Bab 19. Bayangan Yang Kembali Tanpa Nama

1. Dunia Tanpa Rey

Sudah tiga bulan berlalu sejak dunia selamat dari kehancuran. Sejak itu, kehidupan tampak kembali seperti biasa. Tapi bagi Arka, ada sesuatu yang terasa janggal… seperti lubang dalam pikirannya, seperti memori yang hilang tapi masih menyisakan rasa.

Di dinding kamarnya, jam dinding berhenti tepat pukul 03:33 setiap malam.

Tidak rusak. Tapi selalu kembali ke waktu itu.

Ia menggantinya dua kali.

Membakarnya sekali.

Tetap saja, jam yang baru akan menunjukkan angka 03:33 pada malam berikutnya.

Dan pada waktu itu juga, bayangan seseorang muncul di cermin—bukan bayangannya sendiri.

---

2. Suara dari Tempat Kosong

Pada malam ke-92, Arka terbangun dengan tenggorokan kering dan tubuh berkeringat. Tapi bukan karena mimpi buruk.

Karena suara.

> "Kau lupa sesuatu."

"Tapi dia tidak melupakanmu."

Arka menatap cermin.

Bayangan itu kini lebih jelas: berdiri diam, tanpa wajah, namun mengenakan jaket yang sangat familiar.

> Jaket Rey.

Dan untuk pertama kalinya, bayangan itu mengangkat tangan—bukan mengancam, tapi menunjuk… ke arah langit-langit.

Di sana, terukir samar dengan abu:

> “JANGAN DITULIS LAGI”

---

3. Kembali ke Titik Awal

Arka memutuskan kembali ke lokasi awal: Desa Kaki Kabut.

Namun kali ini, desa itu… tidak lagi terbungkus kabut.

Sebaliknya, langitnya terlalu biru, terlalu bersih, terlalu kosong—seperti langit di dunia mimpi.

Warga desa kini tak memiliki bayangan.

Mereka hidup, bekerja, tertawa… tanpa refleksi.

Dan yang lebih menyeramkan:

mereka semua memanggil Arka dengan satu nama yang sama—“Dia.”

> “Kau datang lagi, Dia.”

“Kau membawa suara.”

“Kau lupa, tapi suara itu tidak lupa padamu.”

Arka mendekati rumah tua tempat altar Elharon dulu berada.

Namun altar itu kini kosong—digantikan oleh sebuah patung tanpa wajah… dengan tangan mengarah ke bawah tanah.

---

4. Lorong Baru di Bawah Dunia

Arka menggali lokasi tempat patung itu menunjuk.

Ia menemukan pintu besi berkarat. Tak ada gembok. Tak ada kunci. Tapi begitu dibuka, udara dingin seperti mengisap jiwanya keluar.

Lorong itu sempit, berkelok, dan di dinding-dindingnya…

terukir ribuan kata—semuanya dicoret.

Namun satu tulisan belum terhapus:

> “Sebelum dunia bisa menamai ulang dirinya…

Ia harus menghapus kenangan yang memanggilnya.”

Di ujung lorong, Arka menemukan buku kosong.

Halamannya putih, tapi bergetar seperti bernapas.

Dan di sampulnya hanya satu kalimat:

> “Jika kau menulis lagi, kau membuka yang seharusnya tetap tersegel.”

---

5. Bayangan Tanpa Suara

Malam itu, Arka bermimpi berdiri di dunia tanpa suara.

Langitnya hitam.

Tanahnya terbuat dari halaman-halaman kertas kosong.

Di kejauhan, bayangan tanpa wajah mulai berjalan ke arahnya.

Bukan satu. Tapi tiga.

Satu membawa pena raksasa, menggores tanah saat berjalan.

Satu membawa jam rusak, berdetak mundur dengan bunyi retakan.

Satu membawa topeng kosong—seperti wajah yang lupa bentuk aslinya.

Mereka berjalan perlahan. Tidak mengejar, tidak menyerang.

Tapi Arka tahu:

jika mereka sampai menyentuhnya, ia akan menjadi seperti mereka.

---

6. Luka di Tubuh yang Tak Pernah Ada

Pagi harinya, Arka bangun dengan tiga luka di lengan kanannya.

Berbentuk goresan horizontal, seperti bekas tulisan.

Tapi setiap kali ia coba difoto, luka itu tidak terlihat.

Dokter tidak menemukan apa-apa.

Tapi setiap malam, luka itu bertambah satu baris.

Seperti kalimat yang sedang ditulis… perlahan.

Pada hari keempat, lukanya sudah berbunyi seperti ini:

> “Dia yang melupakan, akan ditulis ulang.”

---

7. Dunia Mulai Bicara Kembali

Orang-orang di sekitar Arka mulai mengalami hal aneh:

Seorang wanita tua bicara dalam tidur, menyebut nama Rey berulang-ulang—padahal nama itu sudah tak pernah ada di dunia.

Seorang anak kecil menggambar makhluk tanpa wajah yang sedang menulis di langit.

Toko buku di kota terdekat mulai menerima kiriman buku yang tidak pernah dipesan. Judulnya semua sama:

> “Bayangan yang Tak Dinamai”

Dan halaman pertamanya hanya menuliskan:

> "Mereka akan datang kembali… karena kau mengingat."

8. Penjaga Halaman Kosong

Dalam pencariannya ke gunung sunyi di ujung utara—tempat disebut-sebut sebagai “Tempat yang Tak Pernah Ditulis”—Arka bertemu seorang wanita tua, tinggal sendirian di rumah kayu lapuk.

Ia tidak memiliki nama.

Tidak memiliki suara.

Tapi selalu menatap Arka seperti mengenalnya.

Di tengah malam, wanita itu memberikan Arka sebuah kotak kecil, usang dan dipenuhi debu.

Di dalamnya… satu helai kertas.

> “Tulis namanya di sini,” bisiknya untuk pertama kali.

“Jika kau ingin dia kembali. Tapi ingat…

Setiap huruf akan memanggil dunia yang berbeda.”

Arka menatap kertas itu… tangannya bergetar.

> Apakah dunia siap menanggung Rey lagi?

Apakah dunia ini… cukup kuat untuk mengingat?

---

9. Dunia yang Sudah Memilih Lupa

Arka kembali ke kota. Tapi kini, banyak hal telah berubah.

Patung-patung di taman kota memutar posisi sendiri setiap malam.

Orang-orang lupa jalan pulang mereka sendiri meski sudah puluhan tahun tinggal.

Cermin-cermin tak lagi memantulkan wajah manusia—hanya pemandangan dunia yang gelap dan kabur.

Dan setiap pagi, suara dari pengeras suara kota berbunyi otomatis:

> “Hari ini adalah hari yang tidak pernah terjadi.

Silakan jalani seperti biasa.”

Arka sadar… dunia telah memilih untuk tidak mengingat, demi bertahan.

Dan bila ia menulis ulang Rey, dunia ini bisa runtuh kembali.

---

10. Keputusan

Malam itu, Arka berdiri di tengah lapangan kota yang sunyi.

Di tangannya, kertas pemberian wanita tua itu.

Di benaknya, ratusan kenangan yang samar—tentang suara tawa, kata-kata, dan pertemanan yang tak bisa dijelaskan, tapi tak bisa dilupakan.

Ia menulis.

Dengan darah dari jarinya sendiri.

Perlahan, huruf demi huruf…

R – E – Y

Langit bergetar.

Tanah memunculkan retakan.

Udara jadi berat. Angin berhenti.

Dan dari ujung jalan kosong, sesosok tubuh mulai berjalan ke arahnya.

Pelan, menyeret kaki, mengenakan jaket lusuh, wajah tertutup bayangan…

Arka menahan napas.

> “Rey?” bisiknya.

Sosok itu berhenti beberapa meter di depan Arka.

> “Aku bukan Rey,” jawabnya…

“Aku adalah bayangan dari Rey yang pernah ada.”

---

11. Percakapan Terakhir

Sosok itu—yang kini disebut “Bayangan Rey”—berbicara dengan suara yang bergaung dari banyak dimensi.

> “Saat kau menulis namaku, kau tidak memanggilku…

tapi menciptakan ulang versiku di dunia yang tak ingin mengingat.”

> “Aku tidak bisa tinggal. Tapi aku bisa memperingatkanmu.”

> “Apa yang selama ini kalian pikir sebagai pelupaan…

bukanlah hilangnya kenangan.

Itu adalah pengasingan kesadaran.”_

Bayangan Rey memberi Arka satu peringatan:

> “Dunia ini bukan satu-satunya yang melupakan.

Ada dunia lain yang tidak pernah melupakan._

Dan mereka kini… sedang berjalan ke arahmu.”_

---

12. Langkah dari Dunia yang Menunggu

Beberapa malam kemudian, suara langkah kaki terdengar di bawah tanah kota.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Tak berujung.

Pintu-pintu rumah terbuka sendiri.

Jendela retak oleh embusan udara yang membawa bisikan bahasa tak dikenal.

Dan di langit…

Muncul retakan horizontal panjang.

Bukan cahaya yang keluar dari sana, tapi bayangan yang berputar—seolah sesuatu sedang mengamati dunia… dari sisi balik kenyataan.

Arka memandang semuanya dengan tenang.

Ia tahu, sesuatu yang lebih besar sedang datang.

Bukan Elharon.

Bukan Vhar-Temon.

Tapi…

> “Yang Tak Pernah Bisa Dilupakan.”