Kenangan dan Aroma dari Surga

Dengan Lumi yang melayang-layang lincah di depan bahunya seperti kunang-kunang perak raksasa, Hariel melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang baru ditemukan.

Kehadiran pemandu mungil bercahaya itu benar-benar mengubah segalanya.

Suasana Hutan Onivira yang tadi terasa temaram dan mencekam kini tampak sedikit lebih ramah di bawah cahaya biru lembut yang memancar dari tubuh Lumi, menerangi jalan setapak dan menenangkan hatinya.

"Jadi… kamu benar-benar tinggal di dalam liontin ini sepanjang waktu?" tanya Hariel setelah beberapa saat berjalan dalam diam, rasa takjubnya belum sepenuhnya hilang. Dia melirik liontin di dadanya, lalu ke sosok Lumi.

"Sudah kubilang begitu, kan, Bocah Penakluk Langit?" jawab Lumi, nadanya datar meskipun ada sedikit geli dalam panggilannya untuk Hariel.

"Tapi… memangnya tidak sempit atau membosankan? Membayangkannya saja sudah membuatku sesak napas," kata Hariel, masih penasaran.

Lumi memutar bola matanya lagi, sebuah gerakan yang sepertinya akan menjadi favoritnya. "Tentu saja tidak, dasar bocah. Di 'dalam' sini itu... yah, anggap saja jauh lebih luas dan lebih menarik dari yang bisa kau bayangkan."

"Seperti apa dalamnya?" mata Hariel membesar. "Ada tamannya juga? Atau tempat tidur super empuk dengan selimut bulu Yeti?"

Lumi menyunggingkan senyum misterius yang mulai familiar. "Itu Rahasia Perusahaan Liontin™."

Hariel sedikit cemberut karena rasa penasarannya digantung.

"Ngomong-ngomong," kata Lumi, cerdik mengalihkan pembicaraan. "Apa rencanamu begitu kita sampai di Sizzleburg nanti?"

"Tentu saja MAKAN!" jawab Hariel tanpa ragu, perutnya langsung berbunyi kruuuk keras seolah setuju. "Itu yang paling, paling, PAAAALING penting!"

"Tapi bukan cuma itu," lanjutnya. "Aku juga mau cari informasi sebanyak-banyaknya."

"Informasi tentang apa secara spesifik?" tanya Lumi, melambat agar bisa menatap wajah Hariel.

"Tentang semuanya, Lumi! Semuanya!" seru Hariel, matanya berbinar kembali dengan cahaya petualangan. "Tentang ZERO ONE, tentang keberadaan Kakekku, tentang dunia ini sebenarnya sebesar dan seaneh apa... pokoknya, semuanya!"

Lumi terdiam sejenak, menatap Hariel dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Kau benar-benar... punya mimpi yang sangat besar dan sangat berisik, ya," gumamnya pelan.

"Tentu saja! Harus besar dong!" balas Hariel bangga. "Karena aku akan menjadi Penakluk Langit!"

Lumi terkekeh pelan. "Semoga berhasil dengan semua itu, Hariel si Penakluk Langit yang kelaparan."

Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang nyaman. Keberadaan Lumi terasa seperti jangkar di tengah ketidakpastian. Makhluk kecil itu mungkin terlihat rapuh, tapi ada aura kekuatan dan pengetahuan kuno yang terpancar darinya.

"Lumi," panggil Hariel setelah beberapa saat, suaranya kini lebih pelan dan sedikit ragu.

"Soal Kakekku... apa... apa kau mungkin tahu sesuatu yang lebih spesifik tentang dia?"

Lumi menoleh, ekspresi wajah mungilnya berubah menjadi lebih serius. Cahaya di tubuhnya seolah sedikit meredup.

"Kakekmu... maksudmu, Jayel Achilla, kan?" tanyanya pelan.

Jantung Hariel berdegup sedikit lebih kencang. "Iya! Benar sekali! Kau kenal dia?"

Lumi terdiam lagi cukup lama. Matanya yang biru menerawang jauh, seolah mencoba meraih serpihan ingatan dari masa yang sangat lampau.

"Aku... aku hanya tahu nama itu," jawab Lumi akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Dulu sekali... sangat, sangat dulu. Nama itu terasa familiar, seperti gema dari mimpi yang terlupakan."

"Tapi... detailnya kabur seperti lukisan cat air yang terkena hujan. Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Maafkan aku, Hariel."

Ada sedikit rasa kecewa yang mencubit hati Hariel. Harapan yang sempat membuncah kini sedikit kempes.

Dia menunduk sejenak, menatap ujung sepatunya yang usang.

Tapi kemudian, ia mengangkat wajahnya lagi. Sebuah seringai lebar yang dipaksakan terpasang di bibirnya.

"Hahaha! Sudahlah, tidak apa-apa, Lumi! Tidak perlu dipikirkan!" tawanya terdengar sedikit terlalu keras, khas dirinya saat mencoba menutupi sesuatu. "Mungkin saja Kakek tua itu memang sengaja menghilang! Siapa tahu dia sedang bersantai di suatu pulau terpencil, menggoda gadis-gadis cantik sambil minum jus kelapa! Dasar kakek-kakek genit!"

Lumi menatapnya dengan senyum kecil yang maklum, mengerti bahwa itu adalah cara Hariel untuk menghibur dirinya sendiri.

Dasar bocah, pikirnya dalam hati, namun ada kehangatan dalam pemikiran itu.

Aku akan mencari tahu sendiri nanti! Pasti! tekad Hariel kembali menyala di dalam dadanya.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Udara mulai terasa lebih hangat dan tidak terlalu lembap. Setelah berjalan cukup lama, kanopi hutan di atas mereka mulai menipis. Cahaya matahari yang lebih terang akhirnya berhasil menembus sela-sela dedaunan.

Aroma tanah basah kini bercampur dengan wangi dedaunan kering dan samar-samar...

Hariel mengendus-endus udara... bau asap masakan?

"Kita sudah hampir sampai," kata Lumi tiba-tiba, suaranya terdengar ceria. "Lihat, di depan sana!"

Hariel mengikuti arah yang ditunjuk Lumi. Di kejauhan, di antara celah pepohonan terakhir, dia bisa melihat sebuah lembah kecil yang terbuka, bermandikan cahaya matahari.

Dari sana, tampak kepulan asap tipis dari beberapa cerobong rumah, membubung malas ke langit biru. Suara gemericik air sungai bahkan terdengar samar-samar terbawa angin.

"Itu... itu Sizzleburg?" tanya Hariel, matanya membesar penuh harap.

"Tepat sekali. Itulah Sizzleburg—desa para koki!" jawab Lumi dengan nada menggoda. "Kau pasti sudah lapar, kan?! Bersiaplah memanjakan lidah dan mengisi perutmu yang sudah konser keroncongan itu!"

Seringai lebar selebar pelangi langsung terbit di wajah Hariel. Rasa lelah di kakinya sejenak terlupakan oleh bayangan hidangan panas mengepul.

"Ayo, Lumi! Kita percepat langkah!"

Tanpa menunggu jawaban, Hariel mulai berlari kecil menuruni lereng menuju Sizzleburg, dengan Lumi yang terbang cepat di sampingnya, tawanya yang seperti denting lonceng perak ikut terbawa angin.

Begitu Hariel melangkahkan kaki melewati gerbang sederhana Desa Sizzleburg—dengan Lumi yang kini memilih untuk sementara bersembunyi kembali di dalam liontin—indra penciumannya langsung diserbu tanpa ampun.

Bukan sambutan hangat dari penduduk atau tatapan ingin tahu yang pertama ia rasakan. Melainkan gelombang aroma masakan. Aroma yang begitu kaya, begitu beragam, dan begitu kuat hingga membuat perutnya berteriak lebih keras dari raungan Gorzuga.

Wangi semerbak rempah-rempah eksotis. Gurihnya daging panggang. Manisnya bawang tumis. Aroma kuah kaldu yang kental.

Dan entah kelezatan apalagi yang tak bisa ia definisikan.

Udara di desa itu sendiri seolah terbuat dari uap makanan enak yang paling memabukkan.

Ini bukan desa…

Ini adalah surga.