Hujan turun deras malam itu. Tapi bukan hujan biasa. Airnya gelap, seperti tinta yang tumpah dari langit. Bagi kebanyakan orang, itu hanya mimpi buruk. Tapi bagi Rey—dan mereka yang pernah memanggil—itu adalah peringatan.
Mereka sudah lepas.
Dan nama-nama itu… sedang mencari tuan baru.
---
Hari Ketika Nama Pertama Muncul
Pagi hari, Rey duduk di kafe kecil dekat kampus, mencoba mengabaikan semua. Buku catatannya terbuka di depan, tapi pikirannya mengembara. Kopinya dingin.
Ia membuka media sosial.
Dan di trending topic, ia melihat tagar:
> #YaranethChallenge
#DruvakSightings
#SoltehSaysHi
> “Tidak…” Rey berbisik.
“Ini nggak boleh terjadi.”
Ia buka salah satu video. Anak-anak usia 10-12 tahun duduk melingkar, menggambar lingkaran dengan bedak bayi di lantai, membaca nama-nama dari kertas lusuh. Mereka tertawa. Tapi di ujung video… salah satu anak menoleh ke arah kamera dengan mata sepenuhnya hitam.
---
Konten yang Tak Bisa Dihapus
Rey langsung mencoba melaporkan video itu.
> “Melanggar kebijakan?”
“Konten tidak dapat dihapus. Diupload dari sumber yang tidak teridentifikasi.”
Ia klik akun pengunggah.
Akun kosong. Tak ada informasi. Hanya satu kalimat di bio:
> “Kamu membacanya. Kamu bagian dari permainan.”
Rey menghapus aplikasinya. Tapi saat ia membuka browser, pop-up bermunculan sendiri:
> “Sebut satu nama lagi.
Dapatkan mimpi baru malam ini.”
---
Anak-Anak di Sekolah Dasar
Sore itu, Arka menghubunginya.
> “Gue ngajar les di SD dekat rumah. Lo harus ke sini.”
“Ada apa?”
“Lo harus lihat sendiri.”
Rey datang. Sekolah itu tampak biasa. Tapi saat ia melewati kelas 5A, ia mendengar gumaman aneh. Seperti mantra. Seperti… nama-nama.
Ia intip dari balik jendela. Anak-anak menulis simbol yang sama seperti yang dulu ia gambar: lingkaran dengan mata bertumpuk.
Dan di tengah papan tulis, tertulis:
> Yaraneth
Solteh
Druvak
Nimara
Raka
Sereth
Anak-anak tersenyum sambil melirik ke sudut ruangan kosong.
Tapi… Rey melihatnya.
Di sudut itu, ada seseorang. Tinggi, tipis, kulitnya retak seperti keramik tua. Ia berdiri diam, menatap langsung ke Rey.
---
Media Menjadi Wadah
Di berita malam, muncul segmen ringan:
> "Fenomena baru: Nama-nama aneh yang viral di kalangan anak-anak."
“Yaraneth katanya bisa bantu kamu lihat masa depan!”
“Solteh bisa bikin kamu mimpi lucu!”
Presenter tertawa.
Tapi Rey tidak.
Karena ia tahu—semakin banyak orang menyebut, semakin kuat mereka.
Nama adalah kunci.
Bukan hanya untuk memanggil… tapi untuk membuka jalan.
---
Mereka yang Tidak Bisa Diam
Rey dan Arka kembali ke rumah Rey malam itu, mencoba menyusun daftar anak-anak yang sudah “terpapar.”
> “Gue curiga, ini menyebar bukan cuma dari internet,” kata Arka.
“Tapi dari… mimpi.”
“Gue mimpiin Seli kemarin. Dia… ngajak gue main lagi.”
“Dia bilang, ‘tinggal tiga nama lagi yang harus disebut, terus pintu bisa dibuka penuh.’”
Rey memandang ke luar jendela.
Di trotoar, sekelompok anak kecil melingkar. Mereka memegang ponsel. Tapi layarnya mati.
Namun dari wajah mereka… ada senyum yang bukan milik mereka sendiri.
---
Sereth: Nama Keenam
Rey membuka kembali catatan lamanya. Ia menulis lima nama lama.
> Yaraneth
Solteh
Druvak
Nimara
Raka
Tapi nama keenam… Sereth, itu tak pernah disebut dalam kitab asli.
“Dari mana asalnya?” gumam Rey.
Jawaban datang dalam mimpi malam itu.
Ia berada di tengah ladang kering, langit retak, tanah merah.
Dan di depannya, seorang anak kecil berjalan menghampirinya. Tapi tubuh anak itu transparan, dan setiap langkahnya membakar tanah.
> “Aku bukan bagian dari lima.”
“Aku adalah akibat.”
“Setiap kali kamu lupakan satu dari mereka… aku lahir.”
Rey bangun dengan dada terbakar. Dan di cermin, ia melihat tulisan tergores dari dalam:
> “Sereth adalah semua yang kalian tolak.”
---
Kehilangan yang Mengintai
Keesokan harinya, berita buruk datang.
Tiga anak dari sekolah tempat Arka mengajar—hilang.
Tidak ada jejak. Hanya lingkaran kapur di kamar mereka, dan satu kata ditulis di dinding:
> “Mereka sudah menyebut enam nama.”
Orang tua bingung. Polisi tak bisa menjelaskan.
Dan Rey tahu… anak-anak itu bukan hanya hilang. Mereka ditarik masuk.
---
Pertemuan dengan Penjaga Gerbang
Malam ketujuh setelah nama Sereth muncul, Rey kembali ke mimpinya. Tapi kali ini, ia berada di tepi jurang.
Di bawahnya, ribuan wajah anak-anak menatap ke atas.
Mata mereka kosong. Tapi bibir mereka bergerak.
Mereka menyebut nama-nama itu… berulang-ulang.
Dari balik kabut, seseorang datang.
Penjaga Gerbang.
Sosok tinggi, bersayap hitam compang-camping, matanya menyala biru.
Di tangannya, ada kunci berlumur darah.
> “Kau yang pertama membuka.
Tapi bukan kau yang akan menutup.”
“Kau harus memilih:
Biarkan semua nama menyebar,
atau panggil mereka semua dan jadi penampungnya.”
Rey menjerit, “Apa maksudmu?!”
> “Kau bisa menjadi wadah—dan mengurung mereka dalam tubuhmu.”
“Atau biarkan dunia jadi pintu.”
“Pilih, Raka.”
---
Rey bangun. Tubuhnya demam.
Tapi di meja belajarnya, sebuah buku lusuh terbuka.
Itu kitab yang dulu ia kubur.
Kini halaman terakhir terisi:
> “Jika keenam nama telah disebut,
dunia tidak lagi bisa menghapusnya.
Hanya pengganti yang bisa memegang beban mereka semua.”
Dan di bawahnya, tertulis dalam darah:
> “Kau, Raka, adalah pengganti itu.”