Dunia menganggap Rey telah mati.
Tapi kenyataannya… ia baru saja mulai hidup.
Di tempat tergelap.
Di bawah bayangan namanya sendiri.
Di tubuh yang bukan lagi miliknya.
Dan dalam nama yang…
tak boleh disebut.
---
Dimensi Dalam: Ruang Pemutus
Tubuh Elharon berjalan di dunia. Tapi di dalamnya—di ruang tanpa langit dan tanpa lantai—Rey berlari.
Ia berlari melewati lorong dari tulang yang memutar dan menggeliat seperti ular.
Di belakangnya, suara tawa bergema—tawa keenam suara.
> “Kau menolak memberi, tapi tetap melahirkan.
Itu sebabnya, kau tak pernah bisa kembali, Rey…”
Tapi Rey terus lari.
> "Gue gak akan kalah.
Lo pakai tubuh gue. Lo ambil semua.
Sekarang GUE mau ambil balik!"
Di ujung lorong, berdiri sebuah cermin raksasa. Tapi bukan cermin biasa…
Cermin itu menampilkan wajah Elharon.
Dan cermin itu… bernapas.
---
Pertarungan Dimulai
> “Kalau lo berani sebut nama gue… lo bakal hancur.
Lo tahu itu, kan?” kata Elharon dari cermin, dengan suara sepuluh lapis.
Rey menggenggam pisau cahaya—bukan senjata biasa, tapi bentuk kehendaknya sendiri.
Ia menghantam cermin. Retak.
> “GUE TIDAK TAKUT LAGI.”
Pecahan cermin memantul dan membentuk seratus versi Elharon.
Semua menyeringai.
Semua menyerang.
Pertarungan dimulai.
---
Dunia Nyata: Gejala Terbalik
Sementara itu, dunia mulai kacau.
Di Moskow, seorang anak kecil menggambar simbol Elharon dan membisikkan sesuatu—tiba-tiba, semua jam berhenti.
Di Tokyo, langit pecah dalam pola heksagonal.
Di Jakarta, Arka menatap langit dan menyadari: "Rey sedang bertarung… Sekarang."
Arka masuk ke ruangan meditasi tua.
Ia mulai membaca mantra dari catatan Rey—mantra untuk menembus ruang antara dunia dan tubuh.
> “Rey… tunggu gue…
Lo gak akan sendiri.”
---
Kembali ke Dalam: Darah yang Mengalir ke Atas
Rey melawan satu demi satu versi Elharon.
Setiap tebasan melukai tubuhnya sendiri.
Setiap pukulan menambah retakan di pikirannya.
Tapi setiap luka juga… mengingatkannya siapa dia.
> “Gue bukan entitas.
Gue bukan pemilik kutukan.
Gue cuma Rey…
Dan Rey gak nyerah.”
Akhirnya, ia berdiri di hadapan versi asli Elharon.
---
Duel Kehendak
> “Namai aku lagi, Rey,” kata Elharon.
“Kau tahu kau tak bisa melepaskan aku.
Karena aku adalah semua rasa takutmu, semua kemarahanmu,
semua kesedihanmu.
Aku... adalah kau yang sebenarnya.”
Rey tertawa kecil.
> “Kalau lo gue…
Berarti gue juga bisa ngalahin lo.”
Ia mengangkat tangannya. Cahaya meledak dari dadanya.
Tiga huruf muncul di udara:
> “REY”
Cahaya menembus tubuh Elharon.
Seluruh dimensi goyah.
Elharon berteriak.
Cermin-cermin pecah.
---
Arka Masuk
Arka tiba-tiba muncul.
Tubuhnya transparan, tapi matanya bersinar.
> “Rey! Lo masih hidup!”
> “Ka… lo beneran di sini?”
“Gue pake mantra lo. Gue ikutin jalur darah lo.
Gue tahu lo belum hilang.”
Rey tersenyum.
“Kalau lo udah di sini… berarti gue punya alasan buat pulang.”
---
Pilihan Akhir: Hancurkan Nama atau Biarkan Hidup
Di hadapan mereka, muncul dua pilar:
1. Pilar putih: "Hancurkan nama Elharon. Tapi semua yang pernah menyebutnya akan lenyap."
2. Pilar hitam: "Biarkan Elharon hidup. Tapi ia akan menjadi bagian dari setiap manusia secara perlahan."
Rey menatap Arka.
Arka menatap Rey.
> “Kalau lo hancurin… dunia bakal kehilangan banyak orang.”
“Kalau gue biarkan hidup… gak akan ada manusia bebas sepenuhnya.”
Diam.
> “Gue tahu lo bakal ambil pilihan ketiga,” kata Arka.
> “Apa itu?”
> “Sebut nama lo sendiri.”
---
Rey Menyebut Namanya
Rey berdiri. Napasnya berat. Tubuhnya luka. Tapi matanya menyala.
> “Gue gak mau dunia terbagi antara terang dan gelap.
Gue gak mau jadi dewa. Gue gak mau jadi setan.”
> “Gue mau jadi manusia.
Yang jatuh, yang gagal, tapi bisa bangkit.”
> “Nama gue… Rey.”
Dan saat itu…
Seluruh ruang meledak menjadi cahaya.
---
Dunia Nyata: Pembersihan
Semua simbol Elharon hilang.
Orang-orang yang terkena “Sindrom Ketujuh” terbangun… seperti baru bangun dari koma.
Bayi-bayi berhenti menangis.
Langit kembali biru.
Arka terbangun di ruang meditasi.
Di sampingnya, Rey… tergeletak.
Bernapas.
Tapi lemah.
---
Rey membuka matanya.
“Ka… gue menang?”
Arka mengangguk.
> “Lo menang. Tapi lo juga kehilangan banyak.”
Rey tersenyum.
> “Itu harga jadi manusia, kan?”