Angin pagi meniup tirai panjang kamar kerja Aryan. Di atas meja kayu besar, tergelar peta kerajaan Victoria lengkap dengan batas-batas desa, ladang, dan kota besar. Di atasnya tertancap jarum-jarum kecil merah.
“Ini titik-titik yang akan menerima program sekolah desa pertama,” ujar Aryan kepada Sir Elbar dan Kalensa.
“Kau yakin akan memulai dari bawah?” tanya Kalensa.
“Justru karena aku yakin,” jawab Aryan. “Jika istana terus menara gading, maka rakyat akan membencinya. Dan aku tidak ingin menjadi raja yang dibenci karena diam.”
Sir Elbar tampak ragu. “Yang Mulia... sebagian bangsawan mulai merasa resah. Mereka bilang kau terlalu... condong pada rakyat.”
Aryan menoleh. “Lalu apakah selama ini mereka condong ke diri sendiri?”
---
Sementara itu, Lana duduk sendiri di ruang baca istana. Buku di tangannya terbuka, tapi pikirannya mengembara. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah tenang. Namanya Lady Reitha, kepala pelayan utama istana—dan orang kepercayaan Ratu Dowager.
“Apakah Anda sedang belajar, Nona Lana?”
Lana tersenyum tipis. “Berusaha.”
Lady Reitha duduk di sampingnya, lalu berkata pelan, “Saya telah melihat banyak calon permaisuri. Tapi Anda berbeda.”
“Berbeda bagaimana?”
“Anda tidak membentuk diri agar sesuai dengan istana. Anda membuat istana menyesuaikan cara menatap Anda.”
Lana diam.
“Tapi itu tidak berarti semua orang menyukai Anda,” lanjut Reitha pelan.
“Karena saya datang dari luar?”
“Karena Anda membawa cahaya baru. Dan cahaya… selalu membuat bayangan takut.”
---
Di balik tembok aula barat, beberapa bangsawan berdiskusi diam-diam.
“Raja Aryan mulai mengganggu keseimbangan kekuasaan,” ujar Lord Rivon, tua dan gemuk.
“Dan wanita itu—Lana—membuat rakyat terlalu berharap,” timpal Lady Viviera.
“Jika ini dibiarkan,” ujar bangsawan muda bernama Dain, “kita akan kehilangan suara di meja kerajaan. Kita harus... mengatur ulang permainan.”
Diam-diam, mereka membentuk Perhimpunan Dalam Bayangan.
---
Sore itu, Lana berjalan di taman istana. Ia melihat Kalensa berdiri sendirian di dekat kolam bunga teratai. Perempuan itu tampak tenang, tapi tatapannya tajam menembus danau.
“Apa kau merindukan Valer?” tanya Lana pelan.
Kalensa menoleh. “Kadang. Tapi aku memilih bertahan di sini… karena aku ingin melihat apakah dunia ini bisa benar-benar berubah.”
“Menurutmu... aku beban bagi Raja Aryan?”
Kalensa mengangkat alis. “Kau bukan beban. Kau ujian.”
“Ujian?”
“Bagi istana. Bagi bangsawan. Bagi rakyat. Dan bagi Raja sendiri. Jika dia mampu mempertahankanmu di tengah tekanan ini… maka dia layak menjadi raja. Tapi jika dia menyerah… maka dia tak lebih dari pewaris biasa.”
Lana terdiam. Ia tahu kata-kata Kalensa tidak keras untuk melukai, tapi untuk menguatkan.
---
Malamnya, Aryan dan Lana duduk di balkon.
“Aku ingin kau tahu,” ujar Aryan tiba-tiba, “bahwa aku tak akan memintamu berubah menjadi ratu seperti mereka. Tapi aku akan membimbingmu agar kau kuat menghadapi dunia mereka.”
Lana menatapnya. “Dan aku ingin kau tahu, bahwa aku tidak akan memintamu memilih antara aku dan rakyat. Karena aku ingin kita berdiri bersama mereka.”
Aryan menggenggam tangannya.
> Mereka tahu gelombang besar akan datang.
Tapi cinta mereka tidak dibangun untuk bersembunyi.
Ia dibangun untuk berdiri… walau badai datang bertubi.
---
Di balik ruangan rahasia, Perhimpunan Dalam Bayangan menyusun langkah.
“Kita tidak bisa membunuh cinta mereka,” bisik Lord Rivon.
“Tapi kita bisa membunuh harapan yang mengikutinya.”
> Dan di istana yang mulai penuh suara,
bisikan-bisikan diam mulai menjelma ancaman.
Tidak dari musuh jauh,
tapi dari mereka yang paling dekat… dan paling tenang.
To Be Continued...