Cahaya yang Membakar Diri Sendiri

📙 Bab 9 – Bagian 2: Aku yang Terlalu Terlambat

---

"Itu adikku…!"

Leo berteriak dan berlari ke depan.

Anak kecil yang berdiri di tengah reruntuhan hanya menoleh perlahan.

Wajahnya kosong. Tubuhnya memancarkan aura hitam yang mengalir seperti asap.

Dari punggungnya, dua cabang energi berbentuk sayap bergerak seperti makhluk hidup.

> Dan di matanya… tak ada cahaya kehidupan.

Hanya gelap. Hampa.

Seperti telah kehilangan seluruh alasan untuk hidup.

---

Ledakan terjadi.

Tanpa aba-aba. Tanpa peringatan.

Leo terpental.

Kara mengangkat perisai sihirnya, tapi aura anak itu menembus segala pertahanan.

Aku melompat ke depan, mengaktifkan lapisan sihir pelindung penyembuh tapi energi itu terlalu liar.

Sihirku tak menenangkan… justru terbakar oleh kekuatan kegelapan yang terus melonjak.

---

> "Apa… ini akibat retakan di segel?"

"Atau... efek dari fluktuasi sihir setelah insiden gua?"

Tak ada waktu untuk berpikir.

Anak itu kembali berteriak.

Suara tangis yang bukan berasal dari tenggorokannya tapi dari jiwanya.

Dan entah kenapa… aku mengerti perasaannya.

> "Dia… tidak ingin menyakiti siapa pun," bisikku.

"Dia hanya tak tahu cara berhenti."

---

Aku bergerak. Menjauh dari Kara dan Leo.

Mendekati anak itu perlahan, meski energi gelap mulai merobek tanah di sekitarnya.

Setiap langkah seperti menembus ribuan jarum.

Tapi aku terus maju.

> "Aku tahu kau takut."

"Aku tahu kau marah."

"Aku tahu rasanya ingin semuanya berhenti."

Langkahku makin dekat.

Tubuhku gemetar, tapi aku tetap berjalan.

> "Tapi aku juga tahu…

saat kau kehilangan semua harapan…

satu pelukan bisa menyelamatkan dunia kecilmu."

---

Dan aku memeluknya.

Tepat di tengah pusaran energi gelap.

Pundakku terbakar. Lengan kiriku terluka.

Tapi aku tidak melepaskannya.

> "Aku di sini…"

"Kau tidak sendiri…"

---

Anak itu meronta. Menjerit.

Kegelapan semakin menggila membentuk ilusi : wajah-wajah keluarganya yang mati, suara-suara yang menyalahkan.

> Dan aku memeluk lebih erat.

"Kalau semua membencimu… biar aku jadi orang yang tetap tinggal."

---

Dan akhirnya…

Cahaya hijau muncul dari tanganku.

Bukan cahaya penyembuh biasa.

Tapi cahaya yang menelan kegelapan dengan kelembutan.

Bukan memaksa tapi memeluk.

Anak itu perlahan jatuh pingsan di pelukanku.

Aura hitam lenyap seperti debu ditiup angin.

---

Tubuhku roboh.

Aku tak bisa berdiri. Tak bisa bicara.

Tanganku gemetar hebat.

Leo berlari menghampiri. Kara ikut menahan tubuhku.

> "Dia selamat…" gumam Leo.

"Kau menyelamatkannya…"

Aku hanya menatap langit.

Dan untuk pertama kalinya…

> aku tak merasa lega.

Aku merasa… kosong.

---

"Tubuhmu terlalu banyak menyerap mana negatif," kata Kara pelan.

> "Kau akan mati jika terus memaksakan penyembuhan seperti ini."

---

Aku tersenyum pahit.

> "Mungkin itu harga dari menjadi 'penyembuh yang tak ingin jadi pahlawan'…"

"Tapi... setidaknya aku masih bisa menyelamatkan seseorang… satu orang saja…"

---

Dari balik bayang-bayang reruntuhan, seekor burung hitam kembali terbang.

Terbang ke arah ibu kota.

Ke tempat di mana orang-orang penting sedang menunggu…

dan nama "Tatsumi" sudah mulai menjadi perbincangan.

---