Justru yang mengancam nyawa lah yang membuat kalian jauh lebih kuat. Jadi, jangan khawatir, aku yakin kalian bisa." Bima meyakinkan seluruh anggotanya.
Dengan berat hati, mereka semua pergi menuju lokasi yang didampingi oleh seorang guru bernama Jarji.
Dengan menunggangi delman yang ditarik oleh dua ekor Othari, mereka semua kembali berkenalan dan mengakrabkan diri.
Tapi... Litzie tampak tidak senang melihat Indri dan Jinna yang terus menempel ke Bima.
"Ck, dasar buaya!" decak Litzie.
"Lihat, kan?" bisik Ted ditelinga Litzie. "Bima itu buaya, mending sama aku, ya?" goda Ted.
Litzie menjauh. "Aku baru tahu sandal jepit bisa bicara." ketus Litzie lalu membuang muka kearah jendela yang ada disebelahnya.
"Sandal jepit...." gumam Ted sepanjang jalan.
Bersambung...