Hari-hari Lana di Darsena sudah tidak sama.
Dulu ia duduk di bangku paling belakang, mencatat dengan canggung. Kini, ia diminta mengajar adik-adik pelatihan, memimpin diskusi kecil, bahkan diberi tawaran untuk mengikuti program lanjutan di Ibu Kota.
Namun satu sore, saat matahari hampir tenggelam di balik bukit, ia menerima surat tak terduga—disampaikan oleh seorang penunggang kuda berarmor perak. Bukan dari Aryan. Bukan dari Raveena.
Melainkan… dari Ratu Dowager.
---
Isi suratnya singkat, tapi mengguncang:
> *“Lana dari Aurenya,
Aku mengundangmu ke istana Victoria.
Bukan sebagai rakyat biasa, bukan pula sebagai tamu,
tapi sebagai seseorang yang membawa dampak bagi masa depan kerajaan.
Hadirlah. Bawa dirimu sebagaimana adanya.
– Ratu Dowager”*
Lana membaca surat itu berulang-ulang. Tangannya gemetar. Tapi hatinya… tenang.
“Ini waktunya,” bisik Lana pada diri sendiri.
---
Malam itu, Lana duduk di bawah langit Darsena, bersama Raveena.
“Kau tahu kenapa ia memanggilmu sekarang?” tanya Raveena.
Lana mengangguk. “Karena waktuku untuk bersembunyi sudah habis.”
“Kau takut?”
“Ya. Tapi aku lebih takut… hidup selamanya dalam bayangan cinta yang tak pernah kupertahankan.”
Raveena tersenyum. “Kalau begitu, pergilah. Tapi ingat, kau tidak pergi untuk diterima. Kau pergi karena kau telah menerima dirimu sendiri.”
---
Sementara itu, di istana, Aryan menerima informasi bahwa Ratu telah mengirim utusan ke Darsena.
“Apakah dia mengundangnya?” tanyanya pada Kalensa.
Kalensa mengangguk. “Ratu mungkin tidak mengakuinya padamu… tapi ia ingin melihat siapa perempuan yang membuat anaknya berubah.”
Aryan terdiam lama. Ia menatap langit istana malam itu.
“Lana akan datang bukan sebagai gadis desa, tapi sebagai wanita yang telah memilih jalannya sendiri.”
---
Perjalanan Lana ke istana dimulai tiga hari kemudian.
Ia tidak mengenakan gaun mewah. Ia tetap memakai pakaian hasil tenunan Darsena—sederhana tapi rapi. Rambutnya dikepang ke belakang. Wajahnya tak berhias, tapi penuh keyakinan.
Saat ia tiba di depan gerbang istana, para penjaga menatap ragu. Tapi begitu mereka melihat surat dari Ratu, sikap mereka berubah hormat.
Dan saat pintu utama dibuka—Aryan sudah berdiri di sana, menunggunya.
---
Mereka bertatapan lama.
Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata.
Hanya dua mata yang saling berkata:
> “Kau sudah menjadi seperti yang kuharapkan.
Dan aku pun… sedang menuju bentuk terbaik diriku.”
Aryan mengulurkan tangan. Lana menyambutnya.
Mereka berjalan masuk ke istana. Berdua.
Untuk pertama kalinya… tanpa rasa ragu, tanpa merasa tidak pantas.
---
Ratu Dowager menyambut mereka di aula kecil. Ia duduk tenang, mengenakan gaun hitam dengan emas tipis.
Lana membungkuk hormat.
“Bangunlah,” ujar sang Ratu. “Aku tidak memanggilmu untuk tunduk. Aku memanggilmu untuk dinilai.”
Lana menatap lurus. “Silakan.”
Ratu bangkit perlahan, lalu berjalan mengitari Lana sekali. Ia memperhatikan cara Lana berdiri, cara ia bernapas, cara ia… tidak gemetar.
“Banyak gadis datang ke istana dengan gelar, tapi sedikit yang datang dengan keyakinan. Kau bukan bangsawan. Tapi kau tidak mencoba menjadi seperti mereka. Dan itu… adalah keberanian paling jujur.”
Lana tak menjawab.
Ratu tersenyum samar. “Malam ini akan ada perjamuan terakhir sebelum penentuan siapa yang akan menjadi ratu berikutnya. Aku ingin kau hadir. Bukan untuk berkompetisi, tapi untuk berdiri di sana, sebagai pilihan anakku.”
Aryan menyela pelan. “Jika Ibunda mengizinkan… aku ingin memperkenalkannya pada seluruh tamu.”
“Lakukan,” jawab Ratu.
---
Malam itu, istana Victoria berubah jadi lautan lampu dan warna. Undangan dari kerajaan tetangga, bangsawan, dan para pemimpin berkumpul untuk perjamuan yang katanya akan menjadi malam terakhir sebelum penentuan ratu mendatang.
Aryan melangkah ke tengah ruangan, menarik perhatian semua orang.
“Kalian semua tahu bahwa aku tidak memilih jalan seperti raja-raja sebelumku.
Tapi malam ini, aku ingin menunjukkan… bahwa aku memilih dengan keyakinan penuh.”
Semua mata menoleh saat Lana masuk. Tanpa mahkota. Tanpa perhiasan. Hanya kehadiran yang tidak bisa diabaikan.
Aryan menatapnya.
“Ini adalah Lana. Bukan putri kerajaan. Tapi perempuan yang membuatku percaya bahwa kerajaan ini butuh lebih dari sekadar darah biru. Ia membawa harapan yang tumbuh dari tanah. Bukan dari silsilah, tapi dari kesungguhan hati.”
Sebagian tamu terdiam.
Sebagian lain… bertepuk tangan.
---
Di antara tamu, Kalensa berdiri paling awal untuk memberi tepuk tangan. Ratu Dowager menatap Lana dari kejauhan — tak lagi dengan ujian, tapi dengan pengakuan diam.
> Dan malam itu, di bawah langit Victoria, dua dunia tak lagi terpisah.
Karena di antara cahaya lilin dan tatapan banyak mata,
ada cinta yang akhirnya berdiri tanpa perlu disembunyikan lagi.
To Be Continued...