Hari-hari pertama di istana terasa seperti mimpi yang belum selesai bagi Lana.
Ia kini tinggal di sayap timur istana, kamar luas dengan jendela tinggi dan perabotan yang berkilau. Tapi kebebasan yang dulu ia nikmati di Darsena dan Aurenya, hilang perlahan di balik dinding marmer dan protokol kerajaan.
Hari pertama saja, sudah tiga pelayan berbeda mengatur apa yang harus ia kenakan, bagaimana ia harus duduk, dan bagaimana caranya tersenyum di depan tamu.
“Permaisuri tidak boleh berjalan tanpa pendamping.”
“Suaramu harus lebih lembut, jangan terlalu tajam.”
“Kau akan makan duluan, tapi tidak boleh menyentuh makanan sebelum ratu mengambil sendok pertama.”
Lana hanya diam, mengangguk.
Tapi dalam hati, ia bertanya:
> Apakah cinta ini harus dibayar dengan kehilangan diriku sendiri?
---
Aryan mengetuk pintu kamarnya di sore hari. Lana membukanya dengan senyum lelah.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Lana menghela napas. “Istana... bukan tempat yang sunyi, tapi entah kenapa, aku merasa sangat sendiri.”
Aryan duduk di sisi tempat tidurnya. “Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku janji… kau tidak harus mengubah dirimu demi menjadi seperti mereka.”
Lana menatapnya, jujur. “Tapi bagaimana aku bisa menjadi bagian dari kerajaan, jika aku selalu jadi asing di antara mereka?”
Aryan diam. Lalu ia berkata, “Maka kita akan membentuk tempat yang baru. Di mana kau tidak harus menyesuaikan diri, tapi tempat yang menyesuaikan diri denganmu.”
---
Beberapa hari kemudian, Ratu Dowager mengundang Lana ke ruang pelatihan khusus untuk perempuan bangsawan. Di sana, ada beberapa wanita muda, beberapa dari kalangan tinggi, duduk di sekeliling meja bundar.
“Mulai hari ini,” kata sang Ratu, “kau akan belajar dari mereka. Dan mereka… akan belajar darimu.”
Lana bingung. “Belajar apa?”
“Cara bertahan di istana… tanpa kehilangan jiwa.”
---
Salah satu gadis bangsawan, Aleina dari keluarga Vardel, menatap Lana dengan pandangan sinis.
“Kau benar-benar percaya bisa menjadi ratu dengan latar belakang petani?” bisiknya.
Lana tersenyum. “Aku tidak pernah percaya. Tapi aku tahu bahwa aku bisa belajar. Dan kadang, orang yang paling rendah posisinya… punya pandangan paling luas tentang dunia.”
---
Sementara itu, Aryan menghadiri pertemuan tertutup bersama penasihat kerajaan dan utusan dari Valer, negeri Kalensa.
Mereka membicarakan kerjasama ekonomi dan batas wilayah, tapi Aryan sadar pembicaraan itu mengarah pada tekanan tak langsung untuk “menyesuaikan diri”—termasuk dalam urusan pendamping hidup.
Salah satu penasihat berkata, “Cinta memang bisa jadi pemicu perubahan, tapi kerajaan tidak dibangun hanya dengan puisi.”
Aryan menatapnya tegas.
“Justru karena cinta bukan puisi, aku harus berani mewujudkannya dalam kebijakan. Dan itu dimulai dengan siapa yang kuizinkan berdiri di sisiku.”
---
Malamnya, Lana dan Aryan duduk bersama di taman belakang istana. Angin berembus pelan. Mereka belum menikah, tapi kini dunia tahu: mereka akan menjadi pasangan kerajaan.
“Kau yakin, Tuan?” tanya Lana pelan. “Kau akan memimpin negeri ini. Tapi aku... aku masih belajar.”
“Kau tidak harus menjadi sempurna,” bisik Aryan. “Kau hanya perlu menjadi seseorang yang tidak berhenti tumbuh.”
Lana menggenggam tangannya. “Kalau begitu, bimbing aku.”
Aryan tersenyum. “Dan kau… kuatkan aku.”
> Karena cinta yang tumbuh bukan hanya tentang menerima.
Tapi tentang saling membawa — hingga dunia yang dulu asing,
menjadi rumah baru yang mereka bangun bersama.
To Be Continued...