Bab 18, Jalan yang Tak Lagi Sendiri

Istana Victoria kembali hidup pagi itu.

Setelah lama sunyi karena sang Raja menghilang, kini halaman depan kembali ramai oleh para bangsawan, pemuka rakyat, dan perwakilan kerajaan tetangga. Undangan resmi telah dikirimkan: Raja Aryan akan menyampaikan visi baru bagi kerajaan, dan meminta suara rakyat.

---

Aryan berdiri di hadapan kerumunan yang memenuhi aula istana. Jubahnya sederhana—bukan emas atau permata, hanya kain beludru biru tua, disulam dengan lambang matahari kecil di ujung lengan.

Ia membuka pidatonya dengan tenang.

> “Hari ini, aku berdiri di sini… bukan untuk menunjukkan darah biru,

tapi untuk menunjukkan bahwa aku adalah bagian dari kalian —

rakyat yang bangkit karena harapan, bukan hanya karena silsilah.”

Beberapa bangsawan mencibir pelan. Tapi rakyat biasa—yang diundang langsung dari desa dan kota kecil—menatap dengan antusias.

> “Aku mencintai seseorang. Bukan dari keluarga kerajaan. Bukan dari darah ningrat.

Tapi ia membuatku lebih berani dari mahkota mana pun.

Jika aku harus memilih antara cinta dan takhta—maka aku akan menciptakan takhta di mana cinta tidak lagi dianggap kelemahan.”

Ruangan sunyi. Kata-katanya menyusup lebih dalam dari yang diharapkan.

Ratu Dowager menyaksikan dari balkon atas, matanya dalam dan tajam.

Kalensa hadir juga, duduk tenang di barisan depan, dengan gaun warna lavender pucat. Ketika mata mereka bertemu, Kalensa memberi anggukan kecil.

Mereka tidak lagi saling bersaing.

Mereka kini saling menghormati.

---

Sementara itu, di Darsena, Lana sedang membaca berita yang dibacakan oleh pengajar di balai pelatihan.

“Raja Aryan menyampaikan pidato perubahan. Reaksi beragam. Sebagian dewan mendukung, sebagian menolak. Tapi rakyat mulai percaya: raja mereka mungkin tak sempurna, tapi ia nyata.”

Lana menatap langit dari jendela.

> “Kau benar-benar berani, Raja. Dan aku… sedang mengejarmu dari jalan yang kutempuh sendiri.”

Hari itu, Lana menjadi narasumber untuk pertama kalinya dalam diskusi umum antar pelajar. Ia berbicara tentang “keberanian perempuan di tengah sistem yang melawan.”

Saat ia berdiri di depan podium kecil, tangan sempat gemetar. Tapi begitu ia mulai bicara—semuanya mengalir.

> “Dulu aku percaya aku tidak cukup. Karena aku bukan siapa-siapa.

Tapi kini aku belajar… bahwa ‘siapa’ bukan ditentukan oleh darah, tapi oleh arah.

Dan aku sedang menuju tempat di mana aku bisa berdiri, bukan sekadar menunggu.”

Tepuk tangan pun bergema. Beberapa pengajar menatap kagum. Salah satu dari mereka berkata pelan, “Gadis ini… bisa menjadi suara baru untuk perempuan di negeri ini.”

---

Sore harinya, Lana menerima surat.

Capnya kecil, tak resmi. Tapi ia tahu… ini dari Aryan.

> *Lana,

Hari ini aku berbicara untukmu. Untuk kita.

Dunia belum sepenuhnya berpihak, tapi aku merasa… sesuatu sedang bergeser.

Kalensa sudah berbicara di depan Dewan, membelaku. Bahkan Ratu mulai melihat bukan hanya siapa yang bersamaku… tapi kenapa.

Aku tidak bisa menjanjikan kapan,

tapi aku berjanji: saat dunia sudah siap menerimamu, aku akan berdiri paling depan.

Dan jika mereka tidak pernah siap—aku akan tetap memilihmu.*

Lana menggenggam surat itu erat-erat.

Air matanya jatuh—bukan karena sedih,

tapi karena rindu yang kini terasa seperti kekuatan.

---

Di istana, Kalensa berbicara langsung kepada Ratu Dowager di taman mawar istana.

“Raja Aryan bukan lagi anak yang kabur dari tanggung jawab, Yang Mulia. Ia sudah kembali… bukan untuk tunduk, tapi untuk berdiri. Dan seorang raja yang berdiri karena cinta akan lebih dicintai oleh rakyatnya daripada yang hanya berdiri karena garis darah.”

Ratu Dowager memetik satu kelopak mawar, menggenggamnya lama.

“Kau mencintainya, bukan?”

Kalensa mengangguk, pelan.

“Tapi kini aku tahu… aku mencintainya cukup untuk melepaskannya pada orang yang membuatnya lebih hidup.”

Ratu menatap bunga di tangannya.

“Mungkin… kerajaan ini memang membutuhkan perubahan. Dan mungkin… perubahan itu dimulai dari cinta yang paling sederhana.”

To Be Continued...