Bab 10. Wadah Kutukan

Langit Jakarta malam itu terasa lebih berat. Udara menggantung tanpa angin. Cahaya lampu jalan tampak suram, seolah tahu bahwa sesuatu yang tak kasat mata sedang bergerak di antara bayangan.

Di kamar sempitnya, Rey duduk bersila, dikelilingi lingkaran darah kering dan enam lilin hitam. Di hadapannya terbuka kitab kutukan yang telah mengubah hidupnya.

Tujuh halaman. Enam nama. Satu ruang kosong.

Dan ruang itu… untuk dirinya sendiri.

---

Ritual Terakhir

Ritual tidak bisa dilakukan di sembarang tempat. Tapi Rey sudah memilih lokasi: bunker tua bawah tanah, peninggalan masa penjajahan, kini terlupakan dan terkubur di antara reruntuhan gedung tua dekat rel kereta.

Dengan bantuan Arka—yang kini nyaris sama gila dan putus asa seperti dirinya—Rey menyiapkan segalanya:

Kapur hitam dari serpihan tulang hewan.

Air dari genangan hutan kabut.

Enam benda simbolik: serpih kaca, rambut, darah, tanah pekuburan, kuku bayi, dan cermin retak.

Dan tentu saja… nama-nama.

---

Malam Dimulai

Tepat pukul 00.00, Rey menggambar lingkaran besar di lantai bunker.

Di tiap ujung bintang segi enam yang mengelilingi lingkaran, ia menulis satu nama:

1. Yaraneth – yang melihat segalanya.

2. Solteh – yang mengganggu tidur.

3. Druvak – yang membawa rasa lapar yang tak terpuaskan.

4. Nimara – yang menangis dengan suara ibumu.

5. Raka – yang membuka pintu pertama.

6. Sereth – yang lahir dari kealpaan.

> “Jika kalian mau dikuasai, datanglah.”

“Jika kalian ingin hidup, biarkan aku menjadi wadah kalian.”

Rey menyayat tangannya dan menetesi lingkaran dengan darahnya sendiri.

Lilin pertama padam.

Lalu yang kedua.

Lalu semua.

---

Kedatangan Pertama: Yaraneth

Tiba-tiba bunker menjadi hening. Bahkan suara jantung Rey seakan teredam. Dan dari sudut ruangan… muncul sebuah mata raksasa yang melayang di udara, menatap Rey.

> “Kau menyebutku… tapi tak bisa melihat seperti aku.”

“Berani kau menanggung pandanganku?”

Rey menatap balik. Dan seketika seluruh masa lalunya melintas: rasa bersalah, ketakutan, luka masa kecil, kematian ayah, ketidakberdayaan ibunya, dan bayangan kecil dirinya sendiri… tertawa dalam kesunyian.

Mata itu menembus seluruh isi dirinya.

Tapi Rey bertahan.

Yaraneth masuk.

---

Solteh Mengganggu Tidur

Seketika Rey mengantuk. Tapi bukan kantuk biasa. Ia merasa seperti ditarik ke dalam tidur paksa. Namun di tengahnya, ia sadar ia bermimpi.

Dalam mimpi itu, ia dikelilingi ribuan kasur. Dan dari bawah tiap kasur, muncul tangan yang menarik tubuhnya.

> “Aku tidak suka kamu tidur nyenyak,” bisik Solteh.

“Biarkan aku bergelantungan di kelopak matamu.”

“Biarkan aku mengatur mimpi burukmu.”

Rey mengangguk.

> “Kalau itu yang kau mau… ambil ruang di dalamku. Tapi berhenti menyerang yang lain.”

Solteh tertawa, lalu menyelinap masuk melalui mata Rey.

Dua roh kini tinggal dalam satu tubuh.

---

Druvak dan Rasa Lapar

Kini perut Rey menggelembung seperti drum kosong. Ia berteriak, merasa lapar—tapi bukan lapar biasa.

Ia merobek tanah, menggigit batu, mencoba menelan cacing.

Tapi semua tak cukup.

Druvak datang sebagai sosok besar bertanduk dengan mulut lima lapis.

> “Kau tawarkan tubuhmu padaku?”

“Berani kau kelaparan selamanya?”

Rey menjawab sambil menahan muntah darah:

> “Jika itu harga untuk menghentikan ini… ya.”

Dan mulut itu mengatup pada perut Rey, masuk tanpa luka.

Sekarang Rey tahu—ia tidak akan pernah kenyang lagi.

---

Nimara: Ibu yang Menangis

Suara itu membuat Rey berlutut.

Ibu.

Tapi bukan suaranya saat hidup. Ini suara menangis. Teriakan. Rintihan yang bergema ribuan kali di dinding pikirannya.

> “Kenapa kamu biarkan mereka masuk, Raka?”

“Kenapa kamu buka pintu malam itu?”

“Ibu gak pernah bisa pulang karena kamu.”

Air mata Rey mengalir.

> “Maaf, Bu… aku masih kecil waktu itu… aku nggak tahu…”

“Tapi sekarang aku tahu. Dan aku tanggung jawabnya.”

Nimara hadir dalam bentuk tubuh ibunya, tapi matanya berlubang.

Ia melangkah pelan, meraih Rey, dan menyatu dalam tangis.

---

Raka: Diri Sendiri

Dari semua yang datang… yang satu ini paling menyeramkan.

Rey melihat dirinya sendiri.

Bukan refleksi. Tapi Raka kecil.

Usia 8 tahun. Wajah polos. Tapi dengan senyum yang terlalu tenang.

> “Kau lari terlalu jauh, Rey,” katanya.

“Nama yang kau buang… adalah namamu sendiri.”

Rey gemetar.

> “Kau tinggalkan aku di malam itu, dan ganti namamu. Tapi aku tetap di sana. Bersama mereka.”

Raka kecil memegang tangan Rey.

Tubuhnya membara. Tapi Rey tidak menarik diri.

> “Kau mau ambil aku kembali? Maka ambil semua rasa sakitnya.”

“Semua tangisan, kesepian, ketakutan… ambil!”

Rey mengangguk.

> “Aku akan bawa semuanya.”

Dan Raka—versi kecil dari kutukan awal—masuk ke dalam dada Rey.

---

Sereth: Yang Tak Bisa Dikendalikan

Semua lilin kembali menyala sendiri.

Lingkaran berguncang.

Dan udara menjadi tebal. Sesuatu muncul… bukan dari atas, bukan dari bawah… tapi dari sela-sela kenyataan.

Sereth hadir sebagai kabut hitam cair.

Tak berbentuk. Tak berbicara. Hanya bergerak cepat, menutup tubuh Rey, menyusup ke setiap pori-pori.

Dan dalam pikirannya, Sereth berbisik:

> “Aku lahir dari penyangkalan.”

“Aku tumbuh dari diam.”

“Kau pikir bisa kendalikan aku? Tapi aku tak pernah tunduk pada nama.”

Rey mencoba melawan. Tapi Sereth terlalu banyak. Terlalu cair. Terlalu dalam.

Arka berteriak dari luar lingkaran:

> “Rey! Jangan nyerah! Lo yang terakhir… lo yang buka pintu… cuma lo yang bisa nutup!”

Rey menjerit, membakar darahnya sendiri.

Dan sekejap… ia menyegel Sereth di tulang belakangnya.

---

Setelah Penyatuan

Tubuh Rey ambruk.

Detak jantung berhenti 23 detik.

Saat ia sadar, mata kirinya berwarna biru terang. Perutnya terus berbunyi. Rambutnya memutih sebagian. Suaranya dalam dan berat, seperti bergema dari sumur.

Arka menatapnya takut-takut.

> “Lo masih Rey?”

“Gue gak tahu…” Rey menjawab.

“Tapi sekarang, mereka di dalam gue.”

---

Keesokan harinya, hujan berhenti.

Media sosial sunyi.

Video nama-nama kutukan menghilang.

Anak-anak yang ‘hilang’… ditemukan tertidur pulas di tempat tidur mereka.

Tapi…

Di dada Rey, terasa seperti enam pintu berdenyut dalam dada.

Dan saat malam turun, Rey mendengar suara:

> “Satu yang belum dipanggil: Gerbang Ketujuh.”