Kecuali beberapa pengawal pribadinya, saat ini tidak ada yang tahu pasti di mana Qi Shengniang berada. Dalam perjalanan pulang dari Wudang, sebelum perayaan Tahun Baru Imlek yang akan segera tiba, ia telah menerima kabar dari Dadu bahwa Dash Badalugh sedang menyusun rencana untuk mengirim Chaghan Temur ke Kaifeng. Qi Shengniang memandang hal ini sebagai ancaman besar bagi rencananya. Ia segera menuju ke Kaifeng dan memilih untuk tinggal di situ beberapa hari supaya ia bisa mengendalikan situasi dan berkomunikasi dengan berbagai pihak penting, seperti Zhang Wuji dan Chaghan Temur sendiri. Komunikasi seperti ini akan terputus jika ia sendiri juga ikut bergerak, karena ia tahu pasti Chaghan akan langsung menuju ke Kaifeng begitu menerima perintah itu.
Sebagai langkah pertama, Qi Shengniang mengirimkan perintah rahasia kepada Chaghan untuk diam-diam menggabungkan kekuatan dengan Zhang Wuji, yang dalam perhitungannya sudah tiba di Xiangyang untuk menguasai keadaan. Sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, ternyata ia mendengar gosip yang mengatakan bahwa pihak Han Lin'er dan Liu Futong bermaksud menduduki Kaifeng. Hal ini sangat mengejutkannya, mengingat musim dingin yang keras ini seharusnya memperlambat pergerakan pasukan besar.
Ia buru-buru mengirim kabar kepada Zhang Wuji dan memintanya memilih satu di antara dua. Jika ternyata Zhang Wuji memilih untuk melepaskan Liu Futong, maka persoalannya akan menjadi lebih sederhana. Tapi jika ternyata sebaliknya, maka ia akan terpaksa berperang dengan para sekutu Dash Badalugh dan Bolad Temur di majelis. Ia tidak tahu apakah ia akan menang, tetapi untuk melaksanakan rencana besar mereka, baginya tidak ada jalan lain.
Peperangan di Majelis Agung sudah ada sejak dulu, baginya sama saja seperti ketika ia dan Toghon Temur sedang berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman El Temur. Untungnya pada saat itu mereka punya Mei Jian dan Ah Luo, jika tidak, mungkin mereka sudah lama mati. Setelah lepas dari tangan El Temur, berikutnya lagi timbul seorang Jendral Bayan dari Merkit. Setelah itu ternyata masih ada Dash Badalugh, yang bercokol di situ sampai saat ini.
Ia menunggu-nunggu surat balasan dari Zhang Wuji, yang terpaksa dikirimkan langsung melalui kaki tangannya, karena ia tak punya merpati yang mengenal tempat tinggal Zhang Wuji di Xiangyang. Segera setelah menulis surat terakhir, ia langsung berangkat lagi ke Kaifeng ini. Para kurirnya sudah tahu rute yang akan dilaluinya, dan mereka juga sudah diberitahu bahwa ia akan tinggal di Kaifeng selama beberapa hari. Kalau bisa ia ingin terbang sendiri ke Xiangyang dan berbicara langsung dengan keponakan-keponakannya. Sayangnya ia tak punya sayap.
Qi Shengniang ingin segera tidur lelap supaya bisa segera melihat hari esok, yang menurut perhitungannya jawaban dari Xiangyang akan tiba. Tapi malam itu pikirannya sangat penuh, dan ia merasa gelisah. Akhirnya ia mengambil pedangnya, lalu menempelkan pesan pendek di pintu, supaya para pengawalnya tahu bahwa ia sedang berjalan-jalan di luar.
Meskipun saat itu udara malam musim dingin cukup dingin, langit malam yang cerah memancarkan keindahan yang tenang. Qi Shengniang berjalan menyeberangi sebuah jembatan, dan memandang ke sekelilingnya. Di Kaifeng ada sebuah pagoda yang disebut Pagoda Youguosi, yang tingginya lebih dari lima puluh meter. Dari tempatnya berdiri pagoda itu tampak sangat agung dan menakjubkan di bawah cahaya bulan sabit.
Di tengah jembatan itu Qi Shengniang melihat seorang gadis muda yang bertubuh ramping, dengan lekuk-lekuk tubuh yang nyaris sempurna meskipun terbalut pakaian sederhana. Tampaknya gadis itu sedang melamun sendirian sambil memandang ke kejauhan, ke arah sungai yang membeku sebagian. Sayup-sayup telinganya bisa mendengar gadis itu seperti sedang mengomel atau bergumam sendiri, tetapi ia tidak bisa menangkap kata-katanya.
Didorong oleh rasa penasaran, Qi Shengniang berjalan perlahan-lahan mendekati gadis itu supaya ia bisa mendengar dengan lebih jelas. Tak disangka, tiba-tiba gadis itu melompati pagar jembatan begitu saja. Secara naluriah, Qi Shengniang menjerit, "Hei! Apa yang kau lakukan!" Ia mengerahkan qinggong-nya untuk melompat dan menyambar tangan gadis itu, lalu tangan kirinya memegang pinggiran, sementara tangan kanannya yang masih sempat menangkap tangan si gadis tergantung di bawah. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk melontarkan gadis itu kembali ke atas jembatan, lalu secepat kilat ia berusaha mendahului laju si gadis yang dilontarkannya untuk mencegah gadis itu jatuh dan terluka di atas permukaan sungai yang membeku dan berbatu.
Di luar dugaannya, ternyata gadis itu bukan perempuan biasa yang tidak mengenal ilmu silat. Setelah tubuhnya kembali ke atas, ia bersalto beberapa kali dan berdiri tegak sambil tertawa cekikikan, lalu berkata kepada Qi Shengniang, "Kau kira aku gila ya? Aku hanya ingin mengambil bunga itu, bukan mau bunuh diri!" Ia menuding ke arah sungai di bawah jembatan itu. Mereka melihat bunga teratai putih yang membeku sebagian di atas permukaan air.
Melihat keluguan gadis ini, Qi Shengniang tak jadi marah, padahal ia sangat jengkel dan ingin memakinya. Ia berkata, "Lain kali jangan lakukan hal seperti itu! Kau mengagetkan semua orang yang lewat di sini."
"Mana ada orang?" kata si gadis dengan lugu. "Di sini hanya ada kau dan aku."
Qi Shengniang mulai jengkel, ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi saat itu angin dingin bertiup sejenak, menyibak awan tipis yang menutupi cahaya bulan sabit, dan cahaya bulan yang samar menyinari wajah gadis itu. Ia melihat gadis itu sebenarnya cantik, meskipun tidak secantik Zhou Zhiruo, tetapi mukanya dipenuhi oleh bekas sayatan pisau yang saat itu sudah sembuh. Meskipun begitu, bekas luka itu tak dapat menutupi kecantikan alamiahnya. Hati Qi Shengniang seketika terasa nyeri. Meskipun dari tingkahnya, dan dari gaya bicaranya, gadis ini terkesan agak liar dan seenaknya, bukan tidak mungkin ia tanpa sengaja sering menyakiti hati orang lain, tetapi hampir tidak mungkin ada orang yang setega itu menyakiti gadis semanis ini.
Tiba-tiba Qi Shengniang teringat akan sesuatu. Tanpa sadar ia menjerit kaget, "Astaga!"
Gadis itu tampak heran. Ia bertanya, "Kenapa?"
"Yin Li!" kata Qi Shengniang. "Kau pasti Yin Li!" Secara naluriah ia melangkah maju, dan bermaksud memeluk gadis itu dan mencium pipinya seperti layaknya seorang ibu yang baru menemukan anaknya yang hilang.
Tetapi gadis itu tiba-tiba melompat mundur dan menatapnya dengan curiga. Ia bertanya, "Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?"
Gadis itu memang Zhu'er, atau Yin Li. Setelah berpisah dengan Zhang Wuji, Zhou Zhiruo dan Zhao Min di Shaolin pada musim gugur yang lalu, ia kemudian berjalan sekehendak hatinya, sampai akhirnya ia tiba di Kaifeng menjelang akhir tahun.
Sejak saat itu ia sudah lama hampir tidak pernah lagi mendengar ada orang memanggil namanya, karena itu ia sangat terkejut ketika Qi Shengniang memanggilnya 'Yin Li'. Ia tidak merasa mengenal atau pernah bertemu dengan Qi Shengniang sebelum ini. Ia sangat heran bagaimana wanita cantik itu bisa mengenalnya. Dari heran dengan cepat ia menjadi curiga.
Tiba-tiba ia berkata, "Aku tahu sekarang! Kau pasti selir ayahku yang baru ya?" Ia mendengus, lalu berkata seenaknya, "Orang itu masih belum bertobat juga rupanya! Setua ini masih juga mata keranjang."
Qi Shengniang agak tersinggung, tetapi kemudian ia teringat akan cerita Zhou Zhiruo, dan juga ingat mengapa Tajkis tidak pernah menyukai Yin Yewang. Itu sebabnya selama bertahun-tahun tinggal di Guangming Ding ia tidak pernah bertemu dengan Yin Yewang, hanya pernah mendengar namanya melalui cerita orang lain. Sampai di sini ia tertawa terbahak-bahak, lalu berkata dengan lembut, "Yin Li, aku bukan istri baru atau selir Yin Yewang. Percayalah, sebenarnya aku masih termasuk bibimu, atau tepatnya adik seperguruan Yin Susu, ibu Zhang Wuji. Kau boleh memanggilku Bibi Qi."
Yin Li menatapnya dengan penuh perhatian sampai agak lama, lalu tiba-tiba tertawa cekikikan dan berkata, "Tidak, kau pasti bohong! Aku tidak pernah bertemu dengan Yin Susu, dia memang adik ayahku, jadi memang bibiku. Tapi kalau kau bilang 'adik seperguruan', berarti kau ingin mengaku bahwa kau juga orang Tian Yingjiao, padahal aku sama sekali tidak pernah melihatmu di Tian Yingjiao. Jadi kau pasti bohong."
Sejenak Qi Shengniang kehabisan akal. Anak ini tentu saja belum lahir ketika Yang Dingtian menghilang, dan kemudian Ming Jiao menjadi kacau. Tian Yingjiao yang disebutnya itu pastilah didirikan oleh Yin Tianzheng, kakeknya, yang memisahkan diri setelah bersitegang dengan Yang Xiao. Jika anak ini bahkan belum pernah bertemu dengan Yin Susu, bagaimana ia bisa menjelaskan hubungannya dengan Ming Jiao sendiri?
Tiba-tiba ia teringat akan cerita Zhou Zhiruo tentang Pulau Ular, lalu ia mencoba cara lain. "Baiklah," katanya. "Kau pasti masih ingat tentang gurumu, Jinhua Popo. Aku adalah adik seperguruan Jinhua Popo. Nama Jinhua Popo sebenarnya adalah Tajkis. Dulunya Jinhua Popo, Yin Susu, dan aku sendiri adalah kakak beradik seperguruan. Jinhua Popo dan aku adalah murid langsung dari ketua Ming Jiao saat itu, Yang Dingtian."
Yin Li mengamatinya dengan penuh perhatian dari jarak sangat dekat, lalu memicingkan mata sambil bergumam sendiri, "Hm, kau sangat cantik. Kata orang, bibiku Yin Susu juga cantik. Sebetulnya aku tahu, Popo juga cantik, tapi entah kenapa Popo selalu memakai topeng itu." Ia terkekeh, lalu berkata dengan nada lain, "Aku pernah melihatnya membuka topeng kulit itu sebelum tidur, karena itu aku tahu sebenarnya dia sangat cantik." Lalu nada bicaranya berubah lagi, "Eh, kata-katamu tadi agak masuk akal. Tapi aku masih belum percaya kau ini adik seperguruan Popo."
Qi Shengniang masih ingat jurus-jurus pedang Tajkis yang berasal dari Persia. Mereka selalu berlatih bersama, dan Tajkis memang pernah mengajarkan jurus itu kepadanya. Ia kemudian memainkan beberapa jurus untuk meyakinkan Yin Li. Ia juga memperagakan beberapa jurus tangan kosong yang diajarkan langsung oleh Yang Dingtian kepada mereka semua.
"Wah, hebat!" seru Yin Li sambil bertepuk tangan. "Jurus pedang ini memang pernah dimainkan Popo, tapi memakai tongkat. Dan teknik-teknik pukulan itu juga diajarkan Popo kepadaku!"
Qi Shengniang bersalto beberapa kali untuk mengakhiri pertunjukan itu. Ia tersenyum dan berkata, "Nah, berarti sekarang kau sudah mau memanggilku Bibi Qi?"
"Ya," kata Yin Li dengan gembira. "Bibi Qi!"
[^dadu]: Dadu atau Khanbaliq adalah ibukota Dinasti Yuan, yang di era modern adalah Beijing.
[^tahun-baru-imlek]: Tahun Baru Imlek dalam konteks aslinya hanya disebut 'Xin Nian' (新年), karena bagi mereka tentu saja 'Tahun Baru' yang umum hanya berdasarkan kalender ini. Dalam Dinasti Yuan, khususnya ketika menjelang akhir, mereka mengenal kalender Shoushi, yaitu perhitungan penanggalan yang dikembangkan di era Dinasti Yuan, hingga akhirnya menghasilkan 1 tahun terdiri dari 365 hari, meskipun tetap berdasarkan perhitungan sebelumnya.
Qi Shengniang memeluknya, lalu mencium kedua pipinya dengan gembira. Tampaknya Yin Li sangat senang bisa memanggilnya Bibi Qi. Sambil menggandeng tangan Yin Li dengan lembut, Qi Shengniang berkata, "Tadi di dekat penginapan Bibi melihat ada penjual makanan khas Kaifeng yang asin dan berbumbu. Bagaimana kalau kita ke situ sekarang?"
Yin Li bersorak kegirangan. "Aku memang lapar," katanya. "Hari ini aku tidak punya kesempatan mencuri makanan. Terlalu ramai di sekitar sini menjelang perayaan."
Sambil berjalan ke kedai itu Qi Shengniang mengutuk Yin Yewang dalam hati karena tega menelantarkan anak malang ini di tengah musim dingin. Kalau sampai bertemu, ia ingin menendang pantat orang itu keras-keras.
Qi Shengniang memesan ham, jamur, cumi-cumi, kacang hijau dan arak beras Kaifeng, ditambah dengan dua mangkuk nasi untuk mereka berdua. Yin Li makan dengan lahap. Saking laparnya, ia memesan lagi semangkuk nasi, ham dan sepiring udang.
Setelah makan, Yin Li tampak berseri-seri. Mukanya berkeringat karena udang itu agak pedas, tapi itu bagus untuk
melawan hawa dingin. Ketika mereka selesai minum secawan arak, salah seorang dari pengawal Qi Shengniang muncul
di situ untuk melapor. Ia hampir mengucapkan 'Huanghou', tetapi ketika melihat Yin Li, ia tampak ragu.
"Furen," katanya sambil membungkuk hormat.
"Ada perkembangan apa?" tanya Qi Shengniang.
"Jawaban dari Suzhou sudah tiba," jawab Han Lin, pengawal itu.
"Wah, bagus!" kata Qi Shengniang. "Bagus sekali!" Berarti Chaghan Temur sebenarnya sudah agak jauh dari Suzhou.
Ia menunggu Han Lin menyerahkan surat, tetapi ternyata ia diam saja. kelihatannya Chaghan memberikan jawaban lisan.
Han Lin agak ragu karena melihat Yin Li di situ. Ia berkata, "Kau bisa langsung mengatakannya. Yin Li masih termasuk
keponakanku."
Han Lin berusaha memilih kata-katanya dengan bijaksana. Ia berkata, "Laoye akan menunggu di Nanyang, tapi setibanya
di situ, Laoye akan mengunjungi Xiangyang sebentar."
"Baik, aku mengerti," kata Qi Shengniang. "Kita tinggal menunggu kabar dari Xiangyang. Begitu tiba, kau harus segera
memberitahu aku. Sekarang kau boleh istirahat."
Han Lin membungkuk hormat dan mengundurkan diri.
Melihat Yin Li sedang termenung, Qi Shengniang berkata, "Aku masih agak lapar. Bagaimana kalau kita memesan *mantou*
untuk dimakan di penginapan sambil ngobrol?"
Yin Li tidak menjawab. Ia baru berkata setelah Qi Shengniang selesai memesan *mantou*, "Bibi sedang menunggu kabar dari siapa?"
Qi Shengniang agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Sepintas lalu Yin Li tampak lugu, tapi ternyata ia tidak mudah mempercayai orang lain. Jika ia tidak menjawab pertanyaan itu, atau bahkan membohonginya, maka untuk selanjutnya gadis itu tidak akan mempercayai apapun yang dikatakannya lagi. Ia berkata, "Di sini agak dingin. Kamarku punya dua tempat tidur, padahal aku hanya sendirian. Kita bisa bicara sepuasnya, lalu kau bisa tidur di situ."
Tampaknya Yin Li senang mendengar usulannya. Mereka membawa *mantou* dan arak yang tersisa untuk dimakan di penginapan.
Setibanya di situ, ternyata Yin Li masih menanyakan hal yang sama.
Qi Shengniang memandang Yin Li dengan penuh perhatian, lalu bertanya dengan halus, "Ah Li, kau ingin bertemu dengan Zhang Wuji?"
Mendengar nama Zhang Wuji, Yin Li tampak agak murung. Ia berkata, "Zhang Wuji melompat ke jurang, dia sudah lama mati. Maksud Bibi Zeng Aniu?"
Ketika mendengar jawaban itu, sebenarnya Qi Shengniang merasa geli. Ia sudah mendengar cerita yang agak kacau dari Zhou Zhiruo mengenai Zeng Aniu dan Zhang Wuji dalam pandangan Yin Li. Saat itu ia tidak dapat memahaminya dengan baik. Sekarang ia mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Qi Shengniang berkata, "Baiklah — Zeng Aniu — kau ingin menemui orang ini?"
Yin Li tersenyum cerah. Ia tidak menjawab pertanyaan Qi Shengniang, sebaliknya malah berkata, "Aniu Gege sangat baik kepadaku, bahkan pernah bilang ingin menikahiku, meskipun aku jelek."
"Tapi kau tidak jelek," kata Qi Shengniang. "Kau sangat cantik."
Yin Li tertawa cekikikan, lalu berkata, "Bibi Qi, kau gila ya?"
"Jadi kau ingin bertemu lagi dengan Aniu Gege-mu itu?" tanya Qi Shengniang lagi.
Yin Li lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Qi Shengniang. Ia tampak melamun sambil memandang ke kejauhan dari jendela yang dibiarkan terbuka. Dari jendela itu tampak pagoda yang sangat tinggi di kejauhan, diterangi cahaya malam dari rumah-rumah di kota Kaifeng yang padat penduduk. Kota ini adalah ibukota Dinasti Song sebelum ditaklukkan Kubilai Khan, dan adalah kota yang terpadat penduduknya, karena itu mereka selalu punya masalah dengan penyakit menular semacam demam tipus.
Qi Shengniang tidak ingin memaksa Yin Li. Ia bisa melihat bahwa gadis itu sedang menyembunyikan perasaannya sendiri, dan tidak ingin terlalu banyak bicara tentang Zhang Wuji, kecuali jika ia sendiri yang mengungkapkannya dengan sukarela. Ia bermaksud bercerita tentang hal lain, atau membiarkan mereka tertidur dalam lamunan, tetapi kemudian Yin Li tanpa sadar bergumam sendiri, "Mereka berdua pasti sedang bersamanya, kan?"
"Ya," jawab Qi Shengniang. "Mereka berdua memang bersamanya — bersama Aniu Gege-mu — di Xiangyang. Aku justru sedang menunggu kabar dari mereka." Ia tak tahu apakah harus menceritakan bahwa keduanya sekarang sudah resmi menjadi istri Zhang Wuji. Ia tidak ingin membuat Yin Li sedih. Mungkin sebaiknya ia membiarkan semuanya berjalan secara alamiah. Ia menambahkan, "Kalau kau ingin menemui mereka semua, aku bisa menyuruh orang mendampingimu ke sana. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu ke sana sendirian. Sekarang ini situasi sedang tidak menentu, setiap saat perang bisa terjadi di mana pun. Aku tidak bisa membiarkanmu menempuh bahaya. Aku sendiri harus kembali ke utara secepatnya."
Reaksi Yin Li ternyata di luar dugaan Qi Shengniang. Ia buru-buru berkata, "Tidak, aku tidak mau menemui mereka. Mungkin aku akan ikut Bibi ke utara."
"Kenapa?" tanya Qi Shengniang.
"Karena ternyata Zeng Aniu itu pintar berpura-pura. Aku jadi tidak tahu apakah dia benar-benar ingin menikahiku. Mungkin saja dia hanya ingin menghiburku, karena aku jelek," kata Yin Li lagi.
Qi Shengniang heran. "Kenapa kau pikir dia hanya berpura-pura?"
"Mereka semua selalu memanggilnya Zhang Wuji," kata Yin Li bersungguh-sungguh. "Ini sangat membingungkan. Sepintas lalu dia memang mirip Zhang Wuji. Tapi Zhang Wuji tidak mau ikut aku ke Pulau Ular, bahkan menggigit tanganku." Ia menunjukkan bekas luka akibat gigitan Zhang Wuji kecil di tangannya. "Jadi kupikir, mana mungkin Aniu Gege adalah Zhang Wuji? Tapi kelihatannya mereka benar, jadi berarti Zhang Wuji atau Aniu Gege itu membohongiku. Aku jadi tidak tahu apakah dia memang sungguh-sungguh ingin menikahiku."
Sekarang Qi Shengniang sungguh-sungguh mengerti apa masalah sebenarnya. Jadi Yin Li tidak benar-benar gila seperti yang dikira orang. Dia juga bukan meninggalkan Zhang Wuji karena cemburu kepada Zhou Zhiruo atau Zhao Min, tetapi karena tidak yakin bahwa Zhang Wuji memang sungguh menyayanginya.
"Kungfu Aniu Gege memang tinggi," lanjut Yin Li. "Tapi dia kadang-kadang bisa sangat bodoh. Xiao Zhao sudah jelas membohonginya, tapi dia tidak tahu. Jinhua Popo menyuruh Xiao Zhao meracuninya, dia juga tidak tahu. Kalau Xiao Zhao jahat, maka waktu itu semua orang pasti sudah celaka. Tapi Xiao Zhao itu sangat cerdik, dia selalu bisa menemukan alasan untuk menjawab Popo."
Bagian ini sudah diceritakan oleh Zhou Zhiruo. Kelicikan Tajkis ini memang sudah diketahuinya sejak muda. Tapi bagi Qi Shengniang, keberanian Xiao Zhao dan Zhao Min melawan orang tua mereka demi seorang Zhang Wuji adalah sangat mengagumkan. Hal ini terbukti tidak sanggup dilakukan oleh Zhou Zhiruo. Setelah menilai keseluruhan cerita tentang mereka berempat, Zhou Zhiruo terpaksa menuruti perintah Miejue Shitai, dan dua kali nyaris mencelakai Zhang Wuji. Untung saja kungfu Zhang Wuji sangat tinggi, dan Zhou Zhiruo sendiri sudah memperhitungkan dengan tepat tusukan pedangnya di dada Zhang Wuji. Meleset sedikit saja, maka Zhang Wuji akan mati konyol.
Karena Qi Shengniang tidak ikut mengalami sendiri apa yang dialami oleh anak-anak muda ini, maka ia bisa menilai semuanya dengan pikiran sejernih kristal. Sebenarnya keempat wanita ini bisa bekerja sama dengan cara yang luar biasa untuk melindungi seorang Zhang Wuji yang mereka cintai bersama. Sekarang ia sangat menguatirkan orang-orang Ming Jiao yang berada di sekeliling Zhang Wuji. Mereka sangat berambisi untuk berkuasa sendiri. Hal semacam ini tidak bisa dihadapi dengan hanya mengandalkan kungfu yang tinggi. Liu Futong jelas memakai Han Lin'er sebagai kaisar boneka demi ambisinya. Xu Shouhui bukan orang yang bisa diandalkan, karena tidak lagi mau mendengarkan Ming Jiao. Chen Youliang jelas adalah ancaman serius di kemudian hari. Dan entah siapa lagi yang saat ini masih belum menampakkan diri.
Di lain pihak, Zhang Sicheng adalah sebuah ganjalan bagi Dinasti Yuan maupun rencana besar mereka. Sebenarnya Qi Shengniang ingin segera bergerak untuk menyingkirkan Zhang Sicheng, tetapi tiba-tiba datang sebuah bahaya besar dari Dash Badalugh dan anaknya. Ia memang sudah tahu bahwa pecahnya wilayah selatan menjadi daerah yang kecil-kecil adalah tak dapat dihindari. Jika begitu, ia harus bisa memastikan bahwa pihaknya akan menempati posisi-posisi yang strategis ketika hal ini terjadi. Dengan demikian mereka akan bisa mengakhiri peperangan ini dengan sesedikit mungkin korban dari pihak rakyat jelata.
Qi Shengniang melihat Yin Li menguap. Ia lalu menyelesaikan potongan *mantou* terakhir yang dipegangnya, lalu minum sedikit arak beras. Ia berkata, "Ah Li, kita mungkin masih akan tinggal beberapa hari di sini, tapi setelah itu Bibi akan harus kembali ke utara. Bibi tidak bisa meninggalkanmu sendirian, jadi mulai sekarang kau pikirkan sendiri mau pergi ke mana. Bibi tidak ingin memaksamu."
Ia mengajak gadis itu ke tempat tidur kosong yang tidak dipakainya. Yin Li menurut, dan segera berbaring sambil tersenyum senang, lalu berkata, "Bibi Qi, selain Popo dan ayahku, tidak ada orang lain yang memanggilku 'Ah Li'. Bibi sangat baik kepadaku, tentu saja aku akan mengikuti Bibi ke utara. Kita mau pergi ke mana?"
Qi Shengniang menyelimutinya, lalu mencium kedua pipinya dengan lembut sambil berkata, "Nanti kau akan tahu sendiri. Kurasa kau akan senang, karena kau akan bertemu dengan dua orang bibimu yang lain. Mereka punya dua orang anak perempuan, yang sekarang sudah kira-kira tujuh belas tahun. Sekarang kau beristirahat dulu. Besok pagi baru kita bicarakan lagi." Dalam bayangannya anak ini pasti akan bisa akrab dengan anak-anak perempuan Mei Jian dan Ah Luo. Mengajaknya ke istana seharusnya bukan masalah besar.
Yin Li masih tersenyum sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian ia tertidur. Sekarang Qi Shengniang bisa melihat dengan jelas kemiripan antara Zhang Wuji dengan Yin Li, terutama sekali mata mereka. Mata dan raut wajah Yin Li sangat mirip dengan Yin Susu, begitu juga bentuk tubuhnya. Ia mengelus rambut Yin Li dengan rasa sayang, lalu ia berbaring di tempat tidurnya sendiri.
Setelah mendengar berita dari Chaghan Temur, ia merasa agak lega, meskipun rencana Chaghan untuk mengunjungi Xiangyang secara diam-diam agak berbahaya. Ia percaya Chaghan tentu punya alasan sendiri, dan ia akan membiarkannya. Ini juga kesempatan yang bagus bagi mereka untuk berunding, selain untuk pertama kalinya mereka akan bertemu sebagai keluarga.
Ia menguap. Matanya mulai terasa berat, dan tak lama kemudian ia pun tertidur lelap.
## *Gosip dan Insiden Kecil Di Pasar*
Pagi-pagi sekali pintu kamar penginapan Qi Shengniang sudah diketuk. Ia terbangun dan buru-buru merapikan rambutnya,
lalu membuka pintu. Han Lin membungkuk hormat dan menyapa, "Selamat pagi, Huanghou!"
"Ada kabar?"
"Baru saja tiba," kata Han Lin sambil menyodorkan selembar surat yang terlipat. Ia menambahkan, "Mereka juga mengatakan
ingin bertemu dengan Wangye."
Qi Shengniang mengangguk, lalu berkata, "Baik, kau tunggu di tempatmu."
Han Lin berbalik untuk pergi, tetapi ia kembali lagi sambil berkata, "Mereka juga menitipkan dua ekor burung merpati
yang bisa digunakan untuk mengirim kabar dengan cepat. Jika dilepas dari sini, burung-burung itu pasti akan mengenali
tempat ini, lalu pulang ke Xiangyang. Jadi kabar berikutnya pasti akan kita terima dengan lebih cepat selama kita masih
di sini. Tapi kalau kita ingin pergi, maka kita harus mengirimkan kabar segera, supaya mereka tidak memakai merpati yang
sama, sehingga surat-surat itu bisa dibaca orang lain."
Samar-samar telinga Qi Shengniang mendengar keramaian di luar jendela kamar penginapannya. Didorong rasa penasaran, ia berjalan ke jendela dan melongok keluar. Tampak beberapa orang sedang berkerumun, bergosip tentang sesuatu yang kedengarannya heboh. Suara mereka bercampur-baur antara semangat memuncak yang agak berbau mistik, dengan gairah dan rasa penasaran yang agak misterius.
"... belakangan ini... kita sudah punya seorang Jendral Naga... dan sekarang Putra Mahkota Naga..."
*Naga*, pikir Qi Shengniang. Itu adalah simbol berbau mistik, yang sebenarnya tidak ada. Ia tercengang, perutnya tiba-tiba terasa melilit, seolah-olah sedang diperas-peras oleh seekor ular raksasa yang membelitnya kuat-kuat sampai ia tak bisa berkutik. Bagi masyarakat ini, naga adalah simbol kekuatan kekaisaran, sekarang ternyata dilekatkan ke sosok-sosok yang akan menarik kekaisaran ke berbagai arah yang tidak jelas.
"Seorang 'Jendral Naga'..." otak Qi Shengniang berputar cepat, dan menuju ke sebuah titik, "Chaghan Temur!" Pendukung setia mereka, benteng kokoh yang tak tergoyahkan oleh angin topan. Tetapi sekarang ambisi liar Hama sudah sampai sejauh ini, menggambarkan kaisar seolah-olah sedang bersitegang dengan anak mereka sendiri, Ayushiridara, tentang pewarisan tahta. Kebohongan busuk, yang bertujuan untuk mengadu domba, tapi sangat efektif di tengah ketidakpastian.
Qi Shengniang memberi isyarat dengan tangannya supaya Han Lin segera meninggalkannya sendirian.
Ia duduk dan mulai membaca surat dari Xiangyang, dan tersenyum senang melihat gambaran jelas tentang arak-arakan megah ketika rombongan Zhang Wuji memasuki kota itu dan duduk dengan anggun di markas mereka. "Haha!" pikirnya. "Anak-anakku luar biasa, ini baru langkah pertama." Tetapi kemudian ia teringat apa yang baru didengarnya di luar jendela, dan mukanya tampak muram, keningnya berkerut. Ia berpikir keras dan tidak menemukan jalan keluar.
Dilihatnya Yin Li terbangun karena mendengar suara Han Lin. Gadis itu sedang menggeliat sambil duduk di tempat tidurnya, lalu berjalan ke jendela dan membukanya. Ia terpesona melihat pemandangan kota Kaifeng dari jendela itu, "Wow! Bagus sekali."
Qi Shengniang sedang membaca surat yang ditulis Zhao Min sampai beberapa kali sambil berpikir keras. Ia seakan-akan tidak mendengar suara Yin Li, karena itu Yin Li bertanya, "Bibi, kau sedang membaca surat dari Xiangyang ya?"
Karena Yin Li bicara sambil mendekatinya, lalu duduk di hadapannya, di depan sebuah meja bundar yang di atasnya masih tersisa dua potong *mantou* yang mereka beli semalam, maka Qi Shengniang sekarang menyadari pertanyaan itu. Ia tersenyum, lalu menyodorkan surat itu tanpa mengatakan apa-apa. Sementara Yin Li membaca surat, ia mengambil sepotong *mantou* dan menyisakan potongan lainnya untuk Yin Li. Kemudian ia berjalan ke jendela dan memandang kesibukan pagi para penduduk kota sambil berpikir-pikir.
Suasana pagi di Kaifeng membangkitkan semangatnya. Ia menikmati makanannya dengan santai, dan dalam waktu singkat beberapa ide muncul di benaknya. Ia menelusuri beberapa kemungkinan dengan tenang sambil memandang Yin Li.
"Rasanya ini bukan tulisan Zhang Wuji — maksudku Aniu Gege," kata Yin Li. "Aku pernah melihat tulisannya."
Qi Shengniang mengangguk. Ia mengenali tulisan Zhao Min. "Betul," katanya. "Itu tulisan Minmin. Tapi Aniu Gege-mu juga pasti berpendapat sama. Kemarin mendengar Zhiruo sedang pergi ke Hanyang, berarti dia tidak ikut memikirkan masalah ini."
"Zhou Jiejie ada di Hanyang?" kata Yin Li. "Untuk apa dia pergi ke situ?"
"Aku tidak tahu pasti," kata Qi Shengniang. "Saat ini ada lebih dari seratus orang anak buah Chen Youliang sedang menuju ke Hanyang, dan ini agak menegangkan."
"Kalau begitu kita harus memberitahu dia," kata Yin Li lagi.
"Kau benar," kata Qi Shengniang sambil mengambil kuas, lalu duduk untuk menulis surat.
Tak lama kemudian ia membuka pintu, dan memanggil salah seorang pengawalnya yang berdiri di dekat kamar.
"An Shubiao! Cepat kirimkan ini melalui burung merpati kepada orang kita di dekat Hanyang, suruh mereka segera mengantarkannya kepada Zhou Zhiruo!"
Setelah pengawal itu pergi, pelayan datang untuk mengantarkan teh dan air hangat bagi mereka untuk menyegarkan diri. Qi Shengniang memesan beberapa hidangan untuk sarapan mereka.
Yin Li minum teh dan mengambil *mantou* sisa semalam, lalu bertanya, "Bibi Qi, kenapa tadi orang itu memanggilmu 'Huanghou'? Apa kau memang seorang permaisuri?"
Qi Shengniang kaget. Rupanya tadi Yin Li sudah bangun ketika Han Lin datang. Tetapi ia kemudian tersenyum sambil berkata dengan santai, "Aku kadang-kadang suka berpura-pura jadi Huanghou. Nanti kau akan tahu. Kau bilang ingin ikut ke Dadu[^dadu], nanti kau akan tinggal di istana. Di situ kau harus memanggilku Muhou[^muhou], dan kau pura-pura jadi anakku, kau mau?"
[^muhou]: Mu Hou (母后) adalah panggilan seorang anak kepada ibu mereka, yang adalah permaisuri kaisar.
[^dadu]: Yuan Dadu (元大都), atau disingkat Dadu, adalah Khanbaliq atau Beijing di jaman modern. Saat itu kota ini adalah ibukota Dinasti Yuan. Nama Khanbaliq itu sendiri berarti 'Kota Para Khan'.
Meskipun Qi Shengniang sudah berhati-hati, tapi Yin Li tetap kaget, lalu kemudian cekikikan dan berkata, "Bibi Qi, kau bercanda ya?"
"Kau akan tahu begitu kita sampai di situ," kata Qi Shengniang sambil tersenyum. "Aku punya seorang putra yang bernama Ayushiridara[^ayushiridara]. Nama itu memang sulit disebutkan bagimu. Karena dia lebih muda, kau boleh memanggilnya sesukamu. Kita akan memberitahu dia pada saat kalian berkenalan. Sama seperti anak kedua bibimu yang lain itu, dia juga sudah tujuh belas tahun sekarang." Ia menghela nafas panjang dan berkata, "Aku sudah mulai tua."
[^ayushiridara]: Nama Pangeran Ayushiridara dalam bahasa mandarin dituliskan (愛猷識理答臘 atau 爱猷识理答腊), yang akan terbaca seperti nama itu sendiri, yaitu Ai You Shi Li Da La.
"Bibi sama sekali tidak tua," kata Yin Li. "Bibi masih cantik."
Sejenak Yin Li tampak berpikir, rupanya ia mengalami kesulitan untuk menyebutkan nama itu, lalu mengutip dua kata pertama yang lebih mudah diingatnya, "Kurasa aku akan memanggilnya 'Ah You'. Bibi tidak keberatan, kan?"
Qi Shengniang tertawa. "Kau tanyakan sendiri nanti, dia keberatan atau tidak. Sebenarnya aku sendiri juga memanggilnya seperti itu."
Sepertinya Yin Li mulai menyadari sesuatu. Ia memiringkan kepalanya sedikit, lalu bertanya, "Nama itu mirip nama orang Mongolia. Berarti Bibi memang seorang permaisuri..."
Qi Shengniang hanya tersenyum, lalu memegang tangan Yin Li dengan lembut sambil berkata, "Kau keberatan punya seorang bibi seperti aku ini?"
Yin Li langsung menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kenapa harus keberatan? Bibi sangat baik kepadaku." Ia lalu mengamati wajah Qi Shengniang dari jarak dekat dengan penuh rasa ingin tahu, lalu berkata lagi, "Tapi Bibi sama sekali tidak tampak seperti orang Mongolia. Lebih mirip orang-orang Jiangnan."
Qi Shengniang tertawa sambil mengajaknya duduk di sisi tempat tidur, lalu melepaskan sebuah gelang giok dari pergelangan tangannya. Ia berkata sambil memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kiri Yin Li, "Sebenarnya aku berasal dari Goryeo. Aku datang ke Jiangnan sejak berusia tiga belas tahun, dan karena guruku berasal dari Zhongyuan, maka aku juga sejak kecil diajari bahasa Han dengan baik. Namaku Qi Shengniang. Marga itu agak mirip dengan Gi atau Qi, dan karena aku ini adik seperguruan mereka yang ketujuh, maka tidak salah kalau kau memanggilku Bibi Qi. Saat ini hanya Yang Xiao atau Fan Yao, dan juga kedua bibimu itu, yang memanggilku Qi Shimei."
"Oh, rupanya begitu," kata Yin Li sambil menepuk keningnya sendiri. "Tapi Bibi betul-betul tidak berbeda dengan orang-orang Jiangnan pada umumnya." Ia memandangi gelang pemberian Qi Shengniang, lalu mengucapkan terima kasih sambil mencium pipi Bibi Qi-nya itu.
Qi Shengniang lagi-lagi menghela nafas panjang, lalu bernostalgia, "Kalau begitu aku sungguh sangat beruntung. Sayangnya aku tidak bisa bertemu dengan Yin Susu lagi. Aku sungguh merindukannya."
"Aku juga tidak sempat bertemu dengan dia," kata Yin Li.
Qi Shengniang memperhatikan Yin Li, mulai dari mata, alis, hidung, bibir, dan pipinya. Lalu ia berkata dengan muka serius, "Kau tahu, waktu aku melihatmu dari jarak cukup dekat di jembatan itu semalam, kau tampak sangat mirip dengan Yin Shijie. Itulah yang membuatku kaget. Lalu aku langsung menyadari bahwa kau pastilah Yin Li."
*Let's continue with the next chunk until the end of the sub-chapter, then we'll think about where to go from here (give me your review):*
Yin Li tertawa, yang membuatnya semakin mirip dengan Yin Susu. Ia bertanya, "Siapa yang memberitahu Bibi tentang aku?"
"Zhiruo."
Yin Li heran. "Dia?" tanyanya.
Qi Shengniang tidak ingin menyebutkan percakapannya dengan Zhou Zhiruo. Ia mengambil kuas, lalu berkata, "Sekarang aku harus menulis surat ke Xiangyang. Kau ingin titip pesan apa?"
Yin Li hanya menggelengkan kepalanya tanpa menjawab. Ia berjalan ke dekat jendela sambil berpikir-pikir.
Qi Shengniang lalu mulai menulis.
```text
Keponakan-keponakanku Yang Baik,
Bibi tahu Zhiruo pergi ke Hanyang.
Perhatikan seratus orang dari timur.
Ayah kalian akan datang dari Nanyang untuk bertemu,
tapi Bibi merasa hal ini tidak boleh dilakukan saat ini,
karena terlalu berbahaya.
Waspadai pihak Yingtian, jangan terlalu percaya.
Kita jalankan rencana tentang Kaifeng.
Bibi masih di Kaifeng.
Yin Li sedang bersamaku di sini.
Aku menemukannya di Kaifeng semalam.
Dia ingin pergi bersamaku ke utara.
Salam sayang,
Bibi Qi
```
Setelah selesai menulis surat itu, ia berkata, "Ah Li, kalau kau tidak ingin menulis apa-apa lagi, aku akan menyuruh orang mengirimkannya sekarang." Tapi Yin Li hanya menggeleng, dan tidak menjawab.
Qi Shengniang segera memanggil Han Lin untuk mengirimkan surat itu melalui burung merpati. Ketika burung itu dilepas, mereka berdua masih sempat melihatnya melalui jendela, mengepakkan sayapnya dengan kuat dan terbang tinggi ke langit musim dingin.
[^shichen]: Shichen adalah ukuran di Tiongkok kuno. 1 shichen kurang lebih sama dengan 2 jam.
Qi Shengniang berkata sambil merangkul Yin Li sementara mereka mengawasi merpati itu terbang dengan sangat cepat, "Burung itu hanya butuh waktu sekitar dua *shichen*[^shichen] untuk mencapai Xiangyang dari sini. Nanti sore kita akan menerima kabar balasan dari mereka."
Yin Li tampak senang mendengar ucapannya. Ia tersenyum lebar, tapi tidak mengatakan apa-apa, matanya mengikuti siluet burung yang semakin mengecil di kejauhan.
Dua orang pelayan datang untuk mengantarkan sarapan bagi mereka. Qi Shengniang ternyata memesan dua roti bundar yang harum, empat butir telur rebus yang diberi bumbu khas Kaifeng yang gurih, dan beberapa jenis makanan kecil acar dan sayuran segar untuk sarapan mereka. Ia juga memesan dua cangkir besar susu kambing yang hangat. Yin Li tampak senang melihat semua makanan itu. Ia makan dengan lahap, sesekali tersenyum pada Bibi Qi-nya.
"Kau harus selalu minum susu seperti ini mulai sekarang," kata Qi Shengniang lembut. "Telur dan susu itu akan membuatmu lebih kuat dan sehat untuk perjalanan kita ke utara."
---
Setelah sarapan mereka berjalan-jalan di sekitar penginapan untuk melihat-lihat kota. Beberapa orang yang melihat bekas luka di wajah Yin Li diam-diam berkomentar. Ada yang merasa kasihan, tetapi ada yang bernada menghina. Qi Shengniang merasa senang ketika melihat gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Saat ini Yin Li sudah tidak lagi berlatih Ilmu Seribu Jari Laba-laba Beracun[^jari-laba-laba], dan mukanya tidak pernah lagi bengkak-bengkak seperti sebelumnya. Meskipun ia tidak pernah secara khusus merawat kulit mukanya, tetapi makin lama wajahnya makin pulih seperti seharusnya. Ia menyesal bahwa ia pernah melatih ilmu itu sebelumnya. Tapi sudah lama ia tak pernah memikirkan kejadian-kejadian yang membuatnya sedih lagi. Ia merasa jauh lebih berbahagia sekarang, jadi ia sama sekali tak peduli apa yang dikatakan semua orang tentang wajahnya.
[^jari-laba-laba]: Qian Zhu Wan Du Shou (千蛛万毒手) secara literal berarti 'Seribu laba-laba dengan puluhan ribu tangan beracun', tetapi karena istilah itu sangat panjang, di sini kita terjemahkan menjadi 'Seribu Jari Laba-laba Beracun'
Ketika mereka lewat di deretan kios yang menjual bahan-bahan pakaian, mata Qi Shengniang tertarik pada keributan kecil antara beberapa petugas Dinasti Yuan yang sedang berdebat dengan salah satu pemilik kios di situ. Ia menarik tangan Yin Li untuk mendekat, dan mengamati apa yang sedang terjadi.
Ia melihat salah satu perwira itu sedang berkata, "Laoban[^laoban], hari ini kau sungguh harus membayar, karena kami tidak bisa lagi menunda laporan kepada atasan kami."
[^laoban]: Lao Ban (老板) kira-kira adalah panggilan yang sama seperti 'Boss!'.
Pemilik kios itu berbisik kepada seorang pegawainya, yang segera masuk, dan tak lama kemudian keluar lagi sambil menyelipkan sesuatu ke tangannya. Pemilik kios itu berkata kepada perwira di hadapannya, "Komandan, saat ini kami sungguh belum bisa membayar semuanya. Jumlah itu terlalu besar bagi kami." Ia maju selangkah, dengan maksud menarik tangan perwira itu untuk menyelipkan apa yang diberikan oleh anak buahnya.
Tetapi perwira itu mendadak mundur, lalu berkata lagi, "Laoban, kami bukan tidak mau membantu. Tapi kali ini sungguh-sungguh tidak bisa ditunda lagi. Pihak kami harus segera mengirim laporan ke pusat."
Qi Shengniang segera menyadari apa yang terjadi. Ia memberi isyarat kepada keempat pengawalnya untuk mendekat, dan memisahkan diri dari keramaian sementara perdebatan itu masih terus berlangsung. Ia lalu mengajak Yin Li menghampiri mereka.
Qi Shengniang berkata, "Han Lin, kau temani Nona Yin untuk membayar jumlah yang diperlukan bagi pemilik kios ini." Lalu ia berkata kepada Yin Li, "Kau membayar jumlah hutang pemilik kios itu di depan semua orang." Dan kemudian ia menoleh kepada tiga pengawalnya yang lain. "Aku menunggu kalian di kedai arak di depan itu. Setelah para petugas itu menerima bayaran, kalian harus menggiring mereka ke situ."
Yin Li tampak gembira mendengar tugas yang baginya sangat mudah itu. Ia segera mengikuti Han LIn mendekati kedua pihak yang masih bersitegang itu. Mereka mendengar pemilik kios itu berkata, "Pajak yang kalian tentukan terlalu tinggi, kami semua tidak sanggup membayarnya. Bukankah begitu, Saudara-saudara?" Ia menoleh kepada beberapa pemilik kios lain, yang adalah tetangganya.
Seruannya itu dengan segera didukung beramai-ramai oleh hampir semua orang yang hadir di situ. Beberapa orang dari mereka bahkan mulai memaki-maki Dinasti Yuan, dan mengeluarkan kata-kata kotor untuk memaki kaisar.
Melihat reaksi ini, para petugas itu dengan segera menghunus goloknya dan berkata dengan lantang, "Hei, hei, hei! Kami tidak ingin ribut, tapi kami harus melaksanakan tugas. Jadi kalau kalian terus memaksa, aku akan menggunakan kekerasan untuk menertibkan kalian."
Seorang pria yang bertubuh tegap dan mengenakan ikat kepala merah keluar dari kerumunan untuk menghadapi komandan itu sambil menggulung lengan bajunya dan berkata, "Kau kira kami takut melawanmu, hanya karena kalian bekerja sebagai Anjing Pemerintah ya?"
Ketika melihat gaya bicara dan ikat kepala merah yang dikenakannya, para petugas itu segera tahu bahwa orang ini setidaknya adalah pendukung Hongjin Qiyi atau Ming Jiao, yang biasanya selalu bersikap terang-terangan menantang para petugas pemerintah. Komandan itu berkata, "Tolong jaga kata-katamu. Saat ini juga kami bisa menangkapmu karena melawan petugas."
Pria bertubuh tegap itu meludah ke tanah, lalu berkata, "Lalu kenapa? Kulihat kau orang Han, tapi kau mau bekerja sebagai anjing bangsa Mongol! Akan kutunjukkan bagaimana seharusnya memperlakukan orang seperti kalian!"
Ucapannya disambut dengan sorak-sorai oleh para pengunjung pasar yang berkerumun untuk menyaksikan kejadian itu. Komandan itu mulai marah, mukanya memerah, dan ia siap menebas kaki meja di hadapannya, yang digunakan untuk meletakkan barang-barang dagangan kios.
Tepat pada saat itu, Yin Li maju sambil menahan lengan si komandan sebelum goloknya menghantam meja. Secara naluriah, komandan itu berusaha meneruskan gerakannya, tetapi ia terkejut ketika menyadari tangan yang kelihatannya lebih kecil dari tangannya sendiri itu ternyata mencekal pergelangan tangannya dengan sangat kuat, dan telapak tangannya mulai mati rasa. Ketika ia berpaling untuk melihat siapa orang yang dengan berani menghalangi gerakannya. Ia lebih kaget lagi ketika menyadari bahwa pemilik tangan itu ternyata hanya seorang gadis muda berusia dua puluhan, yang wajahnya dipenuhi bekas luka. Ia segera menduga bahwa gadis ini pastilah memiliki ilmu silat yang tidak bisa diremehkan.
Yin Li segera melepaskan cekalannya, dan saat itu Han Lin secara diam-diam menunjukkan tanda pengenal Qi Shengniang kepada si komandan yang ingin bertanya kepada Yin Li. Air muka komandan itu berubah menjadi tak jelas, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.
Yin Li berbalik kepada pria bertubuh tegap dan kasar yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh perhatian. Ia segera berkata, "Dage, kalau kau hanya ingin pamer kungfu, lain kali aku dengan senang hati akan meladenimu bermain-main. Tapi kalau kau sengaja memprovokasi orang seperti tadi, bukankah kau hanya akan merusak suasana pasar ini?"
Ia menoleh kepada para petugas yang menagih pajak sambil bertanya kepada komandan mereka, "Berapa jumlah yang harus dibayar pemilik kios ini?"
Komandan itu berkata, "Dia sudah menunggak pajak selama tujuh bulan. Laporannya ada di sini." Ia mengeluarkan selembar kertas berisi perincian yang harus dibayar oleh pemilik kios itu.
Yin Li berpaling kepada Han Lin dan berkata, "Han Lin, kau bereskan urusan ini segera!"
Han Lin membungkuk dan berkata, "Baik, Xiaojie!" Ia lalu mengajak para petugas dan pemilik kios untuk masuk ke kios dan berunding di situ.
Kemudian Yin Li berpaling kepada pria bertubuh tegap itu tanpa mengatakan apa-apa. Orang itu berkata, "Sebaiknya kau tidak mencampuri urusanku, atau aku akan bersikap kasar kepadamu."
"Eh, Dage," kata Yin Li dengan santai. "Kupikir ini sebetulnya hanya urusan pemilik kios ini dan para petugas itu. Bagaimana bisa menjadi urusanmu?"
Kesabaran orang itu tampaknya mulai habis. Nada bicaranya jadi agak tinggi, "Kuperingatkan sekali lagi, jangan campuri urusanku. Aku tidak ingin menyakitimu!"
Yin Li tertawa, lalu berkata, "Ini agak lucu. Ternyata kita sama. Aku juga tidak ingin menyakitimu."
Para pengunjung pasar mulai bertepuk tangan meriah. Mereka merasa sebentar lagi akan terjadi keributan seru.
Pria itu naik darah mendengar nada bicara Yin Li. "Baiklah," katanya. "Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu." Ia bergerak maju sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menangkap lengan Yin Li. Bagaimanapun juga, ia tidak bermaksud bertindak kasar kepada seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya jauh lebih kecil ketimbang dirinya, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang di pasar.
Tetapi ternyata Yin Li hanya perlu memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, dan pria itu menangkap angin. Dengan penasaran ia meneruskan gerakannya karena tangan kiri Yin Li tepat berada di depan tangan kanannya. Sayangnya ia lagi-lagi menangkap angin. Yin Li menggerakkan kaki kirinya setengah putaran untuk menghindari tangkapan lawan.
Sekarang para penonton mulai menyoraki adegan itu dengan gembira. Pemandangan itu sebetulnya agak lucu, karena pria itu bertubuh jauh lebih besar dan wajahnya agak menakutkan, sedangkan Yin Li bertubuh kecil dan lebih pendek. Tetapi dua kali pria itu menangkap angin, dan mereka semua melihat bahwa gadis itu masih tenang-tenang saja, sama sekali tidak kelihatan takut.
Sekarang pria itu tidak lagi merasa segan menghadapi Yin Li. Ia melayangkan tinjunya ke muka Yin Li menggunakan setengah bagian tenaganya. Tetapi lagi-lagi serangannya gagal. Yin Li kembali menggeser kaki kirinya setengah putaran, dan tiba-tiba ia sudah berada di belakang lawan.
Merasa dipermainkan, pria itu lalu melancarkan pukulan bertubu=tubi ke arah muka Yin Li, dan semuanya hanya menemui tempat kosong. Semakin penasaran, pria itu kemudian melancarkan dua tendangan beruntun ke arah muka dan perut Yin Li, yang diikuti oleh sebuah hook kanan yang sangat keras.
Kedua tendangan itu memang hanya menyambar angin, tetapi pukulannya nyaris menerpa muka Yin Li dengan telak. Tetapi ia tidak sempat merayakan kemenangannya, karena ternyata lawannya menyentuh bagian bawah siku kanannya yang sedang bergerak dengan halus, dan ia merasa tangannya kesemutan. Gerakan itu terhenti tepat ketika tinjunya yang besar berada sekitar satu inci di depan dagu Yin Li. Ia sangat terkejut ketika merasa tangan kanannya tidak bisa digerakkan.
Untungnya sedetik kemudian ia merasa jari telunjuk gadis itu menyentuh beberapa titik di lengan kanannya, lalu lengan itu kembali bisa digerakkan. Tetapi bukannya berterima kasih, ia menjadi lebih murka. Dengan sepenuh tenaga ia melayangkan hook kiri-kanan, dan ketika semuanya menghantam angin, ia mengamuk sambil menyerang Yin Li bertubi-tubi secara tak terkendali. Sema gerakannya menjadi ngawur dan tidak lagi memakai teknik bela diri yang benar.
Sorak-sorai penonton semakin meriah ketika Han Lin keluar dari dalam kios bersama para petugas Dinasti Yuan. Mereka tidak mempedulikan kehadiran orang-orang yang baru keluar itu, dan semakin memprovokasi kedua orang yang sedang berkelahi.
Tetapi Yin Li tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia bergerak setenah lingkaran untuk menghindari tendangan lawan, lalu dengan ujung kaki kirinya ia menendang titik akupuntur Zhu Bin di betis kanan pria itu. Kemudian ia berbisik ke telinganya, "Dage, jangan permalukan dirimu lagi. Aku tidak ingin mencari musuh, setelah ini kau boleh pergi dengan bebas."
Setelah itu Han Lin berpaling kepada para pengunjung pasar yang sedang berkerumun sambil berkata, "Saudara-saudara, ini hanya kesalahpahaman biasa. Semuanya sudah dibereskan. Kalian bisa bubar sekarang. Tidak ada yang menarik di sini."
Para pengunjung itu bubar sambil bergumam tidak jelas di antara mereka sendiri. Banyak orang merasa kecewa karena tidak bisa menonton pertunjukan yang menarik.
Setelah semuanya tenang, Han Lin berkata kepada Yin Li, "Xiaojie, tadi Furen bilang ingin bicara dengan dia ini."
Yin Li mengangguk, lalu membebaskan totokan di betis pria itu. Setelah itu Han Lin berkata lagi, "Kurasa kita bisa mengajaknya makan bubur di dekat sini sambil menunggu Furen selesai menangani urusan lain itu. Kecuali kalau Xiaojie ingin makan yang lain."
"Kita ke situ saja," jawab Yin Li.
Para petugas Dinasti Yuan itu secara diam-diam digiring oleh tiga pengawal yang lain ke kedai di mana Qi Shengniang sudah menunggu sambil menyaksikan keramaian itu dari jauh.
Begitu melihat Qi Shengniang, mereka ketakutan, dan bermaksud memberi hormat sambil minta ampun, tetapi Qi Shengniang segera memberi isyarat supaya mereka diam. "Tidak usah berlebihan, aku hanya ingin ngobrol sebentar. Setelah itu kalian boleh pergi," katanya sambil menyuruh mereka duduk di hadapannya. Setelah mereka duduk, ia menambahkan, "Di sini kalian boleh memanggilku Qi Furen."
Semua petugas itu tidak tahu bagaimana harus bereaksi, jadi mereka hanya diam.
Qi Shengniang menoleh kepada salah seorang pengawalnya, dan berkata, "Coba catat nama-nama mereka, dan di mana mereka bekerja."
Para petugas itu mengatakan nama mereka masing-masing dan juga kantor tempat mereka bekerja, dan pengawal itu mencatatnya dengan patuh. Lalu Qi Shengniang berkata lagi, "Aku tidak akan mempermasalahkan berapa jumlah uang yang pernah kalian terima dari para pemilik kios di sini, dan aku juga tidak akan meminta kalian menyerahkan uang itu."
Sejenak mereka merasa agak lega, tetapi kemudian mereka merasa lebih waswas ketika mendengar nada bicara Qi Shengniang.
"Jika kalian merasa gaji yang kalian terima selama ini tidak cukup, kalian bisa mengatakannya kepadaku sekarang," kata Qi Shengniang dengan muka serius. "Aku akan menyuruh majikan kalian menaikkan gaji itu seperlunya."
Ia menunggu jawaban mereka semua, tapi tak seorang pun berani bersuara. Karena itu ia melanjutkan, "Tetapi mulai sekarang, aku melarang kalian menerima uang seperti ini lagi — berapapun jumlahnya. Ini bisa dipahami?"
Para petugas itu serempak menjawab, "Bisa, bisa."
"Bagus," kata Qi Shengniang. "Berarti lain kali jika aku sampai menemukan laporan yang menyebutkan nama kalian untuk kesalahan seperti ini, aku tidak perlu lagi memperingatkan. Kalian boleh pergi sekarang!"
Kata-kata itu artinya adalah, jika lain kali Permaisuri Qi sampai memergoki mereka menerima uang lagi, maka leher mereka akan putus tanpa pemberitahuan.
Para petugas itu undur diri dengan patuh. Tetapi Qi Shengniang berkata kepada komandan mereka, "Kau tinggal dulu, aku ingin bicara."
Komandan itu duduk tanpa berani menatap Qi Shengniang. Ia diam menunggu sampai Qi Shengniang bicara, "Aku tahu pajak yang ditetapkan Dinasti Yuan saat ini memang agak tinggi, tetapi bukan begitu tingginya, sampai semua orang tidak sanggup membayar! Jadi jika jumlah yang ditagih itu melampaui apa yang seharusnya, sudah pasti di tengah-tengahnya ada banyak pihak yang ingin menerima uang lebih. Aku yakin kau pun memahami hal ini."
Setelah berpikir agak lama, komandan itu akhirnya berkata, "Furen memang benar."
"Aku tahu kalian sebenarnya petugas yang baik, dan kalian tidak sembarangan bertindak kasar," lanjut Qi Shengniang lagi. "Tapi jika kalian menerima uang itu, selanjutnya kalian akan sulit menjawab jika ada orang lain yang dengan sengaja ingin memprovokasi seperti tadi. Aku akan mengusut persoalan ini sampai tuntas, dan mamastikan bahwa jumlah yang harus kalian tagih memang adalah jumlah yang sebenarnya ditetapkan oleh pemerintah." Ia menoleh kepada An Shubiao, lalu berkata lagi, "Mulai besok, setiap hari kau harus datang melapor kepadaku di alamat yang akan diberikan ini sebelum mulai bertugas." An Shubiao memberikan alamat penginapan Qi Shengniang.
Qi Shengniang melanjutkan kata-katanya, "Dan katakan kepada semua anak buahmu supaya tidak membesar-besarkan peristiwa yang terjadi hari ini. Kau mengerti maksudku?"
Komandan itu segera mengiyakan, dan Qi Shengniang kemudian menyuruhnya pergi.
"Kita kembali ke penginapan," kata Qi Shengniang.
Pria bertubuh tegap yang tadi berkelahi dengan Yin Li disuruh mengikuti mereka. Yin Li segera menotok beberapa titik akupuntur untuk membuatnya diam dan tidak bisa menggerakkan kedua lengannya ketika ia ingin protes.
Setibanya di kamar penginapan, Qi Shengniang berkata, "Ah Li, bebaskan totokannya!"
Begitu merasa kedua tangannya kembali bisa digerakkan, orang itu segera maju untuk menyerang Qi Shengniang. Ketika merasa tak ada orang di situ yang berusaha menghalangi niatnya, ia segera mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Tetapi di luar dugaannya, dalam satu jurus pergelangan tangannya telah berhasil dicekal oleh Qi Shengniang, lalu detik berikutnya ia dibuat kembali tidak bisa bersuara.
Qi Shengniang berkata, "Seperti kau lihat sendiri, sebetulnya kau sama sekali bukan lawanku. Dan bahkan bukan lawan anakku. Tapi aku merasa kau sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang baik ketimbang berkoar-koar dan mencari masalah dengan hanya mengandalkan ilmu berkelahi di pasar seperti tadi. Kalau kau kira bahwa kau sedang melakukan sesuatu yang baik untuk rakyat, maka kau salah besar. Kalau kau sungguh ingin berjuang untuk rakyat, kuanjurkan supaya sekarang juga kau pergi ke Xiangyang untuk bertemu dengan Zhang Jiaozhu. Katakan bahwa Bibi Qi yang menyuruhmu datang untuk bergabung. Kau pasti akan diterima. Gunakan kesempatan itu untuk belajar baik-baik. Mulai sekarang jangan membuat kekacauan lagi!"
Ketika mendengar Qi Shengniang menyebutkan 'Zhang Jiaozhu', orang itu terbelalak kaget. Ia ingin bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Qi Shengniang segera membebaskan totokannya. Pria itu cepat-cepat berlutut sambil berkata, "Xiaoren pantas mati! Xiaoren tidak menyangka hari ini bisa bertemu dengan pejabat tinggi Ming Jiao."
"Tak usah berlebihan," kata Qi Shengniang. "Mulai sekarang berhentilah menghasut rakyat! Jika mereka sampai celaka, maka banyak orang pasti akan menyalahkan Ming Jiao! Kau pikir keadaan kacau seperti sekarang ini bagus ya? Ini sama sekali bukan tujuan Ming Jiao! Ajak teman-temanmu ke Xiangyang, dan belajarlah yang benar."
Pria itu mengiyakan sambil membenturkan dahinya berkali-kali ke lantai.
"Aku bukan ketua Ming Jiao!" kata Qi Shengniang. "Jadi kau juga tidak perlu bersikap seperti ini. Aku akan senang jika lain kali bisa mendengar bahwa kau sudah bertobat, dan banyak belajar dari keponakanku Zhang Wuji. Siapa namamu?"
"Xiaoren bermarga Xin," jawab orang itu. "Bernama He. Xiaoren berasal dari Jiangnan."
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang," kata Qi Shengniang lagi. "Pikirkan nasihatku baik-baik."
Xin He kembali membenturkan kepalanya tiga kali ke lantai, sebelum akhirnya minta diri.
Setelah ia pergi, Qi Shengniang berkata, "Tak terasa, sekarang sudah siang. Kalian mau makan apa?"