Bab 4. Jangan Sebut Nama Mereka

Rey menatap cermin kecil di tangannya, permukaannya buram karena embun dingin yang entah datang dari mana. Tulisan yang muncul di sana sebelumnya kini memudar, seolah tidak ingin dibaca terlalu lama:

> “Desa Kaki Kabut tidak menunggumu. Tapi mereka yang tertinggal di sana… masih menunggu jawabannya.”

Jantung Rey berdetak cepat. Tak ada suara selain detakan jarum jam dan napasnya sendiri yang semakin berat. Ia merasakan tekanan tak terlihat, seolah udara dalam kamarnya berubah menjadi air yang perlahan menenggelamkannya.

Ia tahu, malam ini belum berakhir.

---

Bayangan yang Tidak Memiliki Nama

Dinding kamarnya terasa lebih sempit malam itu. Cahaya lampu redup, namun bayangan benda-benda di dalamnya menjadi lebih panjang. Terlalu panjang. Bahkan saat Rey berdiri, bayangannya menjalar hingga ke langit-langit.

Dan kemudian bergerak sendiri.

> Rey memutar tubuhnya. Tak ada siapa-siapa.

Tapi bayangan itu tetap berdiri di tempat, seolah ia yang sebenarnya adalah bayangan... dan yang ada sekarang hanyalah cangkang.

Rey melangkah mundur. Tapi bayangannya... tersenyum.

Tiba-tiba suara serak terdengar dari bawah tempat tidurnya.

> “Jangan sebut nama mereka… kalau kau tak ingin mereka datang sebelum waktunya.”

---

Cerita dari Perpustakaan Terlarang

Pagi harinya, Rey pergi ke perpustakaan kota. Ia ingat ucapan ibunya tentang “nama yang tak boleh disebut.” Ia mencari apa saja tentang Desa Kaki Kabut, atau makhluk-makhluk tanpa nama.

Petugas perpustakaan, seorang wanita tua dengan suara serak dan mata suram, membawanya ke rak paling belakang.

“Rak ini bukan untuk umum,” katanya pelan. “Tapi saya tahu... kamu bukan orang biasa.”

Rey tak mengerti maksudnya, tapi ia diam.

Di antara buku-buku tua berdebu, ia menemukan satu yang paling berbeda. Tidak berjudul. Sampulnya dari kulit tua. Di bagian belakangnya, terdapat segel berbentuk lingkaran dengan tiga mata terbuka.

Buku itu berjudul:

> “Yang Pernah Dilihat Tapi Tak Pernah Dilafalkan”

---

Rahasia yang Disembunyikan Dunia

Rey membuka halaman pertama.

> “Mereka bukan setan. Bukan arwah penasaran.

Mereka adalah 'Yang Pernah Menjadi', dan kini hanya Menunggu Dilihat Kembali.

Mereka tidak memiliki nama karena nama memberi kekuatan.

Dan menyebut nama mereka, berarti mengembalikan mereka ke dunia ini.”

Ia membaca dengan napas tertahan. Buku itu menyebutkan bahwa nama adalah kunci dimensi. Nama sejati para entitas ini disimpan oleh manusia terakhir yang pernah “melihat mereka di antara dunia.”

Dan bagian paling menakutkan tertulis dengan tinta merah tua:

> “Satu dari kalian pernah memberi nama. Dan karena itu, satu harus membayar.”

---

Arka Membawa Kabar Buruk

Saat Rey kembali ke kampus, Arka menunggunya di depan kamar.

Wajahnya pucat. Tangannya gemetar sambil memegang ponsel.

“Rey... lo harus lihat ini…”

Di layar, terbuka aplikasi pesan suara.

Ada pesan dari nomor tak dikenal.

Isinya... adalah suara Rey sendiri.

> “Arka... jangan percaya aku. Aku bukan lagi aku. Kalau kamu dengar ini, jangan datang ke tempat aku bilang. Aku bohong. Mereka sudah masuk. Aku lihat nama mereka. Aku sebut satu. Sekarang aku gak sendiri di kepala ini.”

Pesan itu dikirim dua jam sebelum Rey kembali dari perpustakaan.

Padahal ia tak pernah merekam atau mengirim pesan apa pun.

---

Simbol-Simbol yang Muncul di Tubuh

Di malam hari, saat Rey mencuci muka, ia melihat tanda baru muncul di dadanya—sebuah simbol lingkaran dengan tiga mata terbuka, seperti yang ada di sampul buku.

Saat ia sentuh, tubuhnya bergetar hebat. Ia terjatuh ke lantai, napasnya terputus.

Dan dalam sekejap, ia tidak lagi berada di kamarnya.

---

Ruang Putih Tanpa Waktu

Rey berdiri di dalam ruang putih tanpa dinding, tanpa atap, tanpa bayangan. Hanya ada lantai putih tak berujung.

Di kejauhan, ia melihat lima sosok berdiri diam.

Salah satunya melangkah mendekat. Tubuhnya tinggi, mengenakan kain abu-abu compang-camping. Tapi wajahnya...

> Adalah wajah Rey.

Namun dengan mata berlubang, mulut sobek, dan gigi tumbuh ke luar.

Sosok itu berbicara dengan suara Rey, tapi serak seperti seratus orang bicara bersamaan:

> “Kau sudah menyebut satu nama dalam hatimu. Itu cukup.

Kami akan datang satu-satu.

Dan ketika kamu tahu nama keempat, kamu tak bisa kembali lagi.”

---

Buku yang Tak Bisa Dibakar

Rey terbangun. Ia mencoba membakar buku yang ia bawa dari perpustakaan. Tapi halaman buku itu tidak terbakar. Bahkan apinya membentuk tulisan di udara:

> “Mengetahui adalah memilih.

Menyebut adalah membangunkan.

Melihat adalah bersumpah setia.”

Dan Rey menyadari: namanya sendiri mungkin bukan miliknya lagi.

Ia sudah menjadi bagian dari teka-teki itu. Dan teka-teki itu sedang menyusun dirinya sendiri.

---

Dilarang Menyebut

Keesokan paginya, ia menerima surat tanpa pengirim.

Hanya berisi secarik kertas dengan tulisan:

> “Jangan sebut nama mereka.”

Tapi di bawahnya... tertulis lima nama. Namun setiap nama dicoret kuat-kuat, meninggalkan goresan yang hampir merobek kertas.

Rey menelusuri satu nama yang tersisa samar:

> “Yaraneth.”

Begitu ia membisikkan nama itu, seluruh ruangan menjadi dingin.

Cermin retak. Lampu mati.

Dan suara perempuan terdengar dari dinding:

> “Kenapa kamu panggil aku, Rey?”

“Kamu tahu kamu belum siap kan?”

“Tapi... kamu sebut namaku. Maka aku datang.”

---

Cermin kamar Rey berubah menjadi hitam. Dari permukaannya, muncul tangan kurus panjang yang menyentuh wajahnya.

> “Kau bukan Rey lagi.”

“Kau adalah sang pemanggil. Sang penyambung. Sang pengingat.”

Angka di pergelangan tangannya kini menyala merah terang:

1.

---

🕯️ To be continued…

> Larangan paling tua bukanlah untuk menjaga keselamatan.

Tetapi untuk menjaga batas antara mereka dan kita.

Tapi Rey telah menyebut satu nama.

Dan itu cukup untuk membangunkan yang lain.