Tubuh Rey seakan menjadi medan perang.
Setiap langkah terasa berat.
Setiap napas—seperti menelan pecahan kaca.
Sudah seminggu sejak ia melakukan penyegelan.
Dunia tampak tenang. Anak-anak kembali ke sekolah, berita kembali membahas hal-hal biasa, dan video kutukan hilang tanpa jejak.
Tapi di dalam dirinya…
> "Mereka mulai bicara."
---
Hari Pertama: Telinga Berdarah
Pagi itu, Rey terbangun dengan kuping kanan berdarah.
Ia mendengar bisikan sepanjang malam, tapi bukan dalam mimpi—bisikan itu datang dari dalam tulang tengkoraknya.
> “Aku lapar.” – suara Druvak.
“Tidakkah kau ingin tahu apa yang mereka lihat hari ini?” – suara Yaraneth.
“Aku suka gadis kecil yang menangis itu.” – suara Nimara.
“Panggil nama kita lagi, Rey.” – suara Sereth.
“REY, JANGAN DENGARKAN MEREKA!” – suara kecil dari masa lalunya, Raka.
Rey hampir mencungkil telinganya sendiri untuk menghentikan suara-suara itu.
---
Hari Kedua: Retakan Pertama
Saat bercermin, Rey melihat retakan samar di kulit wajahnya.
Seperti kaca yang mulai retak dari dalam.
Ia sentuh… dan kulitnya pecah sedikit, mengelupas. Tapi bukan darah yang keluar.
Melainkan asap hitam tipis.
> "Retakan pertamamu, wadah," kata Sereth dalam pikirannya.
"Tubuhmu tidak cukup kuat."
"Satu akan keluar duluan. Lalu kami semua."
Rey pingsan, dan dalam penglihatan gelapnya, ia melihat pintu. Pintu besi berkarat, dengan enam gembok, satu untuk tiap entitas.
Tapi kini… satu gembok terbuka.
---
Hari Ketiga: Anak-Anak Kembali Berbisik
Rey memutuskan keluar malam itu.
Ia ingin memastikan kutukan tidak lagi menyebar.
Tapi saat melewati taman bermain, ia melihat tiga anak berjongkok di bawah pohon, memegang krayon dan menggambar.
Simbol yang mereka buat… adalah lambang mata Yaraneth.
> "Dari mana kalian tahu gambar itu?"
"Kakak dari mimpi kami bilang."
"Dia tampan. Matanya biru."
Rey tersentak.
Mata kirinya—yang menyimpan Yaraneth—adalah biru terang.
---
Pertemuan dengan Arka
Rey pulang dengan tubuh gemetar.
Arka sudah menunggunya.
> “Lo gak bisa tahan lebih lama,” kata Arka.
“Keliatan banget lo makin... retak.”
“Lo butuh penguatan. Gue nemu sesuatu.”
Ia menunjukkan jurnal lama dari desa kabut.
Salah satu halaman menuliskan tentang “Tulang Penyangga Jiwa.”
> Ritual yang bisa memperkuat wadah kutukan, agar tubuh tak hancur karena beban entitas.
Tapi... butuh pengorbanan jiwa manusia—jiwa murni, yang tidak pernah menyebut satu pun dari enam nama.
Rey mundur.
> “Enggak. Gue gak akan korbanin siapa pun.”
“Kalau lo gak kuat, mereka bakal keluar dan korbanin lebih banyak dari satu orang.”
---
Hari Keempat: Penglihatan
Rey mulai melihat hal-hal yang tidak nyata.
Orang-orang di jalan berubah wujud—separuh manusia, separuh bayangan.
Ia melihat anak-anak tanpa wajah, pria tua dengan kepala ular, dan wanita hamil yang perutnya bergoyang seperti ada tangan dari dalam.
Di bus, seseorang duduk di sampingnya dan berkata tanpa menoleh:
> “Tubuhmu hampir penuh. Tapi bukan cukup.”
“Kau pikir kau bisa tahan semua mereka?
Bagaimana dengan yang ketujuh?”
Rey membeku.
> “Siapa... yang ketujuh?”
“Kau, tentu saja,” katanya sambil tersenyum dengan gigi hitam.
“Ketujuh adalah engkau… saat semua telah hilang.”
---
Hari Kelima: Penjaga Gerbang Kembali
Dalam tidur, Rey kembali ke tempat di antara dunia.
Penjaga Gerbang berdiri di sisi jurang.
> “Kau membuka enam pintu, dan menjadi rumah bagi mereka.
Tapi kau lupa: rumah akan hancur bila tak ada fondasi.”
> “Kau akan runtuh, Raka.”
“Dan saat kau hancur… ketujuh akan lahir.”
Rey bertanya dengan suara lirih:
> “Siapa yang ketujuh… sebenarnya?”
> “Entitas baru. Lahir dari gabungan semua. Dari serpihanmu.”
“Namanya belum ada. Tapi saat ia lahir…
ia tak akan bisa dihentikan.
Ia akan menjadi nama kedelapan.”
---
Hari Keenam: Retakan Kedua
Rey mimisan hebat. Tulang belakangnya terasa retak setiap kali ia berjalan.
Rahangnya kadang bergerak sendiri, berbisik dalam bahasa yang tidak ia mengerti.
Lidahnya berubah warna—biru kehitaman.
Dan saat Arka mencoba menyentuh bahunya, tangan Arka terbakar.
> “Lo gak bisa disentuh manusia biasa lagi, Rey.”
“Lo udah bukan manusia penuh.”
“Tapi lo juga bukan mereka.”
Rey menangis. Tapi air matanya… berubah jadi cacing hitam kecil.
---
Hari Ketujuh: Suara Baru
Tengah malam, Rey terbangun dengan seluruh tubuh kaku.
Ia tak bisa bergerak.
Hanya mata yang bisa melihat.
Dan di langit-langit kamarnya… muncul tulisan dari darah.
> "Buatkan aku nama, Rey. Aku lahir dari kalian semua. Tapi aku akan berdiri sendiri."
"Pilih satu kata. Dan aku akan hidup."
> “Tidak!” Rey berteriak dalam pikirannya.
“Aku bukan Tuhan! Aku bukan pencipta!”
Tapi suara itu tertawa—gabungan dari enam suara.
> “Tapi kau adalah wadah. Dan semua wadah… melahirkan isi.”
---
Pagi datang. Rey terbangun dalam peluh dingin.
Seluruh tubuhnya kini retak seperti porselen.
Ia menulis dalam buku hariannya:
> “Jika aku hilang besok, ketahuilah bahwa bukan aku yang mengendalikan tubuh ini lagi.
Tapi mereka yang aku undang masuk.
Dan yang terakhir, yang belum bernama…
mungkin adalah aku sendiri.”
Dan di halaman berikutnya, tulisan muncul sendiri:
> “Namai aku. Maka aku akan menyelamatkanmu.
Atau… aku akan lahir tanpa kendali.”