Pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rey terbangun tanpa bisikan.
Tidak ada suara di kepalanya.
Tidak ada darah dari hidung.
Tidak ada simbol di dinding.
Tidak ada mimpi buruk.
Tapi... juga tidak ada apapun.
> Dunia telah dibersihkan.
Tapi sesuatu terasa... kosong.
---
1. Rumah Sakit dan Hening
Rey membuka mata dan melihat langit-langit putih. Bau disinfektan menyengat.
> “Rey…?”
Suara itu… Arka.
Ia menoleh. Arka duduk di sisi ranjang, wajahnya penuh luka dan kelelahan, tapi ada sedikit senyum.
> “Lo sadar juga akhirnya, brengsek.”
Rey mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering.
Arka langsung memberikan air.
Setelah meneguk, Rey berbisik pelan:
> “Gue... hidup?”
“Yup.”
“Elharon…?”
“Lenyap.”
Arka menunduk.
> “Tapi ada yang salah, Rey…”
---
2. Kota yang Diam
Dua hari setelah Rey sadar, ia diperbolehkan keluar dari rumah sakit.
Jakarta... berubah.
Bukan hancur. Bukan terbakar. Tapi diam.
Orang-orang berjalan, tapi tanpa ekspresi.
Anak-anak bermain… tapi tak ada tawa.
Pasar ramai… tapi tidak ada obrolan, hanya transaksi mekanis.
Seolah dunia berjalan dengan tubuh, tapi jiwanya belum kembali.
Arka menjelaskan:
> “Sejak Elharon hilang, orang-orang seperti kehilangan sesuatu yang mereka gak ngerti.”
“Kayak… rasa takut yang menajamkan hidup.
Kayak… misteri yang bikin manusia tetap waspada.”
> “Sekarang, semuanya datar.”
---
3. Media yang Sepi
Rey mencoba mencari tahu melalui internet.
Namun, semua berita tentang kutukan, Elharon, atau Sindrom Ketujuh—menghilang.
Forum ELNET ditutup.
Semua dokumentasi aneh menghilang dari arsip digital.
Bahkan CCTV yang pernah merekam Elharon kini hanya berisi “data corrupt”.
> “Ini bukan cuma lenyap. Ini dihapus.”
---
4. Rey di Cermin
Malam hari, Rey menatap cermin di kamar Arka.
Wajahnya normal.
Tidak ada mata biru. Tidak ada sayap. Tidak ada retakan.
Namun, dalam diam ia tahu:
ada yang masih tinggal.
> “Lo gak ngerasa aneh?”
“Anak kecil di warung tadi manggil gue ‘Tuan.’”
“Mungkin masih trauma.”
“Enggak, Ka. Dia senyum. Kayak dia inget sesuatu yang kita semua lupa.”
---
5. Munculnya "Orang Tanpa Nama"
Tiga hari kemudian, kasus aneh terjadi.
Seseorang ditemukan tewas di sebuah rumah, dengan pesan aneh ditulis di dinding:
> "Dia tidak bernama. Tapi dia masih mendengar."
Korban tidak bisa diidentifikasi. Sidik jarinya tidak ada di database.
Dokumen pribadinya kosong.
Bahkan keluarganya tidak bisa mengingat nama atau asal-usulnya.
Media menyebut fenomena ini: “Orang Tanpa Nama.”
Dan... jumlahnya bertambah.
---
6. Kembali ke Desa Kabut
Rey dan Arka memutuskan kembali ke Desa Kabut—tempat semuanya bermula.
Tapi desa itu... hilang.
Di peta, masih ada.
Secara administratif, masih terdaftar.
Tapi saat mereka datang…
jalan menuju ke sana tidak berujung.
Mobil mereka berputar-putar tanpa akhir.
> “Ini... kayak loop.”
“Elharon mungkin lenyap, tapi ekornya masih nyeret di realitas.”
---
7. Penemuan Kitab Kosong
Saat kembali ke kota, Rey menerima paket tak bertanda.
Isinya: kitab tua yang dulu memanggil entitas.
Tapi kali ini, semua halamannya kosong.
Semua… kecuali satu.
Di halaman terakhir, tertulis dengan darah:
> “Jika engkau tak beri aku nama,
maka dunia akan menyebut dirinya sendiri.”
“Dan yang menyebut diri sendiri…
tak bisa dihentikan.”
---
8. Arka Menghilang
Suatu pagi, Rey bangun dan Arka tak ada.
Di atas meja, ada catatan:
> “Rey, gue pergi ke tempat terakhir lo nyebut nama itu.
Gue yakin ada sisa-sisa dia di sana.”
Rey segera menyusul.
Ia mendapati rumah terbakar itu kini kembali utuh.
Dan di dalamnya...
Arka berdiri menghadap tembok, tubuhnya kaku.
Di belakangnya—bayangan yang sangat dikenali Rey.
Bayangan dirinya sendiri.
---
9. Dialog dengan Bayangan
> “Kau kira bisa menghapusku dengan tidak menyebutku?”
“Aku adalah hasil dari semua rasa takut, bukan dari namaku.”
“Dan saat dunia lupa... maka aku bebas.”
Bayangan itu berubah-ubah bentuk—kadang Rey, kadang Elharon, kadang manusia biasa tanpa mata.
> “Apa kau pikir manusia bisa hidup tanpa ketakutan?
Tanpa sesuatu yang lebih besar untuk dijadikan alasan?”
“Kau membersihkan dunia dari kutukan, Rey.
Tapi juga membersihkannya dari alasan untuk... menjadi hidup.”
---
10. Kesadaran dan Pilihan
Bayangan memberi Rey pilihan:
1. Biarkan dunia tanpa nama, tanpa rasa takut, tanpa iman. Tapi juga tanpa semangat.
2. Panggil kembali satu nama—nama netral, bukan kutukan. Sebuah simbol. Sebuah poros.
Rey menatap Arka, yang perlahan membuka mata dan menangis.
> “Gue... gak bisa hidup di dunia tanpa rasa, Rey.”
Rey mengerti.
Dunia butuh penyeimbang. Bukan kehancuran. Tapi bukan juga kehampaan.
---
11. Sebuah Nama Baru
Rey mengambil pisau dari meja.
Ia melukis simbol baru di tembok.
> Simbol yang bukan berasal dari kutukan.
Tapi dari ingatan.
Dari harapan.
Dari cinta.
Dari rasa takut, tapi juga keberanian.
> "Nama itu... bukan Elharon.
Nama itu… adalah Aku."
Dan ketika Rey menuliskan namanya sendiri, bukan sebagai wadah, bukan sebagai tuhan, tapi sebagai jiwa—
Dunia kembali berdetak.
---
12. Epilog: Dunia Kembali Bernapas
Anak-anak mulai bermimpi lagi—bukan buruk, tapi penuh warna.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan bangga.
Simbol Rey mulai muncul di karya seni, dalam lirik lagu, dalam sajak-sajak malam.
Tapi kini, mereka tidak menyembahnya.
Mereka hanya mengingat.