Langit di atas Rey seperti kehilangan warnanya. Semua tampak kelabu, bukan karena cuaca, tapi seolah dunia enggan memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi. Di pergelangan tangannya, angka 1 mulai pudar, digantikan oleh garis samar seperti akar tumbuhan menjalar… masuk ke kulit.
Ia duduk di dalam bus tua yang mengarah ke pinggiran kota. Tak banyak penumpang, hanya dirinya, seorang sopir tua yang diam sejak tadi, dan suara radio yang mengeluarkan desis seperti bisikan.
> “Jika kau menyebut satu nama, kau akan menemukan jalan.
Jika kau menyebut dua, kau akan kehilangan arah.
Jika kau menyebut tiga… kau akan kehilangan diri.”
Kalimat itu terngiang di kepala Rey sejak malam kemarin.
Dan sekarang, ia dalam perjalanan menuju tempat yang tidak ada di peta.
Tapi ia tahu persis… Desa Kaki Kabut menunggunya.
---
Perjalanan Menuju Kabut
Sopir bus menatap Rey dari kaca spion. “Kamu yakin turun di jalan itu, Nak?”
Rey mengangguk pelan. “Saya harus ke sebuah desa…”
Sopir terdiam. Lalu, dengan nada seperti mengingat mimpi buruk, ia berkata, “Banyak orang datang ke sana. Tapi tak pernah kembali. Dan mereka yang kembali... tidak lagi manusia.”
Bus berhenti di tengah jalan sepi. Di depannya hanya ada jalur berbatu yang memanjang ke dalam hutan.
> Kabut menutupi setengah jalan.
Udara berbau tanah basah dan sesuatu yang lebih tua… seperti debu tulang.
Rey turun, dan bus melaju pergi—tak pernah menoleh ke belakang.
---
Gerbang yang Tidak Terlihat
Rey berjalan beberapa kilometer, hingga tiba di sebuah gapura tua, setengah roboh, dengan batu berlumut dan patung tanpa kepala berdiri di kedua sisi. Tak ada tulisan. Hanya simbol lingkaran dengan tiga mata… sama seperti yang pernah muncul di tubuhnya.
Saat ia melangkah masuk, suhu langsung turun. Daun-daun tidak bergerak, angin berhenti, dan suara hutan… menghilang.
> Desa itu bukan tempat biasa.
Ia seperti terjebak dalam waktu—atau berada di luar waktu.
---
Orang-Orang Tanpa Bayangan
Rey menemukan jalan tanah yang memisahkan rumah-rumah kayu tua. Rumah-rumah itu tidak rusak, tapi seolah… tidak bernyawa. Pintu tertutup, jendela tertutup rapat. Tak ada lampu, tak ada suara.
Namun Rey tahu, ia tidak sendirian.
Ia melihat seorang wanita berdiri di ujung jalan.
Wanita itu memakai gaun putih panjang, wajah tertutup kerudung tipis, dan—yang paling mengerikan—tidak memiliki bayangan.
“Selamat datang, Rey.”
Suara itu datang bukan dari mulutnya. Tapi dari udara.
> “Kau menyebut satu nama.
Maka kami tahu waktumu sudah dekat.
Dan kami… sudah menunggumu sejak lama.”
---
Balai Tua dan Ritus yang Hilang
Wanita itu membawanya ke sebuah balai besar di tengah desa. Di dalamnya ada simbol-simbol aneh, tergurat pada lantai kayu: lingkaran, mata, dan bentuk tubuh manusia dengan kepala terbalik.
Di tengah ruangan, sebuah kursi dari tulang.
Dan di depannya, buku besar—kitab pemanggil.
Rey mendekat dan melihat halaman pertama:
> “Nama-nama mereka ditulis oleh manusia pertama yang berdosa.
Tapi hanya manusia terakhir yang bisa menyebut semuanya kembali.
Dan yang terakhir… adalah kau, Rey.”
Tangan Rey gemetar.
Ia membuka halaman selanjutnya.
Tercatat lima nama, satu sudah terlihat: Yaraneth.
Empat nama lainnya masih tertutup kabut hitam yang bergerak-gerak, seperti tinta hidup.
Wanita itu mendekat dan berkata,
> “Mereka tidak akan melukai sebelum kau mengingat.
Tapi mengingat... akan menghancurkanmu.”
---
Pertemuan dengan Yang Lupa
Di malam pertama di desa, Rey bermimpi aneh.
Ia melihat seorang bocah laki-laki berdiri di tepi sumur tua. Bocah itu menangis sambil memegang boneka usang.
> “Aku tunggu kamu,” ucapnya lirih.
“Kamu janji waktu itu… kamu gak akan lupa.”
Rey menghampiri anak itu.
Namun saat tangan mereka hampir bersentuhan, bocah itu menoleh.
Dan wajahnya… wajah Rey sendiri saat kecil.
> “Kalau kamu gak sebut nama keempat, mereka bakal ambil satu-satu orang di sekitarmu.
Kalau kamu sebut semua... kamu bakal jadi mereka.”
Rey terbangun dengan teriakan. Dan di tangannya, boneka usang dari mimpinya benar-benar ada.
---
Pemakaman yang Tak Pernah Usai
Wanita berpakaian putih membawanya ke ujung desa, ke sebuah pekuburan. Namun anehnya, setiap batu nisan tak memiliki nama. Hanya simbol.
Satu nisan terbuka. Seolah sedang menunggu penghuninya.
“Untukmu,” kata sang wanita.
> “Kalau kau tak ingat, kau tetap di sini.
Kalau kau ingat... mereka ikut pulang.”
Di belakang Rey, muncul lima sosok tinggi berkerudung gelap.
Mereka tidak menyentuh tanah. Tidak berbicara. Tapi satu per satu… membuka wajah mereka.
Wajah-wajah itu semua… adalah wajah Rey. Dalam bentuk yang berbeda.
Rey yang tersenyum dengan mata hilang.
Rey yang menangis darah.
Rey yang membusuk.
Rey dengan mulut dipenuhi gigi.
Dan Rey… yang kosong.
---
Waktu Habis
Di pergelangan tangannya, angka terakhir—1—telah berubah menjadi titik hitam yang menyebar ke nadi.
Ia duduk sendirian di balai desa.
Sang wanita mendekat. Tapi kali ini ia memperlihatkan wajahnya.
Dan wajah itu... adalah ibunya.
> “Kamu lahir di sini, Rey. Tapi kau dibawa keluar.
Kau satu-satunya yang pernah melihat semuanya—dan hidup.”
“Tapi hidupmu bukan milikmu.”
“Waktumu sudah habis. Kau harus pilih.”
---
Langit desa berubah menjadi merah. Kabut menebal.
Kitab pemanggil terbuka dengan sendirinya. Empat nama lainnya mulai terlihat perlahan...
Rey berdiri, tubuhnya gemetar. Ia tahu: satu langkah lagi, dan ia tak bisa kembali.
Tapi ia juga tahu... ia tak bisa lari.
> Dan dari balik kabut, terdengar suara kecil memanggil:
> “Rey…”
“Ayo main petak umpet lagi…”
---
🕯️ To be continued…
> Desa Kaki Kabut tidak hanya menyimpan rahasia, tapi juga dosa Rey yang tertua.
Nama-nama telah disebut, dan jalan kembali tinggal satu.
Rey akan segera memilih: menjadi mereka... atau melawan mereka.