Bab 25, Suara yang Mulai Bersatu

Fajar masih menggantung di langit ketika Aryan berdiri di aula barat, menatap jendela kaca patri yang memantulkan warna lembut mentari pagi.

Di tangannya, tergenggam lembar-lembar laporan. Di dalamnya, ada nama-nama desa yang mulai ikut program pendidikan rakyat.

Namun juga... lembar berisi keluhan dari para bangsawan tentang “pemborosan anggaran.”

Sir Elbar berdiri di belakangnya. “Keluhan mereka bukan karena programnya gagal, Yang Mulia. Tapi karena rakyat mulai memandang istana dengan harapan.”

“Dan itu yang mereka takutkan,” gumam Aryan. “Karena selama ini, mereka hanya tahu bagaimana memerintah, bukan dipercaya.”

---

Sementara itu, Lana duduk di taman istana bersama Kalensa. Mereka sedang mencermati daftar wanita muda bangsawan dan desa yang tertarik mengikuti forum dialog terbuka.

“Bukan hanya mereka yang punya kuasa yang harus bicara,” ujar Lana. “Tapi juga mereka yang selalu dibungkam.”

Kalensa menatapnya. “Kau akan membuat mereka ketakutan.”

“Bagus,” jawab Lana. “Karena itu berarti mereka tahu dunia berubah.”

Kalensa tersenyum tipis. “Aku sudah mengatur forum pertamamu. Hari kelima, di aula kecil timur. Hanya dua puluh orang. Tapi beberapa di antaranya... mata-mata dari pihak konservatif.”

Lana menarik napas dalam. “Aku tak butuh semua percaya. Aku hanya butuh cukup banyak untuk membuat gema.”

---

Malam harinya, Aryan bertemu diam-diam dengan dua bangsawan muda dari keluarga kecil: Lord Cevan dan Lady Indira.

“Aku ingin membentuk Dewan Muda,” kata Aryan. “Bukan untuk mengambil alih kekuasaan, tapi untuk memberi suara pada mereka yang tak punya warisan, tapi punya tekad.”

“Langkah ini berbahaya,” ujar Indira.

“Langkah diam lebih berbahaya,” sahut Cevan. “Aku ikut. Sudah terlalu lama kita diam sambil melihat negeri ini dikendalikan oleh bayangan.”

Mereka bersalaman. Tangan itu ringan, tapi di dalam genggamannya, harapan mulai bertumbuh.

---

Forum wanita muda digelar di aula timur. Lana berdiri sendiri di depan para hadirin.

Di antara mereka, ada yang tersenyum sinis. Ada pula yang duduk tegak, menunggu kata-kata pertama dengan skeptis.

“Selamat datang,” ucap Lana. “Aku tahu sebagian dari kalian tidak ingin di sini. Tapi izinkan aku bertanya...”

Ia menatap mereka satu per satu.

> “Apa kalian ingin hidup dengan gelar… atau dengan nilai?”

“Apa kalian ingin menjadi perempuan yang dikenang karena nama keluarganya,

atau karena apa yang dia perjuangkan saat dunia sedang menundukkan semua kepala?”

Ruangan sunyi.

Satu tangan terangkat—Lady Risha dari Morland.

“Aku tidak yakin harus memilih. Tapi aku tahu, selama ini, aku hanya diam.”

Lana tersenyum. “Maka malam ini… kita mulai bicara.”

---

Di sisi lain istana, Perhimpunan Dalam Bayangan mulai gelisah.

“Forum wanita itu tak bisa dibiarkan berkembang,” ujar Lord Rivon. “Kalau rakyat wanita mulai bicara… para istri bangsawan juga bisa ikut-ikutan. Dan itu… kacau.”

Lady Viviera mengetuk mejanya. “Kita tunda serangan langsung. Kita racuni dukungan dari dalam. Kirim seseorang ke forum berikutnya. Jangan memfitnah. Tapi adu logika. Goyahkan dari dalam.”

“Kita juga perlu menyusup ke Dewan Muda yang mulai dibentuk Raja Aryan,” ujar Dain. “Lemparkan seseorang yang kita bisa kendalikan.”

---

Aryan bertemu dengan Kalensa dan Lana malam itu di ruang bacanya. Buku-buku berserakan. Peta terbentang.

“Kita mulai diserang dari banyak arah,” ujar Aryan.

“Dan kita harus menyerang balik dengan… apa?” tanya Lana.

“Dengan bukti,” kata Kalensa.

Ia mengeluarkan beberapa catatan. “Aku punya daftar transaksi mencurigakan dari keluarga Rivon. Tanah kerajaan yang dijadikan milik pribadi dengan tanda tangan palsu.”

Aryan tersenyum. “Jika mereka bermain licik… maka kita bermain terang. Kita serahkan ini pada rakyat.”

---

Malam itu, di pasar tengah kota, sebuah lembar selebaran tersebar:

> "Suara Rakyat Adalah Nafas Kerajaan"

Disertai pengumuman bahwa sebuah forum rakyat akan dibuka.

Bukan di istana,

tapi di balai desa Aurenya—tempat di mana cinta Aryan dan Lana pernah bertemu matahari untuk pertama kali.

To Be Continued...