Di hadapannya terbentang Sizzleburg—desa yang tampak seperti dongeng bagi pencinta makanan. Deretan rumah berdinding bata hangat berdiri rapi, masing-masing menjulang dengan cerobong asap yang menghembuskan uap wangi penuh godaan. Di sepanjang jalan, warung-warung kecil sibuk mengepul, menyajikan hidangan dari panci raksasa dan panggangan terbuka yang memancarkan cahaya serta aroma kehidupan.
Hariel berdiri terpaku selama beberapa detik, benar-benar kewalahan. Kepalanya celingukan ke kanan dan kiri dengan liar, mencoba memproses dan melacak setiap sumber wangi yang menari-nari di udara—gurihnya daging panggang dari satu arah, manisnya bawang tumis dari arah lain, dan kayanya aroma kaldu yang seolah memanggil namanya.
Saat ia masih berdiri seperti orang linglung yang baru pertama kali menemukan surga, sebuah suara yang tenang dan hangat memecah kebingungannya.
"Kewalahan dengan sambutan pertama dari desa kami, anak muda?"
Hariel menoleh ke sumber suara. Tepat di samping gerbang, di bawah naungan pohon rindang, ia melihat seorang kakek tua tengah terduduk santai di atas sebuah bangku yang terbuat dari akar pohon besar yang dipernis halus. Sang kakek mengenakan celemek bersih berwarna putih, dan dengan pisau ukir kecil, ia tengah asyik membentuk sepotong kayu menjadi sendok yang indah.
Melihat tatapan bingung Hariel, kakek itu tersenyum. Matanya, meskipun dikelilingi kerutan usia, tampak jernih dan tajam, menyimpan sebersit kilat jenaka.
"Benar, Kek! Ini... ini gila sekali!" jawab Hariel dengan jujur, sambil menunjuk ke segala arah dengan antusias. "Hei, Kek, katanya makanan di sini enak sekali, ya?"
Sang kakek tertawa, suara tawanya terdengar renyah seperti kulit ayam goreng. "Hohoho... kau datang ke tempat yang tepat. Sizzleburg tidak pernah mengecewakan perut yang lapar. Nikmatilah waktumu di sini, Nak."
"Hehe... terima kasih banyak, Kek!"
Tanpa basa-basi lebih lanjut, didorong oleh panggilan perutnya yang sudah tak tertahankan, Hariel langsung berlari kecil meninggalkan sang kakek.
Sang kakek tua hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu menatap punggung Hariel yang menjauh dengan tatapan yang lebih dari sekadar ramah. Ada kilat pengamatan yang dalam di sana.
"Semangat yang menarik..." gumamnya pelan, sebelum kembali melanjutkan ukirannya.
Begitu masuk lebih dalam, Hariel merasa seperti berada di tengah peperangan aroma.
Pandangannya, yang lebih dipandu oleh hidungnya, akhirnya terkunci pada sebuah bangunan dua lantai yang terlihat paling ramai.
Asap mengepul paling tebal dan paling wangi dari cerobongnya. Papan nama kayu besar di atasnya terukir dengan tulisan artistik "The Spicy Spoon".
"Itu dia tempatnya!" seru Hariel. Tanpa pikir panjang, dia mendorong pintu kedai yang tebal dan melangkah masuk.
Suasana di dalam langsung menyergapnya: hangat dari perapian dan tungku-tungku masak di dapur terbuka, ramai oleh suara tawa para pelanggan, dan penuh dengan gelombang aroma masakan yang kini terasa seratus kali lebih kuat.
Meja-meja kayu hampir semuanya terisi penuh. Para pelayan yang gesit berlarian kian kemari membawa nampan-nampan perak berisi piring-piring yang mengepulkan asap.
Hariel berhasil menemukan satu meja kosong di dekat jendela. Baru saja ia duduk, seorang pelayan wanita berambut keriting merah menyala dan berpipi tembem menghampirinya dengan senyum ramah.
"Selamat datang di The Spicy Spoon, Anak Muda! Mau pesan apa untuk mengisi perut kosongmu itu?" sapanya riang.
Mata Hariel berbinar liar menatap daftar menu di papan besar. "Aku mau… semuanya!"
Pelayan itu tertawa terbahak-bahak. "Baiklah, baiklah! Semangat makanmu luar biasa! Tapi, untuk permulaan, bagaimana kalau coba menu andalan kami? Namanya 'Volcano Curry'!"
"'Volcano Curry'?" ulang Hariel, nama itu terdengar begitu menantang.
"Tepat sekali!" jelas si pelayan dengan antusias. "Nasi kari super pedas dengan tingkat kepedasan dari level 'bara api' sampai 'letusan naga', disiram kuah kental berisi potongan daging pilihan yang empuknya meleleh di lidah! Dijamin bisa membuatmu melek sepanjang hari!"
"Kedengarannya… seperti mimpi yang jadi kenyataan!" seru Hariel, air liurnya sudah tak tertahankan. "Aku pesan itu satu! Beri aku level 'letusan naga' yang paling pedas!"
"Pilihan yang sangat berani!" kata si pelayan, terkesan. Ia pun bergegas menuju dapur.
Sambil menunggu, Hariel mengedarkan pandangannya. Ia melihat petani, pedagang, prajurit bayaran, bahkan sekelompok orang berjubah misterius. Dunia ini… benar-benar luas, pikirnya takjub. Ada begitu banyak orang dengan cerita hidup yang berbeda-beda. Aku ingin bertemu mereka semua, mendengar kisah mereka, dan mungkin… bertarung dengan yang kuat di antara mereka!
Lamunannya yang penuh semangat terhenti seketika.
BRAAAKKK!!!
Suara pintu kedai yang dibanting terbuka dengan kasar memecah suasana riuh. Semua obrolan dan tawa terhenti. Semua mata serempak menoleh ke arah pintu. Sekelompok lima orang berpenampilan lusuh dan wajah garang melangkah masuk dengan angkuh.
"INI PERAMPOKAN!" teriak salah satu dari mereka, seorang pria kurus dengan rambut gondrong.
"SERAHKAN SEMUA UANG DAN MAKANAN ENAK KALIAN, ATAU ALAT-ALAT KESAYANGAN KAMI INI YANG AKAN BICARA DENGAN PERUT KALIAN!"
Kepala perampok yang berperawakan lebih kekar dan punya bekas luka mengerikan di pipinya tertawa kejam. Suasana yang tadinya hangat berubah tegang dalam sekejap.
Hariel, yang baru saja membayangkan betapa lezatnya 'Volcano Curry' miliknya, menghela napas panjang dengan sangat kesal. "Kenapa sih, selalu ada saja pengganggu yang muncul pas aku mau makan enak?" gumamnya, lebih merasa terganggu daripada takut.
Dengan santai, dia berdiri dari kursinya.
"Hei, kalian!" seru Hariel, suaranya tenang namun jelas, menarik perhatian kelima bandit itu. "Kalau memang lapar, duduk saja yang manis dan pesan baik-baik. Jangan bikin keributan di tempat orang mau makan. Tidak sopan, tahu!"
Para perampok itu terdiam sesaat, lalu serempak tertawa mengejek.
"Lihat ini, Kawan-kawan! Ada bocah ingusan mau coba jadi pahlawan!" kata si pemimpin berbekas luka, menatap Hariel dengan pandangan meremehkan. "Siapa kau, bocah tengik? Berani sekali kau mengatur Geng Taring Kiamat?"
Hariel tersenyum tipis. "Namaku Hariel," jawabnya tenang. "Dan aku benar-benar tidak suka orang yang merusak suasana makan orang lain."
"Oh ya? Terus, kau mau apa, Bocah Sok Jago?" tantang pemimpin perampok itu, mengacungkan parang besarnya yang berkarat.
Senyum di wajah Hariel kini ikut melebar. Senyum yang sangat percaya diri, sangat lebar hingga matanya menyipit. "Aku mau… memberi kalian sedikit pelajaran tentang tata krama dasar di meja makan."