Bab 24, Kabut Tanpa Wajah

Istana Victoria pagi itu tampak biasa.

Burung-burung masih bernyanyi, para pelayan masih berlalu-lalang dengan sopan, dan taman-taman tetap mekar seolah tak terjadi apa-apa.

Tapi di balik tirai dan dinding-dinding berukir, kabut mulai menyelimuti hati istana.

---

Lana berjalan menuju perpustakaan kecil istana ketika seorang pelayan muda, Mila, menghampirinya tergesa.

“Nona… saya tidak tahu harus bilang apa… tapi…” Mila menunduk, takut.

“Ada apa, Mila?” tanya Lana lembut.

“Ada surat… yang beredar diam-diam di antara pelayan dan penjaga. Tentang… tentang Anda.”

---

Surat itu ditemukan di kamar pelayan senior.

Tulisannya halus, berisi seolah kutipan dari “laporan rahasia”—menyatakan bahwa Lana sebenarnya memiliki hubungan gelap dengan salah satu penasihat istana, dan bahwa kedekatannya dengan Aryan hanya taktik “naik ke atas” untuk mencuri pengaruh.

“Tak bersilsilah. Tak beradat. Hanya wajah yang dipoles dan akal yang dipasang,” bunyinya.

Lana membaca surat itu. Tangannya bergetar—bukan karena percaya, tapi karena tidak menyangka akan sekejam itu dunia yang kini harus ia hadapi.

---

Aryan mendengar kabar itu dari Kalensa. Ia segera menemui Lana di balkon timur.

“Aku akan mencari siapa yang menyebarkannya,” katanya geram. “Ini penghinaan.”

“Dan jika tidak ditemukan?” tanya Lana lirih.

“Aku akan berdiri di depan rakyat dan menyatakan bahwa semua fitnah terhadapmu… adalah fitnah terhadap aku.”

Lana tersenyum tipis. Tapi matanya... lelah.

“Yang menyakitkan bukan kata-kata mereka, Raja. Tapi mengetahui bahwa aku memang tidak bisa membuat mereka percaya padaku. Tidak cukup cepat. Tidak cukup kuat.”

“Lana…”

“Aku ingin berjalan berdampingan denganmu. Tapi aku bukan tembok yang tak bisa retak.”

Aryan menggenggam wajahnya dengan dua tangan. “Lalu biarkan aku jadi tiang penyangganya.”

---

Sementara itu, di ruang makan bangsawan, para anggota Perhimpunan Dalam Bayangan tengah tersenyum tipis atas hasil mereka.

“Langkah pertama berhasil,” kata Lady Viviera. “Sekarang rakyat mulai ragu.”

“Langkah kedua adalah menyerang kebijakan Raja. Kita buat program pendidikannya tampak seperti beban pajak, bukan bantuan.”

Lord Rivon menambahkan, “Dan kita sebarkan kabar bahwa semua ini adalah permainan cinta yang membuat istana tak lagi suci.”

“Runtuhkan kepercayaan, lalu goyahkan posisi,” gumam salah satu dari mereka.

---

Beberapa hari kemudian, saat Lana hadir dalam forum pelatihan wanita muda di istana, seorang putri dari Elaira, Putri Alisya, membuka percakapan.

“Aku kagum padamu, Lana. Kau bisa tersenyum meski banyak orang membicarakan hal buruk tentangmu.”

Lana menoleh. “Terima kasih.”

Putri Alisya tersenyum tipis. “Tapi kadang... kita tersenyum bukan karena kuat, tapi karena kita ingin pura-pura tidak hancur, bukan?”

Lana tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, kemudian berkata:

> “Jika hancur berarti jujur, aku akan memilih hancur.

Tapi aku tidak akan tinggal diam saat dunia mencoba mematahkan aku hanya karena aku bukan bagian dari masa lalu mereka.”

Ruangan hening.

Dan entah dari mana, Ratu Dowager masuk.

Ia berdiri di depan forum, menatap setiap wajah satu per satu.

“Jika kalian ingin tahu siapa Lana,” ujarnya dengan nada tegas, “lihatlah bukan dari gosip, tapi dari langkah-langkah yang ia pilih meski tidak ada yang menyambutnya.”

Semua diam.

“Dan jika ada di antara kalian yang merasa lebih tinggi karena gelar, maka kalian belum cukup matang untuk berdiri di dekat takhta.”

---

Malam itu, Lana menemui Ratu Dowager secara pribadi.

“Kenapa Anda membelaku?”

Ratu menatapnya. “Karena aku melihat diriku padamu.”

Lana terdiam.

“Kita berdua... perempuan yang masuk ke istana bukan karena dunia menerima kita, tapi karena dunia tidak bisa lagi menyangkal bahwa kita telah tiba.”

---

Di balik dinding ruang kerja Aryan, beberapa bangsawan sedang mengatur strategi ekonomi baru untuk menjatuhkan program rakyat.

Namun di meja itu juga duduk Kalensa—mendengar diam-diam.

Ia tidak berkata apa-apa. Tapi catatannya penuh.

> Perang belum terjadi. Tapi pisau-pisau telah diasah.

Dan cinta yang dulu hanya diuji oleh perbedaan,

kini mulai diuji oleh pengkhianatan.

To Be Continued...