Suara monitor rumah sakit memantul di telinga Rey. “Beep… beep… beep…” iramanya lambat, seolah berdetak bersama denyut nadi yang bukan lagi miliknya. Cahaya putih menyilaukan mata, tapi bukan cahaya hangat yang menenangkan. Itu dingin. Terlalu steril. Terlalu sunyi.
Ia membuka mata, dan segalanya kembali.
Tapi… tidak seperti dulu.
Arka duduk di sisi ranjang, memeluk tas selempangnya, rambutnya acak-acakan, wajahnya penuh kantuk dan khawatir.
“Lo sadar juga,” katanya pelan, nyaris tak percaya. “Gue pikir lo gak bakal bangun lagi.”
Rey mencoba bicara, tapi suaranya serak. Seperti pita suaranya sudah lama tak digunakan. Atau… seperti baru digunakan oleh suara lain.
> “Berapa lama…?”
“Empat hari,” jawab Arka. “Lo ketemu orang waktu hilang? Polisi bilang lo gak ditemukan di hutan, tapi di pinggir jalan tol.”
Rey diam.
> Ia tahu dia tidak kembali sendiri.
---
Cermin Tak Lagi Jujur
Malam pertama setelah keluar dari rumah sakit, Rey memandangi cermin di kamarnya. Wajahnya sama. Tapi sorot matanya tidak.
Ia mencoba tersenyum.
Tapi cermin… tidak ikut tersenyum.
Refleksi dirinya hanya menatap dingin.
Dan… dalam sekejap, cermin itu mengerjap. Seolah refleksinya hidup, mandiri, dan tahu sesuatu yang Rey tidak tahu.
> "Kau kembali," kata suara itu, dalam pikirannya.
"Tapi hanya tubuhmu yang kembali."
---
Gejala yang Tak Dapat Dijelaskan
Selama hari-hari berikutnya, Rey mulai mengalami perubahan yang tidak dapat dijelaskan secara medis:
1. Ia tidak bisa tidur. Setiap kali mencoba, ia justru merasa semakin terjaga. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tetap aktif. Seperti ada kesadaran lain yang menolak untuk terlelap.
2. Ia tidak lapar. Tubuhnya tak butuh makanan. Bahkan roti yang ia coba makan, terasa hambar dan keras seperti kapur.
3. Ia mulai memahami bahasa-bahasa yang tak pernah ia pelajari. Tiba-tiba ia bisa membaca simbol-simbol aneh di dinding tua, coretan di bangku sekolah, bahkan mendengar bisikan dari radio rusak.
4. Ia melihat bayangan. Bukan bayangannya sendiri, tapi sosok-sosok lain yang berdiri diam di lorong, di balik jendela, di cermin. Mereka tak bergerak. Tapi Rey tahu… mereka memperhatikannya.
---
Orang-Orang Mulai Menjauh
Rey kembali ke kampus. Semua terasa normal. Tapi hanya di permukaan.
Teman-teman mulai menghindar.
"Lo berubah," kata salah satu teman sekelasnya.
Wajah Rey kini pucat. Suaranya dalam dan berat. Ia bicara lambat, seolah memilih kata-kata yang bukan dari bahasa manusia biasa. Bahkan dosennya pun terlihat tidak nyaman saat berbicara dengannya.
> “Gue denger desas-desus,” bisik Arka di suatu malam.
“Katanya lo pernah kesurupan. Lo sempat ketawa sendiri di kelas sambil gambar lingkaran di meja. Lo bahkan nulis nama ‘Yaraneth’ di papan tulis tanpa sadar.”
Rey tak bisa menyangkal. Ia tak ingat apa pun.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu:
> Sebagian dari dirinya tidak kembali dari Desa Kaki Kabut.
---
Mimpi yang Kembali Membuka Luka
Rey mulai bermimpi lagi.
Namun kini, ia tidak hanya melihat dirinya saat kecil. Ia melihat versi-versi dirinya dari dunia lain. Rey sebagai penjaga pintu gerbang. Rey sebagai pemburu jiwa. Rey sebagai pendeta hitam yang memimpin ritual dengan darah.
Setiap malam, mimpi itu berlanjut.
Dan di ujungnya… ia selalu mendengar suara yang sama:
> “Pulang belum berarti kamu bebas.”
“Kami masih menunggu kamu menyebut nama keenam.”
Tapi Rey tahu… hanya ada lima nama.
Lalu siapa nama keenam?
---
Misteri yang Tidak Mau Mati
Rey mulai menelusuri kembali jejak masa lalunya. Ia mengunjungi rumah lama tempat ia tumbuh bersama ibunya sebelum pindah kota.
Rumah itu sudah ditinggalkan.
Tapi di dinding kamarnya yang lama, ia menemukan ukiran kecil—tertutup wallpaper:
> “RAKA BUKA PINTU. MEREKA MASIH DI SINI.”
Tangannya gemetar. Ia menyentuh tulisan itu. Dan tiba-tiba... ia melihat bayangan seorang wanita berdiri di ambang pintu.
Ibunya.
Tapi matanya kosong. Dan dari mulutnya, mengalir darah hitam.
> “Kenapa kamu panggil mereka waktu itu?”
“Kenapa kamu biarin mereka masuk?”
“Kamu… satu-satunya yang buka pintu.”
Rey jatuh berlutut. Ia menangis. Tapi air matanya… hitam.
---
Konfrontasi di Dunia Nyata
Arka akhirnya mengkonfrontasi Rey.
“Gue tahu lo bukan Rey yang dulu,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo nyakitin orang.”
Rey menatap Arka dengan mata merah samar. Tapi suaranya tetap tenang.
> “Gue gak nyakitin siapa-siapa. Tapi kalau lo terus ganggu mereka... mereka bakal datang buat lo juga.”
Arka melangkah mundur.
“Apa maksud lo?”
Rey menunduk.
> “Lo pernah nyebut satu nama waktu kecil. Lo juga ikut permainan itu.
Lo pikir cuma gue yang kena kutukannya?”
Arka pucat.
> “Inget gak... waktu kita masih SD, lo juga ikut ‘ritual permainan’?
Siapa yang nyalain lilin pertama?”
Arka menangis.
“Jadi selama ini…”
> “Iya. Kita semua… udah kena. Cuma gue yang nginget lebih dulu.”
---
Bayangan yang Memeluk Dunia
Rey mulai mencatat nama-nama di buku pribadinya.
Bukan untuk ritual. Tapi untuk menjaga ingatannya tetap utuh.
Ia takut jika ia melupakan satu saja, dunia nyata akan mulai runtuh dari dalam.
Tapi setiap kali ia menulis satu nama, ia merasa pusing. Dunia bergetar. Dan kadang… nama itu berubah sendiri.
> Yaraneth berubah jadi Yareth.
Druvak jadi Durr’vah.
Nimara jadi Nin’Mahr.
> “Nama mereka hidup. Mereka berkembang. Dan mereka… sekarang mengenalku juga.”
---
Suatu malam, Rey kembali bermimpi.
Ia berada di dalam kereta tua, kosong, hanya cahaya remang dari lampu gantung tua. Di seberangnya duduk seorang anak kecil—versi dirinya saat usia enam tahun.
Anak itu membuka mulut.
Tapi kali ini… suaranya adalah suara masa depan.
> “Namaku bukan Rey. Bukan Raka.
Aku adalah keenam.”
“Karena lima yang lain… butuh tubuh.”
“Dan aku adalah wadah.”
Rey terbangun dengan tubuh penuh luka cakaran yang tidak ia tahu dari mana asalnya.
Dan dari luar jendela, kabut mulai turun lagi.