Beberapa jam setelah fajar menyingsing, di sebuah puncak bukit yang menandai batas terakhir pandangan menuju kampung halamannya, Hariel berhenti melangkah.
Dari sini, Inspiriaville yang ajaib tampak seperti miniatur yang terhampar di lembah hijau. Atap-atap anehnya—rumah jamur, rumah berbentuk punggung kucing, menara kue ulang tahun—terlihat begitu damai di bawah cahaya matahari pagi.
Ia bahkan bisa melihat kepulan asap tipis dari cerobong Hellfire Bakery, pertanda Nenek Ivana sudah memulai hari.
Pesta semalam terasa seperti mimpi yang riuh. Sorak-sorai, tawa, dan pelukan hangat.
Tapi kini, yang ada hanyalah keheningan. Dan jalan setapak yang membentang sepi di hadapannya.
Ini adalah kenyataan dari sebuah petualangan.
Dia mengangkat tangannya yang kini terbungkus sarung tangan kulit pemberian Pak Tua Ed. Bukan untuk pekikan menantang langit, melainkan hanya sebuah lambaian kecil yang pelan. Sebuah lambaian untuk dirinya sendiri.
"Aku berangkat, semuanya," bisiknya pada angin. "Jaga diri kalian baik-baik."
Setelah hening sejenak, ia berbalik. Tanpa menoleh lagi, ia melanjutkan perjalanannya.
Matahari mulai meninggi. Sinarnya yang tadi terasa hangat kini mulai menyengat. Ransel di punggungnya terasa lebih berat dari yang dia ingat, dan semangat membara semalam mulai sedikit meredup di bawah kelelahan yang nyata.
Otot-ototnya yang pegal setelah pertarungan dengan Gorzuga kini menjerit protes dengan setiap langkah.
"Aku janji… uh… bakal kirim kabar… kalau ingat dan nemu cara!" serunya ke arah belakang, lebih untuk memecah kesunyian daripada apa pun.
Dia menghela napas panjang, menyeka keringat dari pelipis.
Semangatnya memang masih ada, tapi ia harus mengakui, dirinya sedikit terlalu gegabah. Kenapa dia tidak berpikir membawa bekal lebih banyak dari sekadar beberapa bungkus 'Hellfire Cracker'? Atau paling tidak, bertanya pada Pak Tua Ed arah mana yang sebaiknya diambil?
Pesta semalam benar-benar membuatnya lupa daratan.
"Aku akan menemukanmu, Kakek," bisiknya, jari-jarinya tanpa sadar meremas liontin matahari biru di lehernya. Benda itu terasa dingin di kulitnya. "Dan ZERO ONE juga... semoga saja aku tidak pingsan kelaparan di tengah jalan..."
Semakin jauh ia melangkah, semakin banyak pohon yang terlihat serupa. Keraguan mulai merayap masuk seperti kabut pagi yang dingin.
Oke, jadi… Penakluk Langit ini… mau menaklukkan langit sebelah mana dulu, ya? pikirnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Hariel berhenti tiba-tiba.
Jalan setapak yang tadi jelas ada, kini tampak menyempit dan menghilang begitu saja ditelan semak belukar lebat. Tidak ada tanda peradaban. Tidak ada penunjuk arah.
Hanya kesunyian hutan yang kini terasa berbeda—bukan lagi menantang, tapi mengintimidasi.
"Astaga..." Hariel menepuk jidatnya keras. "Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku tanya Pak Tua Ed! Atau paling tidak bawa kompas butut peninggalan Kakek!"
Pikiran untuk kembali ke desa sempat terlintas. Tapi bayangan wajah Nenek Ivana yang akan menjewer telinganya, atau senyum tipis Pak Tua Ed yang seolah berkata 'sudah kuduga', langsung memupus niat itu. Gengsinya terlalu tinggi.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah secepat ini!" serunya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Aku hanya perlu terus maju! Siapa tahu ada sumber makanan enak di depan sana!"
Dengan langkah yang kini terasa lebih berat, Hariel kembali berjalan. Ia memilih arah yang tampaknya paling mungkin dilewati, yang berarti kembali memasuki area Hutan Onivira dari sisi yang berbeda.
Hutan ini terasa lebih gelap dan jauh lebih angker. Bayangan pepohonan tampak lebih panjang dan menakutkan, seolah tangan-tangan raksasa siap menangkapnya.
"Mungkin... ini bukan ide yang bagus," gumamnya pelan, menelan ludah.
Dia terus berjalan, kini dengan sangat hati-hati. Setiap gemerisik daun atau ranting patah membuatnya terlonjak kaget. Dia bahkan mulai merasa seperti ada sepasang mata tak terlihat yang terus mengawasinya dari antara batang-batang pohon yang gelap.
"Oke... hutan ini... jadi benar-benar menyeramkan kalau sendirian," bisiknya, suaranya sedikit bergetar. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. "Kalau saja... ada petunjuk sedikit saja..."
Tiba-tiba...
"... Ke barat..."
Suara itu begitu halus. Seperti hembusan angin, tapi menusuk langsung ke dalam benaknya.
Hariel melompat mundur kaget, jantungnya serasa mau copot. Matanya membelalak liar.
"Si-siapa itu?!" serunya, suaranya pecah karena panik.
Tidak ada jawaban. Hutan kembali sunyi senyap, bahkan terasa lebih mencekam dari sebelumnya.
"A-apa... apa tadi itu cuma perasaanku saja? Atau aku sudah mulai gila karena lapar?" gumamnya, tangannya mulai gemetar. Roh hutan? Penunggu pohon? Atau kutukan Gorzuga?
"... Arah matahari terbenam..."
Suara itu terdengar lagi. Kali ini seolah ada yang berbisik tepat di samping telinganya. Dingin merayap di tengkuknya.
"SIAPA KAU KATAKU?! KELUAR SEKARANG! JANGAN MAIN SEMBUNYI-SEMBUNYI KAYAK PENGECUT SIALAN!" teriak Hariel sekuat tenaga, suaranya menggema aneh di antara pepohonan.
Dia berputar-putar panik, tapi tidak ada siapa-siapa.
"Aku bukan... penunggu hutan..." Suara itu kembali, kali ini ada nada kesal di dalamnya.
"HUAAAAHHHH! HANTUUUUUUUUUUUU!!!!!"
Logika dan keberaniannya menguap seketika.
Didorong oleh teror murni, Hariel berbalik dan berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Menerobos semak belukar tanpa peduli arah. Dahan-dahan kecil mencambuk wajahnya. Duri-duri tajam menggores lengannya. Dia tidak peduli.
"TIDAAAAAKKK! AKU TIDAK MAU MATI DIGANGGU HANTU!" raungnya sambil terus berlari. "AKU BELUM MENEMUKAN ZERO ONE!" "AKU BAHKAN BELUM MAKAN SIANG!"
"Hei, bocah bodoh! Berhenti! Kau itu salah arah!" Suara itu terdengar lagi, kini lebih keras dan nadanya jelas-jelas marah.
Tapi teriakan itu justru memacu Hariel berlari lebih kencang, sampai akhirnya… kakinya tersangkut akar pohon besar.
BRUK!
"ADUUUHHH SAKIIITTT!"
Dia terjatuh dengan keras, wajahnya mencium tanah hutan yang lembap. Rasa sakit yang tajam menjalar dari lututnya. Tenaganya habis terkuras oleh kepanikan.
"Hantu… hantu jahat mau menangkapku…" gumamnya pasrah, meringkuk di tanah, memeluk lututnya yang berdenyut nyeri.
"Sudah kubilang, aku ini bukan hantu, dasar bocah keras kepala!"
Suara itu terdengar lagi. Kali ini… sangat dekat. Tepat di depannya.
Dengan sisa keberanian terakhir, Hariel perlahan mengangkat kepalanya, siap melihat wujud menyeramkan apa pun.
Tapi… di depannya tidak ada apa-apa.
Hanya ada liontin matahari biru yang tergantung di lehernya, kini bersinar redup dengan cahaya biru lembut.
Dan suara itu… tidak salah lagi… datang dari sana.
"Ap… apa…?" Hariel menatap liontinnya dengan mata terbelalak tak percaya.
Liontin itu bergetar pelan, dan cahaya birunya semakin terang.
"Namaku… Luminaria Aravian," suara itu terdengar lagi, kini lebih jernih, lebih tenang, dan… terdengar agak feminin?
"Tapi kau boleh panggil aku Lumi."