Langit tampak kelabu. Matahari belum terbit, meski jam menunjukkan pukul 06:17 pagi. Udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya. Rey berdiri di depan jendela kamarnya, masih dengan tubuh gemetar.
Taman itu…
Suara itu…
Dirinya yang lain…
Apa yang baru saja ia alami bukan mimpi. Bekas luka gores di lengan kirinya nyata. Baju kotornya masih menyisakan aroma logam… darah.
Namun yang paling mengganggu bukanlah semua itu.
Yang paling membuatnya tak bisa bernapas adalah mereka.
> Mereka yang tidak punya wajah.
Mereka yang memanggil tanpa suara.
Mereka yang menunggu. Tapi menunggu apa?
Dan siapa?
---
Peringatan dari Dalam Cermin
Saat Rey menatap cermin kamar mandi, ia kembali melihat tulisan yang kabur oleh embun:
> “Kami sudah di sini. Di belakangmu. Di sebelahmu. Di dalam kamu.”
Ia mengusap permukaan cermin. Tapi tulisannya tak hilang. Bahkan... mulai bergerak.
Kata-kata itu berubah menjadi simbol aneh, seperti bahasa kuno yang mengalir dan membentuk wajah. Wajah Rey sendiri.
Namun matanya berbeda—berwarna hitam legam dengan urat merah menjalar dari pelipis.
Dan dari cermin, suara seperti retakan tulang terdengar:
> “Jangan cari kami kalau tak siap jadi kami.”
Cermin pecah. Tapi tidak dari luar. Pecah dari dalam.
---
Pertemuan dengan Ibu
Hari itu, Rey memutuskan pulang ke rumah lama tempat ia dibesarkan, tempat terakhir ia melihat ibunya sebelum menghilang.
Rumah itu sudah lama tak ditempati. Debu menumpuk, dan di beberapa bagian dinding, tumbuh lumut hitam yang aneh. Namun ada satu ruangan yang tetap bersih: kamar ibunya.
Di atas meja rias, Rey menemukan surat yang ditulis tangan.
Tulisan itu dikenalnya—tulisan ibunya.
> “Jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah melihat mereka.
Jangan percaya semua yang kamu lihat. Tapi jangan abaikan semuanya.
Mereka tidak ingin kamu tahu kebenaran. Tapi mereka juga ingin kamu mengingat.
Jangan buka pintu ketiga. Jangan panggil nama mereka.”
> “Dan yang paling penting… jangan pernah sendiri saat jam menunjukkan 3:33.”_
Rey menggenggam kertas itu erat.
Ia merasa seperti baru saja membaca surat wasiat dari seseorang yang tahu ia takkan bisa menulis surat lagi.
---
Kembali ke Arka
Rey menceritakan semuanya kepada Arka—teman satu-satunya yang cukup gila untuk percaya pada cerita di luar logika.
Namun kali ini, bahkan Arka terlihat gelisah.
“Rey, lo yakin bukan lo yang mulai kehilangan realita?”
Rey tak menjawab. Ia hanya mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto yang ia ambil diam-diam dari ruang pertolongan taman kemarin.
Foto itu awalnya tampak kosong.
Tapi saat diperbesar…
Terlihat lima sosok berdiri di belakangnya.
Semua berjubah hitam. Tak punya wajah. Tapi masing-masing memiliki tangan yang sangat panjang, seolah bisa melilit tubuh manusia.
Satu dari mereka menunjuk langsung ke arah kamera.
Dan yang membuat Arka nyaris muntah adalah… salah satu dari sosok itu tampak memakai seragam SMA. Dengan nama bordir: Rey.
---
Peta yang Tidak Ada di Dunia
Rey kembali membuka buku hariannya.
Di halaman terakhir, yang sebelumnya kosong, kini terdapat goresan tinta merah. Bukan tulisannya. Tapi sangat jelas:
> “Pergi ke Desa Kaki Kabut. Di sanalah asal mereka.”
Masalahnya, Rey tahu: tidak ada desa bernama itu di peta mana pun.
Namun ayahnya dulu pernah bercerita—tentang sebuah desa di pinggiran pegunungan, yang kabarnya lenyap setelah “tidak sesuai dengan dunia ini.”
> “Orang-orang di desa itu katanya gak punya bayangan,” ujar ayahnya dulu.
“Dan setiap malam, terdengar suara tangisan dari hutan, walau tak ada siapa-siapa.”
“Lalu suatu hari, semua warganya hilang. Tapi ada satu orang yang kembali ke kota… tanpa wajah.”
Rey tertawa waktu itu. Tapi sekarang, kisah itu menjadi terlalu nyata.
---
Mereka di Tengah Malam
Jam menunjukkan 03:33 lagi.
Kali ini Rey tidak tidur. Ia siap menantang malam.
Tapi ketukan di pintu membuatnya melompat dari kursi.
Tok. Tok. Tok.
Ia membuka pintu.
Tak ada siapa-siapa.
Tapi di lantai... terdapat kertas lusuh dengan tulisan tangan.
> “Mereka tidak memburumu karena kamu melihat. Tapi karena kamu LUPA siapa kamu sebenarnya.”
“Dan mereka… adalah kenangan yang kamu buang.”
Rey mendongak.
Dan ia melihat mereka.
Di ujung lorong apartemennya, berdiri empat sosok hitam.
Mereka tak bergerak. Tapi bayangan mereka justru mendekat.
Bayangan itu merambat di lantai seperti air hitam, menyebar ke arah Rey.
> Rey berlari. Tapi lorong apartemen jadi tak berujung.
Setiap pintu terbuka memperlihatkan versi berbeda dari kamarnya:
Satu dipenuhi darah.
Satu kosong dengan jeritan tak berwujud.
Satu berisi dirinya sendiri yang sedang mati perlahan.
Ia menjerit. Menangis. Tapi mereka tetap mengikuti.
> Mereka yang menunggu tak bisa ditinggal.
Karena mereka… ada di dalam darah Rey sendiri.
---
Jalan Keluar yang Palsu
Saat Rey hampir tak sanggup lagi berdiri, pintu paling ujung terbuka sendiri. Cahaya putih bersinar dari dalam.
Ia masuk.
Ruangan itu kosong. Hanya ada kursi, dan di kursi itu duduk seorang wanita tua, dengan rambut putih dan wajah pucat, mengenakan pakaian tidur lusuh.
Ia tersenyum.
> “Akhirnya kamu datang, Rey.”
“Siapa lo?” tanya Rey gemetar.
Wanita itu menghela napas.
> “Aku adalah salah satu dari mereka. Tapi aku yang gagal...
Aku yang menolak lupa. Maka aku tidak bisa kembali.
Tapi kamu masih punya pilihan.”
Ia menunjuk ke dada Rey. “Di sana, masih ada bagian yang manusia.”
> “Jika kamu ingin bebas, kamu harus ingat.
Bukan apa yang kamu lupakan…
Tapi kenapa kamu memilih melupakan.”
---
Rey terbangun di kamar. Basah oleh keringat. Tapi jendela kamarnya kini terbuka lebar, padahal sebelumnya terkunci.
Di lantai, terdapat cermin kecil.
Di permukaannya, tertulis:
> “Desa Kaki Kabut tidak menunggumu.
Tapi mereka yang tertinggal di sana… masih menunggu jawabannya.”
Dan angka di pergelangan tangannya kini tinggal:
2.
---
🕯️ To be continued…
> Mereka yang menunggu bukan sekadar roh gentayangan.
Mereka adalah bagian dari Rey. Bayangan masa lalu yang tertinggal di tempat yang tak dikenal oleh dunia.
Tapi sekarang, Rey tahu ia tak bisa mundur.
Karena jawaban satu-satunya… menunggu di tempat yang bahkan Tuhan pun tak lagi memandang.