Ilmuwan Gila dan Pengejaran di Atas Roda Gigi Raksasa

BOOOOOOMMMMM!

Ledakan dahsyat itu mengguncang seluruh distrik. Lantai bergetar hebat, membuat Hariel dan krunya hampir terjengkang. Gelas-gelas di atas meja berjatuhan dan pecah. Orang-orang di jalanan berteriak panik, berlarian mencari perlindungan.

Dari kejauhan, kepulan asap hitam tebal membubung tinggi ke langit dari sebuah gedung penelitian besar, mengubah senja yang tenang menjadi pemandangan kiamat.

"APA ITU TADI?! APA KOTA INI MAU RUNTUH?!" Bolt berteriak, wajahnya pucat pasi.

Bukannya mundur, seulas senyum lebar justru terkembang di wajah Hariel.

"Sepertinya…" jawabnya dengan nada yang anehnya sangat tenang, matanya menyipit ke arah sumber kekacauan itu, "…ada yang baru saja meledakkan sesuatu dengan sangat, sangat dahsyat."

Melihat gelagat itu, Pipe langsung berteriak dari balik tumpukan rongsokan. "Jangan gila, Kapten! Itu jelas-jelas berbahaya!"

"Berbahaya?" Hariel terkekeh, seolah kata itu adalah sebuah undangan. "Aku akan lihat-lihat dulu sebentar, sepertinya seru! Hehe."

Tanpa menunggu lebih lanjut, Hariel langsung berlari keluar, menuju sumber kekacauan. Di luar, situasinya benar-benar kacau balau. Alarm meraung-raung nyaring. Orang-orang berlarian panik.

"Wah… wah… apa yang sebenarnya terjadi di sini?" gumam Hariel, takjub.

Dia mendengar percakapan beberapa orang. "Kudengar… itu semua ulah si ilmuwan gila dari menara utara itu lagi…"

Ilmuwan gila, ya…? Hariel berpikir, seringai di wajahnya semakin lebar.

Saat dia sedang memilah jalan di antara kerumunan, matanya menangkap sesuatu yang lain. Sebuah pergerakan cepat di atas atap-atap bangunan Gizmograd.

Seorang pemuda berambut perak sedang berlari dengan gesit, dikejar oleh beberapa orang berseragam hitam-hitam. Pemuda itu membawa sebuah alat aneh di tangannya yang sesekali ia gunakan untuk menghambat para pengejar.

Siapa itu? pikir Hariel, insting petualangannya langsung menyala. Sepertinya… dia dalam masalah besar.

Dan tanpa pikir panjang dua kali—karena memang begitulah cara kerja otaknya—dia langsung mengubah arah dan berlari kencang, mencari jalan untuk naik ke atap. Setelah berhasil memanjat sebuah tangga darurat dan melompat ke atap gedung pertama, dia berteriak sekuat tenaga.

"HEI! YANG DI ATAS SANA! TUNGGU!"

Pemuda berambut perak itu menoleh kaget, hampir saja terpeleset di atas pipa beruap yang licin. Wajahnya pucat dan dipenuhi keringat, tapi matanya yang berwarna biru es tampak sangat cerdas dan penuh perhitungan.

"Siapa kau?! Jangan ikut campur!" teriak pemuda itu, suaranya terengah-engah namun tetap terdengar angkuh.

"Aku Hariel!" jawab Hariel sambil melompati celah lebar antar gedung dengan mudah, mendarat dengan lentur seperti kucing. "Dan kelihatannya kau butuh sedikit bantuan!"

"Tidak perlu! Aku bisa mengatasi cecunguk-cecunguk ini sendiri!" balas pemuda itu ketus, sambil menembakkan sesuatu dari alat aneh di tangannya. Tembakan itu mengeluarkan gelombang kejut kecil yang membuat para pengejar sedikit kalang kabut.

"Yakin kau bisa sendiri?" Hariel tersenyum miring, kini sudah berlari sejajar dengannya di atap yang berbeda. "Kelihatannya mereka lumayan banyak dan sudah mengepungmu, tuh."

Benar saja. SWOOSH! Dari arah samping, sebuah jaring energi berwarna biru ditembakkan dengan cepat ke arah mereka berdua.

"Awas!" seru Hariel refleks.

Dengan gerakan secepat kilat, dia melompat, menarik lengan pemuda berambut perak itu dan mendorongnya ke samping, tepat sebelum jaring energi itu mengenai mereka.

"Terima… kasih…" kata pemuda itu dengan nada sedikit kaget dan malu karena hampir tertangkap.

"Sama-sama! Urusan terima kasih nanti saja!" balas Hariel sambil menyeringai lebar. "Sekarang, ayo kita kabur dari sini dulu! Kejar-kejaran di atas atap begini ternyata seru juga!"

Mereka kini berlari bersama, melintasi labirin atap-atap Gizmograd. Melompat dari satu gedung ke gedung lain, berayun menggunakan pipa-pipa besar, dan meluncur di atas permukaan logam miring.

"Alat keren apa yang kau bawa itu?" tanya Hariel di sela-sela lompatan.

"Ini prototipe mesin teleportasi portabel buatanku," jawab pemuda itu dengan sedikit nada bangga. "Sayangnya… belum seratus persen sempurna dan baterainya hampir habis."

"Teleportasi?! Yang bisa pindah tempat dalam sekejap itu?!" Hariel terbelalak takjub. "Keren banget! Nanti buatkan aku satu juga ya, yang ada mode silumannya!"

"Nanti saja kita bicarakan kalau kita sudah selamat! Fokus kabur dulu!" bentak pemuda itu, kesal dengan antusiasme Hariel yang tidak pada tempatnya.

Mereka terus berlari, sampai akhirnya tiba di depan… sebuah roda gigi raksasa yang berputar vertikal tanpa henti. Geriginya setajam silet raksasa, berputar ganas seolah siap melumat apa pun yang menyentuh jalurnya. Suara gemuruhnya memekakkan telinga.

“Kita harus melompat ke salah satu geriginya untuk kabur!” seru pemuda berambut perak, menunjuk ke roda yang sedang bergerak naik.

“APA KATAMU?!” Hariel berteriak tak percaya. Pilihan itu terdengar seperti bunuh diri.

Ia melirik ke belakang—para pengejar mereka sudah sangat dekat.

“Tak ada pilihan lain! Cepat!” desak pemuda itu.

Hariel menatap roda gigi raksasa itu. Jantungnya berdentum kencang, bukan hanya karena takut, tapi juga karena adrenalin yang memuncak.

Ini gila. Ini benar-benar gila.

Tapi di sudut hatinya, ada percikan semangat yang justru menyala semakin terang. Sebuah senyum miring terkembang di wajahnya.

Kalau ini caraku mati… setidaknya ini bakal jadi cerita paling keren!

Tanpa menunggu lebih lama, ia mengikuti jejak si pemuda perak. Ia berlari kencang ke tepi atap, lalu melompat.

Tubuhnya melayang di udara sejenak—sebuah momen hening di tengah gemuruh mesin—dan saat kedua kakinya mendarat dengan hentakan di permukaan gerigi yang berputar itu, rasa was-wasnya seketika berubah menjadi gelombang kegirangan murni.

“Woooaaahh! Ini… ini gila banget… tapi seru juga!”

Dia sedikit terpeleset, tapi berhasil bertahan dengan mencengkeram erat. Angin menerpa wajahnya dengan kencang, mengangkat mereka ke atas seperti wahana permainan paling berbahaya di dunia.

“INI KEREN! GILA, AKU SERASA DI WAHANA AJAIB GIZMOLAND!” teriaknya sambil tertawa, walau wajahnya tetap pucat.

“Jangan berisik, bodoh!” bentak pemuda perak, meski seulas senyum tipis yang tak bisa ditahan tampak di sudut bibirnya. “Kalau kau terus teriak, posisi kita bisa ketahuan!”

Setelah beberapa putaran yang terasa seperti selamanya, roda gigi itu melambat sedikit saat mencapai puncaknya.

“Sekarang! Lompat!” seru pemuda itu.

Mereka berdua melompat, mendarat di sebuah platform logam tersembunyi. Mereka berhasil.

“Hosh… hosh… ASTAGA! Aku nggak nyangka… tapi itu… luar biasa!” Hariel tertawa sambil terduduk, mencoba mengatur napasnya. “Aku pikir aku akan mati, tapi… itu seperti naik wahana mimpi buruk—dalam arti terbaiknya!”

“Kau gila,” kata pemuda berambut perak, tersenyum tipis. “Tapi… sepertinya kita berhasil. Mereka tak akan menemukan kita di sini.”

Untuk saat ini… mereka aman.

"Ngomong-ngomong," kata Hariel akhirnya, "Siapa sebenarnya namamu, Kawan Ilmuwan Gila Berambut Perak?"

Pemuda itu menatap Hariel, lalu seulas senyum tipis yang sulit diartikan muncul di bibirnya.

"Namaku… Niki," jawabnya pelan. "Niki Stella."

Niki kemudian membimbing Hariel menyusuri platform tersembunyi itu, menuju sebuah pintu logam sederhana. Dengan alat seperti obeng elektronik, ia membuka pintu dan mendorong Hariel masuk ke dalam kegelapan.

Lampu-lampu menyala otomatis, menerangi sebuah ruangan yang sangat luas. Ini adalah bengkel pribadi Niki.

Langit-langitnya tinggi menjulang, dindingnya dipenuhi coretan rumus dan sketsa mesin aneh. Meja kerja dari baja berantakan dengan tumpukan alat canggih, hologram biru yang berkedip-kedip, dan kabel-kabel yang menjuntai seperti sulur mekanik. Rak-rak raksasa penuh dengan buku-buku kuno dan botol laboratorium berisi cairan berpendar.

"Ini… ini tempat apa?! Markas rahasia?!" tanya Hariel, matanya berbinar penuh kekaguman. Dia benar-benar melupakan rasa lelahnya.

"Ini bengkel pribadiku," jawab Niki datar, berjalan melewati tumpukan komponen. "Salah satunya."

"Luar biasa..." gumam Hariel. Matanya langsung tertuju pada sebuah alat aneh di atas meja—sebuah kunci inggris besar dengan inti kristal biru yang berdenyut-denyut.

Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya.

"Wow! Alat apa ini? Kunci pas pembuat lubang hitam?" serunya, mengacungkannya ke udara seolah itu adalah pedang cahaya.

"JANGAN SENTUH ITU!"

Suara Niki yang tajam dan panik membuat Hariel terlonjak kaget.

Dengan gerakan secepat kilat, Niki sudah berada di sampingnya dan merebut kunci inggris sonik itu dari tangan Hariel. "Itu bukan mainan! Salah tekan satu tombol saja, alat ini bisa membongkar ikatan molekul dari sekrup di ujung ruangan sana!"

"Oh... keren," hanya itu respons Hariel, sama sekali tidak terlihat takut.

Matanya langsung beralih ke objek lain yang menarik perhatiannya: sebuah kubus logam kecil berwarna perak yang melayang-layang rendah di atas sebuah bantalan magnetik.

"Kalau yang ini apa?" tanyanya, jarinya yang penasaran sudah terulur...

"TIDAK!"

Kali ini, Niki bergerak lebih cepat. Ia melesat dan menepis tangan Hariel tepat sebelum jarinya menyentuh kubus itu. Ia lalu menyambar kubus itu dan menyembunyikannya di dalam sakunya.

Niki memijat pelipisnya, ekspresi wajahnya terlihat sangat lelah dan frustrasi. "Kau ini benar-benar... apa kau tidak punya insting untuk tidak menyentuh barang orang lain? Terutama barang yang ada di bengkel seorang 'ilmuwan gila'?"

"Tapi kan kelihatannya keren!" bela Hariel dengan wajah tanpa dosa. "Benda apa tadi itu? Bom mini?"

"Itu prototipe granat gravitasi," desis Niki, menatap Hariel dengan tajam. "Sekarang, bisakah kau berdiri diam di sana dan tidak menyentuh apa-apa... selama lima detik saja?"

Hariel mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, sambil menyeringai lebar. "Oke, oke, aku tidak akan sentuh apa-apa lagi. Janji!"

Setelah melihat Hariel akhirnya berdiri tenang, Niki menghela napas panjang. Ia berjalan ke arah mejanya yang penuh sesak, tatapannya kembali serius.

Melihat perubahan itu, seringai di wajah Hariel perlahan memudar. Ia menatap punggung Niki yang terlihat tegang dan wajahnya yang terpantul di permukaan logam—sebuah wajah yang tampak sangat lelah. Momen lucu tadi seolah menguap, digantikan oleh keseriusan dari situasi mereka yang sebenarnya.

"Jadi," tanya Hariel lagi, suaranya kini lebih tenang dan serius. "Kenapa sebenarnya kau dikejar-kejar oleh pasukan keamanan seketat itu tadi? Dan ledakan besar itu... apa itu juga ulahmu?"

Niki terdiam sejenak, tangannya berhenti bergerak. Dia menatap pantulan wajahnya yang lelah di permukaan logam meja.

"Aku… sedang mengerjakan sesuatu yang berbahaya, yang seharusnya tidak kulakukan," jawabnya dengan suara rendah. "Mereka bukan pasukan keamanan resmi kota ini."

"Berbahaya, ya?" Hariel justru semakin tertarik. "Aku suka sekali dengan hal-hal yang berbahaya! Dan siapa mereka?"

"Sesuatu yang berpotensi bisa mengubah dunia ini selamanya," lanjut Niki, mengabaikan pertanyaan Hariel. "Dan ada pihak lain yang juga menginginkannya. Mereka menyebut diri mereka The Gear Phantoms."

Sebelum Hariel sempat melanjutkan, sebuah suara dentuman keras dan berat tiba-tiba menghantam pintu logam bengkel dari luar.

BOOM!

Suara itu begitu kuat hingga membuat beberapa alat kecil di rak berjatuhan.

Hariel dan Niki seketika membeku. Suasana yang tadinya mulai tenang langsung berubah menjadi tegang dalam sekejap.

BOOM! BOOM!

Dua dentuman lagi, kali ini jauh lebih keras, menghantam pintu yang sama. Pintu logam tebal itu kini tampak sedikit melengkung ke dalam, dan beberapa baut di engselnya terlihat bergetar hebat.

Suara-suara teriakan marah yang teredam mulai terdengar dari baliknya.

"Sial!" desis Niki pelan, wajahnya yang tadi sudah tegang kini berubah pucat pasi. Matanya memandang ngeri ke arah pintu yang terus digedor dengan brutal itu.

"Mereka berhasil menemukan kita secepat ini!"