Bab 22. Gema Dari Retakan Ke Tiga

Bagian 1: Malam yang Tidak Pernah Sepi

Langit malam di atas kota Asthera tampak seperti lukisan yang retak. Garis-garis samar seperti guratan kaca pecah membentang di antara bintang-bintang, berpendar merah samar yang tidak dapat dijelaskan dengan ilmu astronomi manapun. Retakan itu bukan ilusi—ia adalah kenyataan yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah terhubung dengan Aetheryon.

Arka berdiri di atap menara pengawas, memandangi langit yang seperti hendak runtuh. Di tangannya, ia menggenggam selembar kertas tua yang baru saja muncul dari dalam lemari di kamarnya—lemari itu sebelumnya kosong.

Tulisan di kertas itu bukan milik Arka. Tapi ia mengenal tulisan itu.

> "Retakan ketiga bukan hanya patahan realitas. Ia adalah gema dari keputusan yang ditunda. Kau harus mendengarnya... atau ia akan berteriak."

Tanda tangan di bawahnya adalah milik Rey.

---

Bagian 2: Kota yang Bergetar oleh Suara Tak Kasat Mata

Pagi harinya, kota mulai menunjukkan gejala aneh. Jendela-jendela berembun dari dalam, meskipun cuaca panas. Tanah terasa seperti berdenyut pelan. Di jalan-jalan, orang-orang mengaku mendengar suara gemuruh dari bawah tanah—seperti ribuan bisikan dalam satu waktu.

Leo, yang kini bekerja di Arsip Sentral Kenangan, memperlihatkan kepada Arka sebuah lukisan yang ia gambar dalam keadaan tidur. Lukisan itu menggambarkan sebuah celah di langit yang mengarah ke kota di bawahnya, dan dari celah itu turun benang-benang cahaya yang membentuk sosok-sosok samar.

> “Mereka bukan datang untuk menyerang,” kata Leo. “Mereka datang untuk mengulang.”

Arka tidak mengerti.

---

Bagian 3: Gema Dimensi – Lintasan Emosi yang Mengakar

Devi membawa Arka dan Leo ke pusat penelitian Aetheryon di bawah tanah, di mana getaran dimensi direkam dalam bentuk suara dan warna. Mereka mendengarkan gema dari Retakan Ketiga.

Suara itu seperti jeritan tertahan, tapi berulang, seperti kaset yang diputar mundur. Di tengah-tengah gema itu, mereka mendengar kata yang terus diulang:

> “Kenapa tidak?”

Itu bukan pertanyaan dari seseorang. Itu adalah pertanyaan dari masa lalu, dari keputusan yang tidak diambil. Devi menjelaskan bahwa gema seperti ini hanya muncul ketika dimensi bergetar karena konflik batin massal—jutaan manusia menyimpan penyesalan yang sama, dan menolak untuk menyelesaikannya.

---

Bagian 4: Arka yang Terbelah Dua

Arka mulai mengalami kehilangan waktu. Dalam sekejap, ia mendapati dirinya berdiri di lorong-lorong sekolah lamanya. Tangannya bergetar. Suaranya tercekat.

Ia berjalan, lalu melihat seseorang duduk di bangku.

Dirinya sendiri.

Tapi versi dirinya yang lebih muda, dengan mata penuh rasa bersalah, dan luka yang belum pulih.

> “Kau melupakanku,” kata sosok itu. “Kau ingin dunia ingat, tapi tidak dirimu.”

Retakan ketiga adalah dia.

Arka adalah bagian dari dimensi yang tidak berdamai dengan masa kecilnya.

---

Bagian 5: Penggalian Retakan

Di bawah kota Asthera, tim Devi mulai menggali lokasi-lokasi di mana suara gema terdengar paling kuat. Mereka menemukan ruangan berbentuk spiral, seolah dibentuk oleh cahaya membatu. Di tengah ruangan itu, ada siluet manusia yang terbuat dari abu, berdiri tanpa kepala.

> “Ini sisa-sisa pelupa,” ujar Devi lirih. “Orang yang tidak ingin mengingat, dan akhirnya tidak diingat.”

Saat mereka menyentuh abu itu, ruangan bergema dengan teriakan dari ribuan suara—semuanya berkata hal yang sama:

> “Tolong ingatkan kami.”

---

Bagian 6: Kota Pantulan Muncul

Dari langit, sebuah kota mulai terlihat, tapi tidak nyata. Ia menggantung seperti bayangan yang diproyeksikan oleh dimensi lain. Kota itu menyerupai Asthera—tapi terbalik. Jalanan di langit. Jendela menghadap ke dalam bumi.

> “Itu Pantulhera,” bisik Leo. “Bayangan dari kota yang menolak jujur.”

Mereka menyadari bahwa Pantulhera terbentuk dari semua kebohongan kolektif, ketakutan kolektif, dan luka yang disangkal oleh setiap warga. Dan ketika cahaya dari retakan menyinarinya, Pantulhera mulai mendekat.

---

Bagian 7: Serangan dari Versi Lain

Satu malam, tubuh orang-orang mulai bergerak tanpa kehendak. Seolah sedang bermimpi sambil berdiri. Mereka berjalan ke cermin-cermin, menatap diri mereka sendiri, dan berganti tempat.

Versi gelap mereka keluar. Mata hitam. Kulit tanpa pori. Tawa dingin.

> “Kami adalah pilihan yang tidak kau ambil. Dan kami ingin hidup.”

Seluruh kota kacau. Arka, Devi, dan Leo mencoba membangun zona aman, menutup setiap akses terhadap pantulan dan mencegah pergeseran kesadaran.

---

Bagian 8: Anak-Anak Tak Bernama

Anak-anak mulai menghilang. Bukan diculik. Mereka menghilang dari ingatan. Nama mereka lenyap dari catatan, foto mereka buram. Orang tua menangis tanpa tahu siapa yang mereka tangisi.

Di lorong-lorong bawah tanah, Arka menemukan ukiran aneh:

> “Mereka adalah gema yang gagal dilahirkan. Dan kini mereka pulang.”

Mereka bukan anak-anak biasa. Mereka adalah wujud dari kemungkinan yang tidak pernah menjadi nyata—janin yang tidak sempat hidup, impian masa kecil yang dibunuh terlalu dini, identitas yang dipaksa diam.

---

Bagian 9: Ritus Penerimaan

Satu-satunya cara untuk mengakhiri invasi Pantulhera adalah dengan menerima semua bagian diri yang ditolak. Arka memimpin upacara massal di pusat kota, meminta semua warga menceritakan satu rahasia tergelap mereka di depan cermin.

Tangisan. Jeritan. Tawa getir.

Dan satu demi satu, versi gelap mereka berhenti bergerak. Mereka duduk, menatap dengan tenang, dan kemudian larut seperti debu yang diterpa cahaya pagi.

---

Bagian 10: Rey dan Retakan Ketiga

Di tengah ritual, Arka dipanggil oleh suara Rey. Ia berjalan ke atas bukit tempat dulu mereka mengubur kapsul kenangan. Di sana, berdiri Rey, dalam bentuk yang tidak tua, tidak muda. Waktu tidak menyentuhnya.

> “Kau menolak ingatan tentang aku yang membuatmu merasa bersalah. Tapi aku tidak pernah meminta kau menyesal. Aku hanya ingin kau hidup penuh.”

Mereka berbicara lama. Menangis. Diam bersama.

Lalu Arka menulis nama Rey di udara, dan udara menyerapnya.

---

Bagian 11: Penutupan Retakan

Langit mulai sembuh. Retakan perlahan menghilang. Pantulhera runtuh ke dalam dirinya sendiri. Cermin menjadi benda mati kembali. Tidak ada lagi gema.

Devi mencatat, “Kita tidak menyelamatkan dunia dari musuh. Kita menyelamatkan dunia dari dirinya sendiri.”

Leo melukis langit baru, tanpa retakan, hanya awan putih dan matahari.

Arka duduk di tangga rumahnya, memegang surat dari Rey:

> “Kau telah mengingat. Kini, hiduplah.”