"Memberi kami pelajaran?"
Pemimpin bandit itu, si muka bekas luka, tertawa terbahak-bahak hingga air liurnya menyembur. Suaranya yang serak dan sumbang menggema di seluruh kedai yang kini hening tegang, memecah suasana hangat yang tadinya tercipta.
Para pelanggan yang tadinya tertawa kini merapat ketakutan di bawah meja mereka.
"Kau dengar itu, Geng?! Bocah ini mau memberi kita pelajaran adab!" ejeknya. "Kau pikir kau siapa, hah? Pahlawan kesiangan yang baru tumbuh bulu jagung?"
Gerombolan bandit di belakangnya, yang menyebut diri mereka dengan gagah "Geng Taring Kiamat", ikut tertawa mengejek. Mereka memukul-mukulkan senjata mereka ke telapak tangan dengan gaya preman pasar, mencoba terlihat sangar.
Saat itulah Hariel memperhatikan lebih saksama ‘persenjataan’ yang mereka bawa.
Dan ia harus menahan senyum gelinya dengan susah payah.
Parang si pemimpin memang terlihat lumayan mengancam, meskipun karatan di sana-sini. Tapi yang lain... astaga! Ada yang dengan percaya diri mengacungkan sendok sayur penyok. Ada yang membawa pisau daging besar yang tampak tumpul, lebih cocok untuk menggaruk punggung. Ada yang memegang palu kayu yang gagangnya sudah goyang-goyang. Dan satu orang paling belakang, dengan wajah paling sangar, membawa wajan penggorengan hitam legam yang besar dan berat.
Serius? Ini Geng Taring Kiamat atau rombongan sirkus badut yang salah alamat? pikirnya geli.
Senyum tipis yang sangat meremehkan kini tersungging di bibirnya. Pertarungan dengan Gorzuga kemarin ternyata jauh lebih bermartabat.
"Sepertinya... aku bahkan tidak perlu repot-repot pakai api atau sarung tangan keramatku untuk yang satu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri, namun cukup terdengar di keheningan kedai.
"Apa katamu, Bocah Sialan?!" teriak pemimpin Geng, wajahnya memerah padam karena merasa diremehkan di depan anak buahnya. "Jangan pernah meremehkan kekuatan Geng Taring Kiamat! RASAKAN INI!"
Dengan pekikan perang yang lebih mirip elang terjepit pintu, ia melompat maju secara membabi buta, mengayunkan parangnya ke arah kepala Hariel.
Tapi Hariel hanya sedikit memiringkan tubuhnya dengan santai.
"Seranganmu itu... terlalu lambat dan mudah ditebak."
DUAK!
Tanpa mengubah ekspresi tenangnya, Hariel dengan mudah menghindar dari ayunan kikuk itu. Lalu, dengan satu gerakan cepat yang bahkan tidak sempat dilihat jelas, kakinya melayang dan menendang telak bagian belakang si pemimpin bandit.
Bandit itu melolong kaget kesakitan, matanya melotot tak percaya. Tubuhnya langsung terjungkal ke depan seperti nangka busuk, mencium lantai dengan bunyi "GEDEBUK!" yang cukup keras dan memalukan.
Parangnya yang berkarat terlepas dan menggelinding pasrah ke bawah meja lain.
"Aduh... punggungku... pinggangku mau copot…" erang si pemimpin, mencoba bangkit namun gagal total.
Anggota geng yang lain tertegun sejenak, mulut mereka menganga, tidak percaya bos mereka bisa dikalahkan semudah itu.
"WOI! TUNGGU APA LAGI?! JANGAN DIAM SAJA KAYAK PATUNG! SERAAANG DIA RAMAI-RAMAI!" teriak salah satu bandit yang membawa palu goyang.
Barulah gerombolan yang tersisa itu tersadar. Mereka menyerbu Hariel secara bersamaan dengan teriakan-teriakan perang yang lebih mirip suara orang mengigau. Ada yang mengayunkan palu dari atas, ada yang mencoba menusuk dari samping, ada yang mengibas-ngibaskan gergaji karatan. Saking kacaunya, beberapa dari mereka bahkan saling senggol.
Bagi Hariel, serangan mereka ini terlihat seperti tarian lambat yang penuh celah.
"Kalian ini benar-benar... berisik!" seru Hariel. Ia dengan santai menepis gagang palu dengan sikunya, membuat bandit itu terhuyung ke belakang menabrak temannya sendiri.
"Kena kau kali ini, Bocah!" teriak bandit berpisau daging, menusuk ke arah dada Hariel.
Hariel, dengan sedikit ekspresi bosan, menangkap bilah pisau daging itu hanya dengan dua jari tangan bersarungnya.
KREK!
Dengan sedikit tekanan saja, pisau tumpul dan rapuh itu patah menjadi dua.
"Terlalu tumpul," komentar Hariel, menjatuhkan potongan pisau itu ke lantai. Bandit itu melongo tak percaya.
"Awas Kau!" teriak bandit lain, melemparkan wajan hitam besarnya seperti frisbee raksasa.
Hariel mendongak, menangkap wajan berat itu dengan satu tangan tanpa kesulitan. Dia memutarnya sejenak di atas jarinya seperti pemain sirkus, sebelum akhirnya, dengan bidikan akurat, melemparkannya kembali.
PLAAAKKK!
"WADIDAWWW!"
Wajan itu mengenai kepala bandit pelemparnya dengan telak. Ia langsung pusing tujuh keliling dan ambruk menimpa sebuah meja kecil.
Pertarungan—atau lebih tepatnya, permainan Hariel—berlangsung tidak lebih dari lima menit.
Semua anggota Geng Taring Kiamat sudah terkapar tak berdaya di lantai, mengerang kesakitan dengan berbagai luka memar, benjol sebesar telur angsa, dan harga diri yang hancur lebur.
Hariel berdiri tegak di tengah kekacauan itu, membersihkan debu imajiner dari bahunya dengan santai. "Nah, begini kan lebih baik dan lebih tenang," katanya.
Para pelanggan kedai mulai perlahan keluar dari persembunyian mereka, menatap Hariel dengan campuran antara rasa kagum, tidak percaya, dan sedikit takut.
"Dia… dia mengalahkan mereka semua…" bisik seorang pedagang.
Pemilik kedai, Bibi Gemuk yang baik hati, menghampiri Hariel dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Nak! Kamu sudah menyelamatkan kami semua! Menyelamatkan kedai ini!"
"Maaf sudah membuat sedikit keributan, Bi," kata Hariel, menggaruk tengkuknya.
"Ssst… sudah, itu tidak masalah!" potong pemilik kedai, senyumnya kini merekah lebar. "Sebagai ucapan terima kasih, kamu boleh makan gratis di sini hari ini, sepuasnya! Mau pesan apa saja, akan Bibi buatkan sendiri yang paling spesial!"
Mata Hariel yang tadi terlihat sangar, kini langsung berbinar seperti anak kecil. "BENARKAH, BI?! SEMUANYA GRATIS?! SEPUASNYA SAMPAI AKU TIDAK BISA BERJALAN LAGI?!"
Pemilik kedai tertawa senang. "Tentu saja, Nak! Anggap saja ini rumahmu sendiri!"
Hariel bersorak dalam hati. Namun, sebelum ia kembali ke kursinya, matanya menatap kekacauan di sekeliling—lalu ke gerombolan Geng Taring Kiamat yang masih mengerang. Sebuah ide jenius yang sedikit licik terlintas di kepalanya.
Dia menghampiri mereka yang terkapar. "Hei, Geng Wajan Gosong dan Sendok Karatan!" serunya dengan nada memerintah. "Cepat bangun! Jangan pura-pura pingsan. Kalian lihat semua kerusakan ini? Kalian yang buat, kalian yang perbaiki."
Salah satu dari mereka menjawab ragu, "Tapi… kami ini kan perampok… bukan tukang kayu…"
"Mantan perampok," koreksi Hariel tegas, seringainya melebar. "Mulai hari ini, kalian jadi tukang kayu. Gunakan perkakas yang kalian bawa itu dan mulai bekerja. Atau..."
Ia melirik wajan penyok di lantai dengan penuh arti.
"...kalian mau merasakan ronde kedua dengan wajan itu sebagai bantal?"
Ancaman itu tampaknya sangat efektif. Tak lama kemudian, pemandangan aneh pun tersaji di "The Spicy Spoon". Di bawah "pengawasan ketat" Hariel—yang kini duduk santai menikmati semangkuk besar "Volcano Curry"—kelompok bandit itu bekerja dengan wajah masam, memalu dan memasang kembali setiap meja dan kursi yang rusak.
Asap mengepul dari mangkuk Hariel, membawa aroma pedas nikmat yang membuat para mantan bandit itu hanya bisa menelan ludah iri.
"Ayo, ayo, gerakannya dipercepat sedikit, Kawan-kawan Tukang Kayu!" seru Hariel di sela suapannya. "Jangan sampai pelanggan lain datang dan tidak kebagian tempat duduk gara-gara kalian lambat!"
Setelah menikmati kelezatan "Volcano Curry", Hariel memperhatikan mereka lebih teliti. "Hei," panggilnya. "Kalian tadi kelihatan lumayan jago membetulkan kaki kursi. Kenapa kalian malah jadi perampok gagal?"
Kelima mantan bandit itu serempak berhenti. Pria berbekas luka itu menghela napas.
"Kami… kami sebenarnya tidak punya banyak pilihan lain, Nak," katanya pelan, suaranya getir. "Kami berlima ini… dulunya memang tukang kayu dan pengrajin. Punya bengkel kecil yang cukup terkenal di desa kami."
"Lalu kenapa jadi begini?" tanya Hariel penasaran, meletakkan sendoknya.
"Karena… barang-barang murah dari Gizmograd," jawab salah satu wanita di kelompok itu dengan nada sedih. "Barang mereka diproduksi massal oleh mesin, harganya jauh lebih murah. Ukiran tangan kami yang rumit… sudah tidak ada yang mau beli lagi."
"Jadi, bengkel kami sepi, utang menumpuk, dan kami terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup," tambah pria yang paling kurus. "Dan… yah… menjadi perampok sepertinya ide yang paling cepat, meskipun kami jelas-jelas sangat payah dalam hal itu."
"Tapi, percayalah, Nak… sebenarnya… kami tidak suka melakukan ini," timpal wanita bertubuh kekar. "Rasanya sangat salah."
Hariel terdiam, menghentikan suapannya. Suara riuh kedai seolah meredup. Dia menatap wajah-wajah lesu dan penuh penyesalan itu. Di dunia ini, selalu ada ketidakadilan. Dia memang sering bertindak tanpa pikir panjang, tapi dia bukan orang yang tidak punya hati.
"Aku mengerti perasaan kalian," kata Hariel akhirnya, nadanya lebih serius dan penuh empati. "Zaman memang selalu berubah. Tapi, merampok jelas bukan jalan keluar. Kalian seharusnya mencari cara lain untuk memanfaatkan keahlian kalian!"
"Misalnya apa, Nak?" tanya sang mantan pemimpin, sedikit harapan muncul di matanya. "Siapa yang mau barang buatan tangan lagi di zaman serba mesin?"
Hariel tersenyum lebar, ide-ide cemerlang mulai bermunculan di kepalanya seperti percikan api dari dalam dirinya.
"Misalnya… kalian bisa membuat barang-barang yang punya 'jiwa'! Atau, buka jasa perbaikan barang antik! Atau..."
Hariel melanjutkan, matanya kini berbinar lebih terang dari biasanya, sebuah ide gila yang baru saja melintas.
"Kalian bisa ikut saja denganku!"
Keheningan melanda meja mereka. Tawaran itu begitu tiba-tiba hingga kelima mantan bandit itu hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka.
"Aku sedang dalam perjalanan besar untuk mewujudkan mimpiku!" lanjut Hariel dengan semangat. "Aku butuh kru yang bisa diandalkan! Kalian semua jago kayu dan pertukangan, kan? Kita bisa mencari cara untuk membangun Sky Ark! Kapal terbang terhebat yang pernah ada! Kita akan mengarungi lautan awan, menjadi Penakluk Langit yang sesungguhnya!"
Mata kelima mantan bandit itu langsung terbelalak kaget. Perlahan, keterkejutan itu berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang sudah lama tidak mereka rasakan. Harapan. Keraguan dan keputusasaan di wajah mereka seolah tersapu bersih, digantikan oleh kobaran semangat petualangan.
"Bergabung… denganmu, Nak?" ulang sang mantan pemimpin, suaranya bergetar tidak percaya. "Sebagai… sebagai kru petualang… sungguhan?"
"Tentu saja! Kenapa tidak?!" jawab Hariel antusias.
Pria berbekas luka itu menatap teman-temannya—wanita yang tadi bicara dengan nada sedih mengangguk mantap, pria kurus di sebelahnya matanya berkaca-kaca, wanita kekar mengepalkan tangannya penuh semangat, dan yang paling muda di antara mereka tersenyum lebar.
Dia lalu kembali menatap Hariel, sebuah senyum tulus akhirnya terukir di wajahnya.
"Baiklah, Nak Hariel," katanya dengan suara mantap. "Kami… kami berlima akan ikut denganmu! Menjadi kru pertamamu!"
Hariel bersorak kegirangan. "BAGUS! ITU BARU KEPUTUSAN YANG TEPAT! Selamat datang di kelompok petualanganku yang pertama dan terhebat! Akhirnya aku punya kru sendiri!"
Ia lalu menatap mereka satu per satu. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu nama kalian semua dengan benar."
"Saya Bartholomew Boltigan, Kapten!" kata si mantan pemimpin, kini dengan hormat. "Aku Griselda Geargrinder!" sahut si wanita dengan ceria. "Nama saya Percival Pipesworth," kata si kurus sopan. "Saya Wilhelmina Wrenchington!" kata si wanita kekar. "Dan aku Humphrey Hammersmith, Bos Hariel!" kata yang paling muda.
Hariel mengangguk-angguk cepat, mencoba memproses nama-nama yang panjang dan terdengar agak bangsawan itu. Dia menggaruk kepalanya sejenak, lalu menyeringai.
"Mmm... Nama kalian keren-keren semua, tapi panjang juga ya buat diingat kalau lagi buru-buru!" katanya dengan jujur. "Baiklah, biar akrab dan gampang, mulai sekarang aku panggil kalian: Bolt, Grease, Pipe, Wrench, dan Hammer!"
Dia menatap kelima anggota barunya dengan senyum puas. "Nah, begitu lebih baik! Senang bertemu dan merekrut kalian semua secara resmi! Mulai sekarang, kita adalah teman seperjuangan!"
Kelima mantan bandit itu saling berpandangan, lalu tertawa kecil mendengar cara kapten baru mereka yang blak-blakan namun akrab dalam memberikan mereka identitas baru.
Mereka merasa seperti baru saja benar-benar dilahirkan kembali—diberikan kehidupan baru dan juga nama baru, sebuah kesempatan untuk menggunakan keahlian mereka demi sesuatu yang lebih besar dan jauh lebih seru.