Hariel terduduk diam membeku.
Napasnya masih terengah-engah, lututnya perih bukan main, dan otaknya berusaha keras memproses rentetan kejadian aneh yang baru saja menimpanya.
Sebuah suara feminin yang berwibawa baru saja memperkenalkan diri dari dalam liontin peninggalan Kakeknya.
Ini pasti halusinasi, pikirnya liar. Pasti karena aku terlalu lapar dan kelelahan. Atau mungkin aku terbentur terlalu keras saat jatuh tadi.
Dengan sedikit ragu, dia memberanikan diri mengambil liontin itu dengan tangannya yang gemetar. Ia mendekatkannya ke depan wajah, mengamatinya dengan saksama seolah baru pertama kali melihat benda itu.
Batu permata biru di tengahnya bersinar dengan cahaya yang lembut dan menenangkan.
"Ka-kamu... liontinku..." katanya tergagap, suaranya masih bergetar. "Kamu beneran bisa bicara?"
"Tentu saja aku bisa bicara," jawab suara itu dari dalam liontin, kali ini nadanya sedikit lebih tegas, hampir seperti seorang guru yang kehilangan kesabaran. "Memangnya menurutmu tadi itu suara angin malam yang kebetulan pintar memberi petunjuk arah? Lagi pula, aku bukan 'hanya' liontin, asal kau tahu."
"Lalu... kamu ini apa sebenarnya?" desak Hariel. Rasa takutnya yang tadi mencekik perlahan mulai tergantikan oleh gelombang rasa penasaran yang luar biasa besar—rasa penasaran yang sama yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal nekat.
"Sudah kubilang, namaku Luminaria Aravian. Tapi itu terlalu panjang untuk diucapkan setiap saat. Panggil saja aku Lumi," jawab suara itu.
Bersamaan dengan kalimat perkenalan itu, sesuatu yang lebih ajaib terjadi.
Cahaya biru di dalam liontin berputar semakin terang, kemudian seolah mengalir lembut keluar seperti cairan cahaya. Tepat di depan wajah Hariel yang melongo, cahaya itu berkumpul dan membentuk sesosok makhluk kecil yang melayang anggun.
Ukurannya hanya setelapak tangan.
Wujudnya seperti gadis peri yang keluar dari buku dongeng, dengan rambut perak panjang yang berkilauan seperti jalinan cahaya bulan.
Sepasang mata biru safir yang besar dan bersinar teduh menatapnya, diapit oleh telinga runcing yang anggun. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna biru malam, dihiasi sulaman pola spiral perak yang berpendar redup.
Wajah mungilnya yang pucat menatap Hariel dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.
"WAAAA!"
Hariel terlonjak kaget—untuk kesekian kalinya hari ini!—dan refleks melompat mundur hingga punggungnya menabrak batang pohon dengan keras.
"MA-MAKHLUK APA LAGI INI?! JANGAN-JANGAN KAMU INI SILUMAN PENUNGGU LIONTIN YANG SEBENARNYA?!"
Makhluk kecil bernama Lumi itu memutar bola matanya dengan gerakan yang sangat kentara. Ekspresi super kesal terpampang jelas di wajah mungilnya.
"Ya ampun, bocah ini benar-benar..." desahnya pelan, suaranya kini terdengar langsung dari wujud fisiknya, bukan lagi dari dalam pikiran Hariel.
"SUDAH KUBILANG BERAPA KALI, HAH?!" bentaknya, suaranya yang melengking terdengar lucu dari sosok sekecil itu. "Aku bukan hantu, bukan siluman, bukan penunggu, bukan jin botol, bukan pula monster dari kolong tempat tidur!"
Ia menunjuk dirinya sendiri dengan jari mungilnya yang berpendar. "Aku Lumi! L-U-M-I! Dan aku ini... yah, anggap saja untuk saat ini aku adalah pemandumu!"
"Pe... pemandu?" ulang Hariel, otaknya masih terasa seperti bubur.
Liontin Kakeknya bisa bicara, dan sekarang ada peri kecil super cerewet melayang di depannya. Ini bahkan lebih aneh dari arsitektur rumah-rumah di Inspiriaville.
"Ya, pemandu," ulang Lumi, melipat tangan mungilnya di dada dengan gaya angkuh. "Tugasku, sejauh yang berhasil kuingat dari tidur panjangku, adalah membantumu. Menunjukkan jalan yang benar, memberimu informasi penting..."
Ia melirik Hariel dari atas ke bawah.
"...dan mungkin menjagamu dari bahaya kalau kau tidak terlalu ceroboh dan lari menjerit-jerit seperti tadi."
Ia menghela napas panjang yang terdengar terlalu dramatis. "Sejujurnya, ingatanku agak kabur. Aku sudah berada di dalam liontin ini... lama sekali, rasanya seperti ribuan tahun. Aku baru bisa muncul dalam wujud ini jika pemilik liontin ini—yaitu kau, sekarang—membutuhkan bantuan darurat atau benar-benar... yah..."
Lumi melirik keadaan Hariel yang kotor dan tersesat. "...kehilangan arah dan hampir menangis."
Hariel merasa sedikit tersindir. "Hei! Aku tadi cuma sedikit bingung arah, tahu! Dan aku tidak hampir menangis!"
"Oh ya?" cibir Lumi, salah satu alis peraknya yang tipis terangkat mengejek. "'Sedikit bingung' sampai lari seperti dikejar arwah gentayangan?"
"Itu... itu karena kaget luar biasa!" bela Hariel, wajahnya sedikit memerah. "Siapa juga yang tidak kaget kalau tiba-tiba ada suara entah dari mana di tengah hutan angker begini?!"
Lumi tertawa kecil, suara tawanya terdengar jernih seperti denting lonceng angin perak. "Baiklah, baiklah, aku tarik kata-kataku soal menangis. Aku akui, mungkin cara kemunculanku tadi sedikit mendadak."
Hariel menghela napas lega. Setidaknya, makhluk aneh ini tidak tampak jahat.
"Oke... baguslah. Jadi... kau bilang kau bisa membantuku? Kau tahu banyak hal?"
"Tentu saja," jawab Lumi, nadanya kembali lebih serius. "Aku menyimpan banyak sekali informasi di dalam sini," ia menepuk liontin yang masih menggantung di leher Hariel dengan jari mungilnya. "Tentang dunia ini, tentang sejarahnya yang terlupakan... bahkan mungkin tentang..."
Lumi terdiam sejenak, tatapan mata birunya berubah tajam dan penuh arti.
"...tentang ZERO ONE."
Mata Hariel langsung melebar penuh harap. Rasa lelah dan sakit di lututnya seolah lenyap seketika. "Benarkah?! Kau tahu soal ZERO ONE?!"
"Sedikit," jawab Lumi, kembali ke sikap datarnya yang misterius.
Tapi sebelum Hariel sempat memberondongnya dengan seribu pertanyaan lagi, ekspresi Lumi tiba-tiba berubah.
Kruuuk...
Perutnya yang mungil tampak berbunyi pelan—sangat aneh untuk makhluk cahaya.
"Ngomong-ngomong," katanya cepat, mengalihkan pembicaraan, "Energi untuk muncul dalam wujud fisik seperti ini ternyata cukup besar. Apakah... apakah kau kebetulan punya sesuatu untuk dimakan? Aku lapar sekali."
Hariel terdiam sesaat, menatap peri kecil yang kelaparan itu, lalu tertawa terbahak-bahak. Kali ini tawa lega bercampur geli.
Ternyata pemandu ajaibnya yang penuh misteri ini punya prioritas yang sama dengannya: makanan!
"Oke, oke! Kebetulan aku punya 'Hellfire Cracker' kesukaanku!" kata Hariel, sambil merogoh ranselnya dan mengeluarkan sepotong roti pedas terakhir dari Nenek Ivana. "Tapi awas, ini pedasnya bukan main."
"Pedas?" Mata biru Lumi justru berbinar penuh tantangan. "Jangan meremehkanku!"
Hariel menyodorkan roti itu. Lumi menerimanya dengan gembira dan mulai menggigitnya dengan semangat. Anehnya, dia tampak tidak kepedasan sama sekali, malah terlihat sangat menikmati.
"Jadi," kata Hariel, setelah Lumi menghabiskan roti itu dan bersendawa kecil yang sopan. "Sekarang bagaimana? Tadi kau bilang aku harusnya ke 'barat'?"
"Barat memang arah tujuan jangka panjangmu," gumam Lumi. "Tapi untuk sekarang, prioritas utama adalah kau butuh tempat istirahat yang layak dan mengisi perutmu dengan benar, sebelum kau pingsan dan aku harus susah payah menyeretmu."
Lumi menunjuk ke arah timur. "Menurut ingatanku yang samar-samar ini, ada desa terdekat ke arah sana. Namanya... Sizzleburg, kalau tidak salah. Dikenal sebagai Desa Para Koki Ulung."
"Sizzleburg? Desa Para Koki Ulung?" Kening Hariel berkerut, lalu seringai lebar khasnya langsung muncul. Perutnya seolah mengerti, langsung berbunyi lagi, kali ini lebih keras dan penuh harap.
"Kedengarannya... sempurna! Pasti banyak makanan enak di sana?"
Lumi terkekeh lagi. "Kemungkinan besar begitu. Ayo, tunggu apa lagi?"
Hariel mengangguk antusias. Dia bangkit berdiri dengan susah payah, membersihkan celananya yang kotor. Rasa bingungnya masih ada, tapi semangat petualangannya kembali membara.
Dia tidak sendirian lagi.
Dia punya pemandu! Memang pemandu aneh berbentuk peri kecil super cerewet, tapi tetap saja, seorang pemandu!
"Oke, Lumi! Tunjukkan jalannya menuju surga makanan itu!" seru Hariel, tinjunya terkepal ke udara.