Hariel berdiri terengah-engah di tengah-tengah bengkel Niki yang kini benar-benar hancur berantakan.
Asap tebal mengepul dari sisa-sisa mesin yang terbakar. Serpihan logam tajam dan pecahan kaca berserakan di seluruh lantai. Bau hangus yang menyengat dan aroma logam panas memenuhi udara, sementara beberapa lampu neon yang masih berfungsi berkedip-kedip tak menentu, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari di dinding.
"Hosh… hosh… hosh…"
Hariel berusaha keras mengatur napasnya yang memburu. Tubuhnya terasa pegal linu dan dipenuhi goresan serta memar, tapi senyum puas dan penuh kemenangan tetap menghiasi wajahnya yang kotor. Api di tangannya perlahan padam.
"Sudah kubilang, kan, Kawan?" kata Hariel, suaranya serak karena asap dan kelelahan. Ia menoleh ke arah Niki yang akhirnya memberanikan diri keluar dari persembunyiannya di balik meja kerja yang sudah terbalik.
"Serahkan saja urusan penyambutan tamu tak diundang itu padaku."
Niki keluar dengan langkah ragu, tubuhnya sedikit gemetar. Matanya yang biru es masih terbelalak lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Dia menatap Hariel yang berdiri gagah di tengah puing-puing, lalu pandangannya beralih ke sekeliling bengkel kesayangannya yang kini lebih mirip zona perang.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Campuran antara kekaguman pada kekuatan bocah di depannya, ketakutan yang masih tersisa, dan rasa sedih yang mendalam melihat hasil kerja kerasnya hancur.
"Kau… kau benar-benar mengalahkan mereka semua… Tapi…!?" tanya Niki, suaranya bergetar hebat. Tangannya masih memegang erat beberapa gulungan sketsa penelitiannya yang paling berharga.
"Tentu saja! Memangnya kau ragu?" jawab Hariel bangga, lalu berjalan dengan langkah sedikit tertatih menuju Niki. Luka-luka kecil di tubuhnya mulai terasa perih.
"Kau… kau tidak apa-apa?" tanya Niki, dengan nada khawatir yang tulus.
"Aku baik-baik saja!" jawab Hariel, mengangkat bahunya dengan santai. "Cuma luka gores biasa. Tidak sebanding dengan keseruan dan ledakan-ledakan tadi! Itu baru namanya pesta!"
Niki hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. "Kau ini… kau ini benar-benar gila dan tidak waras," katanya, suaranya pelan tapi ada nada kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
"Terima kasih! Aku anggap itu pujian terbesar hari ini!" balas Hariel dengan senyum lebar.
Hening sejenak.
"Jadi…" kata Hariel akhirnya. "Sekarang bagaimana? Apa rencanamu selanjutnya?"
Niki terdiam cukup lama. Dia menatap lantai yang penuh serpihan. "Aku… aku tidak tahu," katanya, suaranya pelan dan penuh keputusasaan. "Mereka… The Gear Phantoms itu… mereka pasti akan kembali lagi. Dan kali ini, mereka pasti akan membawa lebih banyak orang."
"Lalu?" tanya Hariel santai. "Ya kita lawan lagi saja mereka. Lebih ramai lebih seru, kan?"
"Ini bukan soal melawan atau tidak, Hariel!" balas Niki, suaranya meninggi karena frustrasi. "Ini soal… keselamatanku! Dan sekarang, keselamatanmu juga! Mereka tidak akan pernah berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku!"
"Aku tahu mereka mengejar alat teleportasi portabelmu itu," kata Hariel, senyumnya sedikit memudar, digantikan ekspresi yang lebih serius. "Tapi kenapa?"
"Karena dengan alat itu," lanjut Niki, suaranya diwarnai kemarahan, "mereka bisa melakukan apa saja. Merampok, melakukan sabotase atau pembunuhan tanpa jejak. Aku tidak akan pernah membiarkan teknologiku disalahgunakan untuk tujuan sehina itu."
"Begitu rupanya…" kata Hariel, mengangguk pelan. "Jadi, kau ini ilmuwan jenius yang idealis, ya? Keren juga prinsipmu itu."
Niki hanya mengangkat bahunya. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."
Dia kemudian menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Aku tidak punya rencana apa-apa lagi. Aku hanya ingin bersembunyi di suatu tempat yang aman. Menghilang dari mereka."
Hariel menatap Niki dengan tidak percaya. "Bersembunyi katamu?"
Suaranya kini penuh kekecewaan. "Menghilang begitu saja? Lari dari masalah? Itu bukan gayaku sama sekali, Kawan!"
"Lalu, menurutmu kita mau apa lagi, Hariel?!" balas Niki, putus asa. "Kita tidak bisa terus-menerus melawan mereka!"
Hariel tersenyum lebar. Sangat lebar. Matanya yang oranye keemasan berbinar seperti sepasang api unggun yang baru saja disiram bensin.
"Tentu saja kita bisa melawan mereka!" serunya, dengan semangat yang meluap-luap. "Kita akan melawan mereka! Dan kita pasti akan menang!"
"Karena… mulai hari ini, kita akan menjadi… ZERO CHASER!"
Niki menatap Hariel dengan bingung. "Zero… Chaser?"
"Ya! Zero Chaser!" jawab Hariel, percikan api kecil berkobar di ujung jari-jarinya. "Para petualang yang tanpa kenal takut berkeliling dunia untuk mencari harta karun terbesar, ZERO ONE! Mereka berlayar dengan kapal terbang super canggih yang disebut Sky Ark! Kedengarannya sangat seru, kan?"
Niki mengerutkan keningnya. "Kedengarannya lebih seperti bunuh diri massal," katanya datar. "ZERO ONE itu hanya legenda tua, Hariel. Tidak ada bukti nyata keberadaannya."
"Tapi… bagaimana kalau legenda itu ternyata benar adanya?" tanya Hariel, sama sekali tidak terpengaruh, matanya justru berbinar semakin terang. "Bagaimana kalau… kita berdua yang akan menemukannya?"
Niki terkekeh sinis. "Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Kau itu seorang bocah desa, dan aku… aku ini hanya seorang ilmuwan yang sedang jadi buronan."
"Justru itu yang membuatnya sempurna!" seru Hariel. "Kita ini adalah kombinasi yang paling hebat! Aku punya kekuatan api ini dan semangat pantang menyerah, dan kau punya otak jenius yang bisa menciptakan alat-alat canggih! Kita bisa saling melengkapi, Niki!"
Niki terdiam, terpaku oleh gelombang semangat dan keyakinan naif yang begitu besar dari bocah di hadapannya. Kata-kata Hariel tentang "kekuatan" dan "otak" seketika menyeretnya kembali ke dalam kenangan masa kecilnya.
Benua Utama, bertahun-tahun yang lalu...
Niki kecil, atau lebih tepatnya, Nikolas Augustus Stella, berdiri kaku di sudut sebuah aula pesta yang megah. Setelan bangsawan kecil yang dikenakannya terasa seperti sangkar yang mencekik.
Di tengah aula, gelak tawa riuh terdengar dari anak-anak bangsawan lain yang memamerkan percikan energi sihir atau mainan mekanik canggih.
Bagi Niki, semua kemegahan itu hanyalah panggung besar yang menyoroti satu hal yang tidak ia miliki: kekuatan sihir bawaan.
Malam itu, di laboratorium pribadi ayahnya, Profesor Augustus Stella menghampirinya.
"Jangan pernah biarkan kata-kata mereka meruntuhkan duniamu, Nikolas," kata ayahnya lembut, berlutut di depannya. "Kau memang tidak dianugerahi kekuatan sihir. Tapi dengarkan Ayah, apa yang kau miliki di dalam kepalamu,"—Profesor Augustus mengetuk pelan dahi Niki—"kecerdasan dan imajinasimu, itu adalah warisan sejati Keluarga Stella. Itu adalah kekuatan yang jauh lebih berharga."
"Dengan itu," lanjut sang Ayah, "kau bisa menciptakan sesuatu yang akan mengubah dunia."
Kehangatan dari senyum ayahnya malam itu… adalah kenangan terakhir Niki tentangnya.
Karena setelah itu, yang ia ingat hanyalah...
Api.
Teriakan.
Suara dentuman logam yang menghancurkan dinding.
Warna merah yang mengotori lantai marmer laboratorium.
Dan dingin.
Rasa dingin yang menusuk tulang saat ia bersembunyi sendirian. Memeluk buku sketsa ayahnya erat-erat. Sementara dunia di luarnya... menjadi sunyi senyap.
Niki menghela napas panjang dan sedikit bergetar. Keinginan untuk mencari kebenaran, untuk membalas dendam… keinginan yang selama ini selalu ia tekan karena rasa takut.
"Mungkin… mungkin kau ada benarnya juga, Hariel," kata Niki akhirnya, suaranya pelan.
Dia menatap lurus ke mata Hariel, dan untuk pertama kalinya, ia melihat bukan hanya kegilaan, tapi juga ketulusan dan kekuatan yang tak terbantahkan.
"Mungkin… dengan gabungan kekuatanmu dan otakku… kita benar-benar bisa melakukannya."
"Aku tahu kita pasti bisa!" seru Hariel, tinjunya terkepal ke udara.
Tiba-tiba, suara lain yang lembut dan menggema terdengar. "Tiga orang lebih tepatnya, hitung aku juga, Bocah Api."
Lumi dengan anggun muncul dari dalam liontin, melayang di antara mereka. Cahaya keemasan lembut kini memancar dari tubuh mungilnya.
"AAAAAHHHH! MAKHLUK APA LAGI ITU?!" Niki berteriak kaget, refleks melompat dan bersembunyi.
Hariel tertawa terbahak-bahak. "Tenang saja, Niki! Ini Lumi, pemanduku yang super keren!"
Lumi memutar bola matanya dengan ekspresi sangat bosan. "Aku bukan hantu, dasar ilmuwan penakut," katanya, dengan nada kesal yang tidak disembunyikan. "Aku ini Luminaria Aravian. Tapi kau boleh panggil aku Lumi."
"Lu… Luminaria… Aravian?" Niki tergagap, matanya kini melebar bukan karena takut, tapi karena keterkejutan luar biasa.
Dia tahu nama itu. Dia pernah membacanya di buku-buku kuno ayahnya. Klan legendaris dari peradaban kuno yang hilang, yang konon memiliki pengetahuan mendalam tentang… ZERO ONE.
Apakah ini… takdir?
"Jadi, bagaimana sekarang keputusanmu?" tanya Hariel. "Mau bergabung dengan tim Zero Chaser kami?"
Niki menatap Hariel, lalu ke Lumi, lalu ke sekeliling bengkelnya yang hancur.
Seulas senyum tipis namun penuh tekad akhirnya terukir di wajahnya yang lelah.
"Baiklah," kata Niki, suaranya kini terdengar mantap.
"Aku ikut dengan kalian."