Bab 22, Lidah yang Tersenyum, Mata yang Menguji

Perjamuan kerajaan tak pernah benar-benar soal makan malam.

Itulah yang pertama kali Lana sadari saat berdiri di depan cermin, mengenakan gaun berwarna merah marun rancangan Kalensa. Gaun itu sederhana namun penuh makna—tanpa perhiasan mencolok, tapi potongannya rapi dan anggun. Sebuah lambang keberanian yang tidak berteriak, hanya diam… namun kuat.

Kalensa berdiri di belakangnya, menyematkan bros kecil bergambar bunga liar di bahu gaun Lana. “Kau tahu arti bunga ini?” tanyanya.

Lana menggeleng.

“Ini disebut eldara. Ia tumbuh di tanah keras, mekar dalam diam, dan tak pernah tumbang meski musim berganti.”

Lana menatap bayangannya sendiri. “Semoga aku seperti itu malam ini.”

---

Aula utama istana Victoria dipenuhi tamu dari empat kerajaan sahabat: Valer, Elaira, Althura, dan Morland. Bangsawan-bangsawan dengan jubah mengkilap dan hiasan kepala mewah mengisi ruangan, membawa serta senyum-senyum palsu dan rasa ingin tahu yang terlalu terang.

> “Mana dia?”

“Benarkah gadis dari desa itu sudah diterima?”

“Ini lelucon, kan? Calon ratu tanpa silsilah?”

Bisik-bisik itu mengalir di udara seperti asap dupa, tidak terlihat tapi menyesakkan.

Lana memasuki aula bersama Aryan. Sejenak, suasana seolah berhenti. Semua mata tertuju pada gadis bertubuh ramping dengan sorot mata kokoh yang tidak biasa bagi “pendatang” baru.

Tapi Lana tidak mundur. Ia berdiri di sisi Aryan. Bukan di belakang. Bukan menunduk. Tapi sejajar.

---

Makanan pertama disajikan.

Percakapan pun dimulai, pelan-pelan merayap dari basa-basi menuju pertanyaan menyudutkan.

Lady Viviera dari Althura—berwajah tirus dengan mahkota kecil bertatah permata—tersenyum terlalu ramah.

“Nona Lana,” ujarnya sambil mengaduk sup, “di tempat asal Anda… apakah para wanita terbiasa memimpin percakapan meja jamuan?”

Lana menatapnya lembut.

“Tidak semua. Tapi kami terbiasa mendengarkan lebih dalam daripada sekadar yang terdengar di permukaan.”

Lady Viviera mengangkat alis, tapi tak menanggapi.

Beberapa bangsawan saling lempar pandang. Tapi Ratu Dowager yang duduk agak jauh, hanya mengangkat cangkir tehnya. Sorot matanya... tajam mengamati.

---

Lord Miren dari Morland—tua, berjenggot, dan berwajah datar—berbicara dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang.

“Jika kelak Anda menjadi permaisuri, bagaimana Anda melihat peran seorang ratu terhadap rakyat kecil, padahal Anda sendiri berasal dari mereka?”

Lana meletakkan sendoknya, lalu menjawab dengan nada tenang:

> “Saya tidak melihat rakyat kecil sebagai ‘mereka’. Saya pernah berada di sana. Dan justru karena itu, saya tahu betapa besar harapan yang tumbuh dari keterbatasan.

Jika menjadi ratu berarti harus melupakan masa lalu, maka saya tidak pantas menjadi ratu.

Tapi jika ratu adalah jembatan antara istana dan tanah, maka saya siap belajar untuk menjadi fondasinya.”

Beberapa bangsawan berhenti mengunyah.

Kalensa yang duduk di ujung meja tersenyum samar. Ratu Dowager meletakkan tehnya dengan pelan. Tidak ada tepuk tangan. Tapi juga… tidak ada tawa meremehkan.

---

Usai perjamuan, Lana berjalan sendiri di taman dalam istana. Angin malam menyentuh kulitnya dengan lembut. Ia menoleh saat mendengar langkah mendekat.

Aryan.

Ia mendekat perlahan, lalu berdiri di samping Lana, menatap bintang yang bersinar di langit gelap.

“Kau… luar biasa,” ujarnya.

“Aku gemetar sepanjang malam.”

“Dan tak ada yang tahu.”

Lana menatapnya. “Apa yang akan terjadi setelah ini?”

Aryan menarik napas panjang. “Setelah ini... para bangsawan akan semakin menajamkan tatapan mereka. Tapi rakyat—aku percaya—mulai membuka hati. Dan aku akan mulai membuktikan bahwa keputusan ini bukan karena cinta buta, tapi karena aku percaya bahwa kau bisa menyentuh negeri ini dari sisi yang belum pernah dijamah oleh siapa pun sebelumnya.”

Lana menunduk. “Aku takut.”

“Aku juga. Tapi kita melangkah bukan karena tidak takut. Kita melangkah karena apa yang kita perjuangkan lebih besar dari ketakutan itu.”

> Dan di bawah langit yang sama—langit yang dulu menaungi ladang Aurenya,

kini menaungi istana Victoria—Lana berdiri sebagai sosok yang tidak lagi perlu diterima...

tapi mulai diakui.

To Be Continued...