Langkah Rey terhenti di depan sumur tua di tengah desa. Angin berhembus dari arah sumur, meski tak seharusnya ada ruang di bawah untuk menciptakan aliran. Kabut mulai merayap dari dasar batu-batu hitam itu, seolah menyambutnya pulang.
Ia berdiri diam, tubuh gemetar, jemarinya mencengkeram kitab pemanggil yang mulai berubah warna. Kulitnya yang dulu abu-abu kotor kini berubah kehitaman, berdenyut seperti hidup.
> “Apa kau siap membuka semuanya?”
“Atau… akan tetap jadi setengah?”
Suara itu datang lagi. Bukan dari seseorang. Tapi dari dalam dirinya sendiri.
---
Kembalinya Si Kecil
Sumur itu dulu bukan sekadar tempat bermain. Ia adalah pintu. Di masa kecil, Rey dan teman-temannya sering berkumpul di sekitarnya, bermain semacam ritual yang mereka sebut "menyapa kegelapan."
Tak ada yang tahu asal-usul permainan itu. Mungkin ditemukan dari buku tua, atau dari cerita nenek yang terlupakan. Tapi satu hal pasti: Rey yang memimpin ritual itu.
> “Kita akan panggil teman dari dunia lain,” katanya dulu.
“Tapi jangan sebut nama mereka. Kalau sampai kalian sebut, mereka bakal ikut.”
Dan kini, ia berdiri lagi di tempat itu.
Namun kali ini ia sendirian.
Atau setidaknya... ia pikir begitu.
---
Sumur yang Menelan Ingatan
Saat Rey menyentuh dinding sumur, tubuhnya langsung ditarik. Tak ada suara jeritan. Tak ada waktu untuk berpikir. Semuanya terjadi seperti kelahiran yang dipaksa ulang: penuh darah, rasa sakit, dan kehilangan arah.
Ia terjatuh ke dalam ruang gelap, tidak berujung. Tapi tidak pernah menyentuh dasar.
Hanya melayang.
Di sekitarnya, bayangan-bayangan kecil berbisik dalam bahasa yang tak dikenal. Tapi ia tahu arti mereka:
> “Kau kembali, Raka.”
“Akhirnya kami lengkap.”
---
Raka: Nama yang Dibuang
Rey menolak kata itu. Raka bukan dirinya. Ia sudah mengubur nama itu jauh-jauh, bersama masa lalu yang dipenuhi darah dan tangisan.
Namun suara-suara itu terus memanggil.
> “Kamu bukan Rey. Rey hanyalah topeng.”
“Kau adalah Raka—pemberi nama.”
“Kau yang menyalakan api, dan membakar kami semua.”
Tiba-tiba Rey melihat cahaya samar. Sebuah cermin melayang di udara, menampilkan seorang bocah lelaki—kira-kira usia delapan tahun—dengan wajah pucat dan mata lebam.
Bocah itu menangis di pojok ruangan gelap.
> “Jangan tinggalkan aku lagi, Raka…”
“Aku... aku cuma pengen kamu ingat.”
Rey maju mendekat.
Dan saat ia menyentuh tangan bocah itu—ia tersedot ke dalam tubuhnya.
---
Menjadi Anak Itu Lagi
Tiba-tiba Rey berada di ruang kelas SD. Ia duduk di bangku paling belakang. Teman-temannya bercanda, menulis, bermain. Tapi semua wajah itu... berlubang. Mata dan mulut mereka hilang.
Suara ibu guru menggema dari papan tulis, tapi kata-katanya tak bisa dimengerti. Seperti suara radio rusak.
Di tangannya, Rey memegang gambar—coretan simbol dengan tiga mata. Di atasnya tertulis nama: "Yaraneth."
Tiba-tiba kelas menjadi gelap.
Satu per satu temannya menghilang.
Dan Rey kecil berbisik pada dirinya yang sekarang:
> “Aku sebut nama pertama waktu itu.
Kamu tahu sisanya. Tapi kamu takut.”
> “Sekarang... kamu gak bisa lagi lari.”
---
Ruang Pertemuan Terakhir
Setelah tersadar kembali, Rey berdiri di tengah altar desa. Kabut memutih seperti susu, padat, dan menggulung cepat. Lima sosok muncul perlahan. Kali ini mereka tidak mengenakan jubah. Mereka berwujud manusia—semua dengan wajah Rey.
Satu tersenyum kejam.
Satu menatap kosong.
Satu menangis.
Satu tertawa dengan gigi mencuat keluar bibir.
Dan satu berdiri diam—menyembunyikan wajah di balik rambut hitam panjang.
> “Kami adalah semua versi yang kamu kubur.”
“Dan hari ini, kau harus memilih satu untuk hidup.”
“Yang lain akan lenyap. Termasuk dirimu sekarang.”
Rey tak menjawab.
Ia tahu, memilih berarti menghapus bagian dari dirinya.
Tapi tak memilih… akan membuka jalan bagi mereka berlima untuk hidup bersama—dalam dirinya.
---
Tawaran yang Terlambat
Tiba-tiba wanita berpakaian putih muncul lagi. Kali ini wajahnya berubah menjadi Dinda—wanita yang mengasuhnya saat kecil. Tapi suaranya… milik ibunya.
> “Kalau kamu ingin selamat, bakar kitab itu.”
“Dan kamu akan kembali ke dunia lama, tanpa mengingat apa pun.”
“Tapi… teman-temanmu, keluarga, dan mereka yang pernah melihat... akan menggantikan tempatmu.”
Rey memandang kitab itu.
Dan ia melihat nama terakhir mulai muncul.
RAKA.
Namanya sendiri.
> “Kalau kamu sebut nama itu...”
“Kamu takkan jadi manusia lagi.”
---
Dinding Diri Sendiri
Rey lari dari altar.
Kabut mengejar, menyatu dengan tanah, menjalar seperti ular raksasa. Setiap kali ia menyentuh sesuatu, tempat itu membusuk, menghitam, dan berubah menjadi bagian dari dirinya.
Ia masuk ke rumah tua di pinggir desa. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan Rey dari berbagai usia—semua dengan coretan di mata.
Di tengah ruangan, kursi goyang tua.
Dan di sana duduk ayahnya.
Namun ayahnya tak bersuara. Hanya menatap Rey.
> Lalu membisikkan:
“Bahkan aku... hanya bayangan.
Tapi bayangan bisa menyeret cahaya ke tempatnya.”
Rey gemetar. Ia merasakan tubuhnya perlahan berubah. Kuku-kukunya memanjang. Napasnya menjadi kabur. Wajahnya retak seperti topeng.
Ia tahu waktunya habis.
---
Pengakuan dan Pembebasan
Rey berdiri lagi di altar. Lima sosok versi dirinya masih menunggu.
“Aku tahu siapa aku sekarang,” ucap Rey pelan.
“Aku Rey. Tapi aku juga Raka. Aku bukan salah satu dari kalian. Aku adalah semua dari kalian.”
Tangan Rey menyentuh dada—tempat simbol tiga mata tumbuh.
Ia menyebut nama kelima:
“Raka.”
Kabut meledak seperti badai.
Cermin-cermin hancur.
Kelima sosok menghilang, satu per satu.
Dan tubuh Rey membara dalam cahaya hitam.
---
Bangun Kembali
Rey—atau mungkin Raka—terbangun di rumah sakit kota. Di sampingnya, Arka terlelap dengan mata lebam dan pakaian kusut.
“Lo akhirnya bangun,” bisik Arka saat sadar.
Rey menatap ke cermin di dinding. Refleksi dirinya… masih ada.
Tapi tak semuanya sama.
Tatapannya lebih dalam.
Lebih kosong.
Dan di sudut bibirnya… ada bekas senyum yang bukan miliknya.