“Yang dilupakan tak pernah benar-benar hilang.
Mereka menunggu… di tempat yang tidak disebut,
tidak ditulis, dan tidak dikenang.”
---
1. Pintu yang Terbuat dari Suara
Lorong menuju ruang tiga bayangan mulai menghilang di belakang Rey.
Langkahnya berat. Bukan karena lelah fisik, melainkan karena setiap langkah menghapus satu ingatan kecil—seperti helai rambut halus yang dicabut tanpa disadari.
Ia menyadari, jika ia terus maju…
ia akan tiba di tempat yang bahkan dirinya sendiri tidak boleh mengenal.
> “Tempat Dunia Menunggu untuk Dilupakan.”
Sebuah pintu berdiri di hadapannya. Tapi bukan dari kayu, besi, atau batu.
Pintu itu terbuat dari suara-suara—jeritan, bisikan, teriakan tertahan, doa yang tidak pernah dijawab.
Rey menyentuhnya, dan suara-suara itu mendesis masuk ke dalam tubuhnya.
---
2. Dunia yang Tidak Pernah Dikenang
Saat Rey melangkah masuk, ia tidak menemukan dunia kegelapan seperti bayangannya.
Sebaliknya, tempat itu terlalu terang.
Putih. Kosong. Luas. Tanpa bayangan. Tanpa suara. Tanpa arah.
Rey menyadari bahwa tempat ini bukan dibuat untuk manusia.
Ini adalah ruang transisi—tempat di mana segala yang dilupakan tinggal sementara sebelum benar-benar hancur.
Di kejauhan, ia melihat:
Sebuah taman bermain penuh anak-anak tanpa wajah.
Menara jam yang jarumnya bergerak mundur.
Lautan yang tidak berombak—namun memantulkan kejadian masa depan.
Ia pingsan sejenak.
---
3. Perburuan Dimulai: Tiga Bayangan Datang
Saat Rey membuka mata, tempat itu berubah menjadi kota tua yang rusak—arsitektur jaman dahulu, jalanan kosong, suara langkah kaki dari kejauhan.
> Tap. Tap. Tap.
Rey menoleh dan melihat mereka.
Si Pemungut Memori, kini dengan ribuan botol mengambang di sekelilingnya.
Si Pengubah Jalan, berjalan dengan peta yang terbakar sebagian.
Si Penunggu Waktu, berdiri tanpa menyentuh tanah, jam di sekelilingnya semua menunjuk 00:00.
> “Kami memberimu waktu untuk memilih, Rey.”
“Tapi sekarang, waktu itu habis.”
“Hari ini… kau akan dilupakan. Atau dunia akan lenyap bersamamu.”
Perburuan dimulai.
Rey berlari. Tapi jalannya berubah setiap beberapa langkah.
Ia memasuki gang kecil, lalu tiba-tiba sudah berada di ruang kelas.
Ia melompat jendela, dan berada di tengah jalan tol dengan mobil-mobil beku.
> “Lo main sama ruang dan waktu sekarang, Rey,” bisik suara dalam kepalanya.
“Tapi ini bukan arena lo.”
---
4. Penemuan: Lorong Pengingat
Rey hampir menyerah ketika ia mendapati sebuah pintu besi tua.
Di atasnya tertulis:
> “LORONG PENGINGAT – HANYA YANG MAU MENGINGAT YANG BOLEH MASUK”
Tanpa ragu, ia membuka pintu itu.
Di dalamnya, ia kembali ke momen-momen kecil dalam hidupnya:
Saat pertama kali belajar naik sepeda.
Saat menangis karena ayahnya pergi.
Saat tertawa bersama Arka di atap sekolah.
Saat ibunya menyanyikan lagu Nina Bobo dengan suara serak.
Dan di ujung lorong itu… sebuah meja kecil.
Di atasnya: sebuah buku nama. Kosong.
---
5. Tiga Bayangan Menyerang
Lorong bergetar. Cahaya redup. Ketiganya masuk dari tiga sisi berbeda.
Si Pemungut mengulurkan botol kenangan—menghisap kenangan ibunya.
Si Pengubah Jalan mengubah struktur lorong menjadi labirin cermin.
Si Penunggu Waktu memutar ulang tubuh Rey ke kondisi saat ia sekarat melawan Elharon.
> “Cukup, Rey. Dunia akan lebih damai tanpamu.”
“Kau adalah sisa zaman lama.”
“Biarkan kami menuliskan ulang dunia.”
Rey bersimpuh.
Kakinya gemetar. Darah menetes dari hidung.
Matanya hampir kosong.
> Tapi satu suara kecil muncul dari dalam.
Suara Arka.
> “Lo pernah bilang… kalau manusia bisa kalah.
Tapi gak boleh lupa siapa dirinya.”
“Inget, Rey. Lo Rey. Bukan dewa. Bukan hantu. Lo orang yang milih buat gak lari.”
---
6. Pertarungan Realitas
Rey berdiri. Dengan darahnya, ia menulis satu huruf di dalam buku nama:
"R"
Cahaya meledak.
Lorong runtuh. Bayangan menjerit. Cermin pecah.
"E"
Salah satu botol kenangan hancur dan mengembalikan suara ibunya.
"Y"
Waktu terhenti. Tapi bukan beku—melainkan tunduk.
Buku nama itu kini menyala.
> “Gue gak akan biarin lo-lotentukan akhir dunia.
Gue yang pilih.”
“Dan gue pilih buat hidup.
Sebagai… manusia.”
---
7. Dunia Lahir Kembali
Rey membuka matanya. Ia berdiri di tengah Jakarta yang hancur tapi hidup.
Orang-orang menatap langit yang berubah warna—biru kehijauan, seperti aurora.
Anak-anak mulai tertawa lagi.
Kalender dunia menyesuaikan kembali.
Jam berjalan normal.
Tiga bayangan menghilang—bukan dikalahkan, tapi dipulangkan.
Karena mereka tidak dibunuh…
tapi diingat.
---
Arka berlari menghampiri Rey.
> “Lo balik…”
“Dan kali ini, lo yang gak lupa.”
Mereka berpelukan.
Di atas kepala mereka, awan membentuk pola aneh—seperti huruf, seperti simbol.
Tapi tak ada yang bisa membacanya.
Kecuali Rey.
Ia tersenyum.
Karena sekarang, dunia punya nama baru.
Nama yang tidak bisa disebut,
tapi bisa dihidupi.