💠 Bagian 2: MATA YANG TIDAK TIDUR
Langkah kami memasuki kota suci Aurielle bukanlah langkah kemenangan.
Ia lebih mirip langkah seorang terdakwa yang baru menjejakkan kaki ke ruang pengadilan.
Gerbang kota menjulang tinggi, dijaga oleh pasukan berpakaian putih-perak, dengan simbol mata emas tergantung di dada mereka. Mata itu… tidak berkedip. Tidak berkedip secara harfiah karena sebagian dari mereka adalah "Pengawas" yang sudah dimodifikasi secara sihir untuk tak perlu tidur.
Kartu identitas kami diperiksa satu per satu.
Ketika namaku disebut, penjaga mengangkat alis. "Tatsumi… dari Renveil?"
Aku menahan napas.
Ia memeriksa lembaran kecil dalam gulungan kristal yang menggantung di lehernya. Lalu menatapku lagi lebih lama. Tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya... seperti mencatat sesuatu.
> Mereka tahu aku bukan siapa-siapa, tapi mereka juga tahu aku bukan siapa-siapa yang biasa.
Kami diperbolehkan lewat. Tapi saat melewati lorong gerbang, aku bisa merasakan ada semacam segel sihir di udara. Sesuatu yang 'merekam'.
---
Aurielle... begitu putih, begitu bersih, dan begitu sunyi.
Tak ada anak-anak bermain. Tak ada suara tawa dari toko roti atau rumah teh.
Hanya langkah kaki, doa-doa yang dibisikkan dalam bahasa lama, dan tatapan dingin dari setiap patung dewa penyembuh yang berdiri tegak di setiap sudut kota.
"Kota ini... terlalu tenang," bisik Kara di sebelahku.
Leo mengangguk. "Karena semua sedang diawasi. Atau... semua sedang saling mengawasi."
---
Kami menginap di sebuah penginapan kecil bernama Sihir Salvia, bangunan tua tiga lantai yang dindingnya mengelupas tapi jendelanya tebal. Pemiliknya, nenek tua berjubah abu-abu, hanya punya satu mata.
"Jangan bicara terlalu keras," katanya sambil menyerahkan kunci kamar. "Dan jangan pernah membuka jendela kalau tidak penting."
"Kenapa?" tanya Kara.
Wanita tua itu tersenyum tipis. "Karena dinding... punya telinga. Tapi langit-langit punya mata."
---
Malam pertama, aku tidak bisa tidur.
Aku berdiri di balik tirai kamar, memperhatikan atap rumah-rumah di seberang jalan. Dan di sana di bangunan tua di ujung blok aku melihatnya.
Siluet. Tak bergerak. Tak berkelip. Tapi menatap lurus ke arahku.
Kara ikut mendekat.
"Sejak kita masuk gerbang, ada tiga pasang mata yang menempel padamu," bisiknya.
Leo bangkit dari tempat tidur. Ia menggambar lingkaran sihir di lantai. "Mereka menggunakan pengamat tingkat dua. Dan dua lainnya... bukan dari gereja."
Aku menatap Leo. "Kalau bukan gereja, siapa?"
Ia menunduk. "Kelompok bebas. Mantan penyembuh yang diburu karena kemampuan yang melampaui aturan gereja. Beberapa dari mereka jadi pembunuh. Dan beberapa... jadi pemburu penyembuh lain."
---
Keesokan harinya, kami mengunjungi kuil penyembuh kelas dua.
Kuil itu lebih mirip benteng putih yang suci di luar, tapi penuh lapisan sihir pengunci di dalam. Kami ditolak saat ingin mengakses ruang arsip.
"Saat ini hanya penyembuh resmi gereja yang diizinkan masuk," kata seorang biarawan muda. Ia berbicara sopan, tapi setiap kalimatnya seperti sudah dilatih untuk menyisipkan ancaman tak kasat mata.
Namun... saat kami pergi, aku melihatnya.
Seorang biarawati muda, berjubah abu pudar menunduk dan menyelipkan secarik kertas ke bawah pot bunga di dekat gerbang keluar.
Aku menunggu beberapa saat, lalu mengambilnya diam-diam.
> "Jika kau benar-benar ingin tahu... datanglah ke Gerbang Tertutup saat lonceng malam ketiga berbunyi. Datang sendiri."
---
Kami kembali ke penginapan.
Tirai jendela kami robek.
Tapak kaki halus tertinggal di lantai kayu. Tapi tak ada barang hilang.
> Mereka masuk. Mereka mencari.
Tapi yang lebih menakutkan… mereka tidak mengambil apapun.
Itu berarti mereka sudah dapat apa yang mereka mau.
---
Leo memasang lima lapis penghalang. Tapi malam itu, aku tahu...
Tak satu pun dari kami yang benar-benar aman di kota ini.
Dan untuk pertama kalinya… aku mulai bertanya-tanya,
apa yang sebenarnya sedang dicari oleh Gereja?
Dan kenapa aku penyembuh yang bahkan tak tahu dari mana kekuatannya berasal menjadi target mereka?