Bab 8. Permainan Yang Tak Pernah Berakhir

Hujan turun pelan malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat udara menjadi lembap dan berat. Di dalam kamarnya, Rey duduk sendirian di lantai, dikelilingi puluhan kertas yang dipenuhi coretan simbol. Semua sama: lingkaran, mata, dan garis bercabang seperti akar.

Ia mencoba mengingat, menulis ulang dari kepingan mimpi, dari suara-suara yang memanggilnya sejak ia kembali dari Desa Kaki Kabut.

> “Kalau aku bisa ingat permainannya dari awal, mungkin aku bisa menghentikannya,” gumam Rey.

Tapi ingatan itu tidak seperti membuka buku cerita masa kecil.

Ia seperti menggali kuburan.

Dan di tiap lapis tanah yang Rey bongkar, bau busuk masa lalu makin kuat terasa.

---

Kembali ke Masa Lalu

Semua berawal di sebuah rumah tua di ujung gang sempit.

Tahun itu, Rey—masih menggunakan nama lamanya, Raka—baru berusia delapan tahun. Ia baru pindah bersama ibunya setelah ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja. Ibunya sering bekerja malam, meninggalkan Raka sendirian.

Di antara sepinya, Raka berteman dengan tiga anak tetangga: Arka, Vino, dan Seli.

Rumah yang mereka sering datangi adalah rumah tua di ujung gang, bekas panti yang sudah terbengkalai.

> “Tempat ini serem, tapi seru,” kata Vino waktu itu.

“Ada cerita, dulu ada anak yang ilang di sini.”

Dan seperti anak kecil pada umumnya, rasa takut justru membuat mereka penasaran.

Sampai suatu sore, mereka menemukan buku lusuh di bawah lantai kayu yang retak.

---

Kitab Permainan

Buku itu aneh. Sampulnya terbuat dari semacam kulit kasar, tak ada judul. Saat mereka membukanya, halaman pertama penuh dengan gambar lingkaran dan simbol mata. Di bagian bawah tertulis:

> "Permainan Roh – Untuk Menghidupkan Teman dari Dunia Sebelah."

Ada aturan tertulis tangan:

1. Empat anak. Satu pembuka. Tiga pemanggil.

2. Lilin harus menyala. Lingkaran harus tertutup.

3. Sebut nama dari halaman dalam. Tapi jangan semuanya. Jangan sekali-kali sebut semua.

> "Cuma permainan..." pikir mereka saat itu.

Tidak ada yang benar-benar mengerti.

Tapi Raka-lah yang membaca nama pertama.

Dan malam itu... sesuatu berubah.

---

Malam Dimulai

Ritual dimulai pukul 11 malam.

Lingkaran digambar dengan kapur putih.

Empat lilin diletakkan di sudut-sudut.

Raka duduk di tengah, memegang buku, membaca:

> “Kami panggil kau, Yaraneth.

Kau yang melihat. Kau yang membimbing.

Tunjukkan wujudmu, hadir dalam bayangan kami.”

Tidak terjadi apa-apa.

Awalnya.

Tapi saat lilin padam satu per satu—bukan karena angin, tapi karena tidak ada lagi oksigen di dalam ruangan—Raka melihat bayangan hitam muncul di belakang Arka.

Lalu Seli mulai menangis.

Vino muntah darah.

Dan Raka… melihat matanya berubah.

> "Kita harus selesaiin ini!"

"Tapi belum semua nama dibaca!"

"Jangan! Jangan baca semuanya!"

Namun karena panik... Arka membaca nama kedua: Solteh.

---

Pintu Dibuka

Itulah malam ketika pintu antara dunia dibuka.

Dan mereka, anak-anak yang hanya ingin bermain, menjadi saksi.

Sejak malam itu:

Seli hilang. Polisi mengira dia kabur.

Vino jatuh dari lantai dua rumahnya. Koma, lalu meninggal setelah dua minggu.

Arka mengalami mimpi buruk selama berbulan-bulan. Tidak pernah cerita pada siapa pun.

Dan Raka?

Ia diam. Ia menyimpan buku itu. Ia mengubah namanya.

Dan ia berusaha lupa.

---

Kembali ke Rumah Tua

Kini, bertahun-tahun setelah itu, Rey—dengan tubuh dewasa dan jiwa yang robek—berdiri lagi di depan rumah itu. Rumahnya sekarang tinggal puing, hampir ambruk, tapi atmosfernya tetap sama.

Di dalam, ia menemukan bekas lingkaran kapur yang samar.

Dan di bawah papan lantai tempat dulu mereka duduk, masih ada lubang kecil.

Rey menggali.

Dan ia menemukan buku itu kembali.

Tapi kini… halaman-halamannya kosong.

> "Mereka sudah pindah ke tempat lain," ucap Rey pelan.

"Mereka pindah ke aku."

---

Arka Bicara

Arka datang tengah malam, memaksa masuk ke rumah Rey.

“Gue inget semuanya,” katanya tanpa basa-basi. “Setelah lo balik, gue mulai mimpi aneh juga. Seli datang ke mimpi gue. Tapi bukan kayak dia… mukanya robek. Dia bilang lo belum selesaiin permainan.”

Rey diam.

Arka melanjutkan, “Kita harus nutup ini. Kita harus selesain permainan.”

> “Permainannya gak pernah selesai,” jawab Rey.

“Karena itu bukan permainan. Itu pemanggilan. Dan kita udah terlalu dalam.”

---

Seli Kembali

Tiga hari kemudian, Rey mendengar suara langkah kecil di rumahnya.

Ia pikir itu mimpi.

Tapi suara itu terus terdengar—menuruni tangga, masuk ke dapur, membuka lemari.

Dan malam keempat… Rey melihat Seli berdiri di ambang pintu.

Wajahnya pucat, rambut panjang menjuntai, matanya hitam kosong.

> “Kamu belum panggil aku,” katanya.

“Kamu tinggalin aku di dalam.”

“Aku kedinginan, Rey…”

Rey menangis.

“Maaf, Sel. Aku gak tahu. Aku—”

> “Jangan minta maaf,” katanya.

“Panggil aja aku sekarang. Biar kita main lagi.”

Tapi Rey tahu. Itu bukan Seli.

---

Langit Terbelah

Malam itu, langit berubah.

Awan membentuk pola seperti mata terbuka.

Rey terbangun dengan suara ribut.

Di luar rumah, orang-orang berteriak.

Hujan turun—tapi airnya hitam.

Di tengah jalan, bayangan tinggi besar berdiri.

Dan di balkon rumah tetangga, anak-anak kecil menari sambil menyebut nama-nama dari kitab itu.

> Yaraneth.

Solteh.

Druvak.

Nimara.

…Raka.

Dan satu lagi:

Sereth.

Nama baru. Nama keenam.

---

Rey Tak Sendirian Lagi

Rey kini tahu: permainan itu menunggu enam nama.

Bukan lima.

Dan Rey bukan satu-satunya pemanggil.

Setiap anak yang membaca nama—baik sengaja atau tidak—menjadi bagian dari lingkaran baru.

Dan sekarang, puluhan anak di kota sudah mulai menyebut nama-nama itu.

Mereka bangun tengah malam.

Mereka menggambar lingkaran di sekolah.

Mereka tertawa sendiri… dengan suara yang bukan suara anak-anak.

> “Permainannya mulai lagi.”

“Dan kali ini... tidak ada yang bisa menghentikan.”