Bab 12. Nama Ke Tujuh

Langit Jakarta seperti kain usang malam itu. Tak berbintang, tak berawan, hanya… kosong.

Seperti ada sesuatu yang menyerap semua cahaya dari langit, menyisakan hening yang menyiksa.

Dan Rey tahu, malam itu akan menjadi akhir dari siapa dirinya.

Bukan karena ia akan mati.

Tapi karena ia akan lahir sebagai sesuatu yang lain.

---

Mulai dari Sebuah Nama

Tiga hari sejak suara itu muncul.

Tiga hari sejak ia membaca kalimat di langit-langit kamarnya:

> “Namai aku. Maka aku akan menyelamatkanmu.

Atau… aku akan lahir tanpa kendali.”

Rey mencoba mengabaikannya. Ia membakar kitab itu. Menghapus simbol di tubuhnya. Berdoa. Menjerit.

Tapi suara itu tak pergi.

Malah semakin dalam.

Semakin manis.

Semakin akrab.

Seperti mendengar suara sendiri… tapi bukan diri sendiri.

---

Tubuh yang Bukan Lagi Milik Sendiri

Tiap pagi, Rey bangun dengan tubuh yang berubah sedikit demi sedikit.

Kuku tangannya kini hitam pekat, mengeras seperti batu.

Matanya—kini dua-duanya biru terang, bahkan bersinar samar saat malam.

Di punggungnya tumbuh tonjolan seperti tulang sayap.

Suaranya berubah—kadang berat seperti orang dewasa, kadang melengking seperti anak kecil.

Dan malam ketiga, Rey terbangun dalam posisi berdiri, di luar rumah.

Ia tidak tahu bagaimana bisa sampai ke sana. Tapi tanah di bawah kakinya membentuk simbol yang hanya pernah ia lihat sekali—di mimpinya bersama Penjaga Gerbang.

---

Arka Menjauh

Arka mencoba tetap mendampingi. Tapi kini, setiap kali ia dekat, tubuhnya menggigil. Darahnya membeku. Bahkan detak jantungnya jadi tidak teratur.

> “Lo udah gak bisa di sini lagi, Rey,” kata Arka.

“Gue sayang lo… tapi ini udah bukan lo.

Ini… sesuatu yang lebih besar dari kita.”

Rey menunduk. Ia ingin menangis. Tapi air matanya telah kering sejak bab ke-10.

> “Kalau gue gak menamai dia, dia bakal lahir sendiri.

Dan kalau gue kasih nama… bisa jadi dunia gak akan pernah sama.”

“Lo gak bisa main jadi Tuhan.”

“Gue bukan Tuhan.

Tapi gue juga bukan manusia lagi.”

---

Mimpi yang Bukan Mimpi

Malam keempat, Rey kembali ke tempat di antara dunia. Tapi kini, tempat itu berubah.

Jurang yang dulu dalam, kini tertutup.

Penjaga Gerbang sudah tak ada.

Langitnya merah darah.

Dan di tengah tanah retak, berdiri dirinya sendiri.

Tapi versi lain. Lebih tinggi. Kulitnya abu-abu.

Dan dari punggungnya keluar enam tangan dengan simbol kutukan.

> “Kau melihatku?”

“Aku adalah hasilmu.”

“Berilah aku nama. Maka kau akan jadi lengkap.”

“Kalau aku menamai lo, apa yang terjadi?”

“Kau akan lenyap… tapi tidak hilang.

Kita akan menjadi satu. Dan dunia akan mengenalku bukan sebagai mimpi,

tapi sebagai kenyataan.”

---

Pilihan yang Tak Bisa Dielak

Keesokan harinya, Rey bangun dan semua cermin di rumahnya pecah.

Bukan pecah karena benturan…

Tapi karena mereka menolak memantulkan wajahnya.

Ia mengambil pena, dan mencoba menulis kata-kata acak. Tapi tiap huruf yang ia tulis membentuk satu nama sama berulang-ulang.

> “ELHARON”

Suara itu dalam. Kuat. Tak berasal dari mulutnya.

> “Elharon adalah gabungan dari semua kita.”

“Gabungan dari rasa lapar, mata, tangis, mimpi, gerbang, penyangkalan, dan… tubuhmu.”

“Dengan nama itu… kita lahir.”

---

Ritual Tak Terhindarkan

Rey pergi ke tempat pertama kali ia menemukan kitab—rumah kosong yang telah terbakar.

Ia menggambar lingkaran terakhir.

Tapi kali ini, hanya dengan tangannya sendiri.

Darahnya kini hitam.

Dan setiap tetes yang jatuh… membentuk nama itu di lantai.

> “ELHARON.”

“ELHARON.”

“ELHARON.”

Langit bergemuruh.

Udara runtuh seperti ditarik oleh pusaran tak terlihat.

Dan Rey… mulai melayang.

---

Proses Kelahiran

Rey melihat semua momen hidupnya dalam satu waktu.

Saat kecil dan bermain petak umpet di Desa Kabut.

Saat memanggil satu nama pertama tanpa tahu akibatnya.

Saat Seli menangis di pelukannya sebelum menghilang.

Saat Arka menyentuh bahunya dengan rasa takut.

Saat ia memanggil enam nama… dan menjadi rumah bagi mereka.

Dan kini…

Ia berkata:

> “Aku Rey.

Tapi sekarang… aku Elharon.”

Tubuhnya menyala.

Retakan-retakan di kulitnya menyatu.

Matanya bersinar biru dan ungu.

Dan dari punggungnya keluar enam sayap—masing-masing dengan mata, tangan, mulut, tangis, dan simbol api.

---

Dunia Berguncang

Di saat itu…

Gempa kecil terjadi di lima benua.

Bayi-bayi menangis bersamaan di rumah sakit.

Semua layar televisi mati selama 7 detik.

Dan mimpi yang sama datang ke jutaan orang:

> “Aku Elharon.

Aku adalah hasil dari semua yang ditolak.

Dan aku tidak akan dibungkam lagi.”

---

Rey tidak ada lagi.

Yang tersisa hanya tubuh Elharon…

yang kini berjalan di bumi sebagai perwujudan kutukan yang menyamar sebagai penyelamat.

Namun di pojok kecil pikirannya,

Rey masih ada.

Berbisik lirih…

> “Kalau aku masih bisa bicara… aku akan coba hentikan ini.

Tapi kalau tidak… tolong. Seseorang… matikan aku.”