Bab 23. Cermin Terakhir

Bagian 1: Setelah Langit Menutup

Asthera kembali hening. Setelah retakan di langit menghilang dan Pantulhera runtuh, kota seperti berhenti bernapas. Tidak ada lagi gema dimensi, tidak ada bisikan dari cermin, dan tidak ada lagi versi lain yang menyelinap dari balik realitas.

Tapi Arka tahu, sesuatu belum berakhir. Ia merasakannya setiap malam dalam mimpi. Bukan mimpi buruk, melainkan semacam isyarat lembut namun mendesak. Ada satu hal yang belum selesai. Satu kebenaran yang belum dihadapi.

Dan itu ada di balik cermin terakhir—cermin yang bahkan belum pernah ia lihat.

---

Bagian 2: Surat Tanpa Pengirim

Pada pagi ke-13 setelah langit pulih, Arka menerima surat tanpa nama pengirim. Kertasnya usang, seperti berasal dari masa lalu yang jauh.

> “Jika kau masih mencari arti dari semua gema, datanglah ke Lorong Nadir. Di sana, kebenaran tidak bisa bersembunyi.”

Lorong Nadir bukan tempat biasa. Itu adalah ruang yang muncul di catatan lama sebagai area dimensi mati—tempat di mana energi Aetheryon tidak mengalir, dan semua refleksi berhenti. Bahkan Pantulhera tidak menyentuhnya.

Devi melarang Arka untuk pergi, tetapi ia tetap melangkah. Leo memberinya kompas dimensi—alat tua yang sudah retak.

> “Kalau jarumnya berhenti, mundur. Jangan teruskan.”

Tapi Arka tahu, ia tak akan bisa mundur.

---

Bagian 3: Menyusuri Lorong Nadir

Lorong Nadir terletak di bawah tanah kota tua, tepat di bawah bekas rumah sakit jiwa yang telah lama ditinggalkan. Tak ada peta yang menunjukkannya secara jelas, tapi suara-suara samar dalam kepala Arka seakan membimbing langkahnya.

Langkah demi langkah, ia turun melewati anak tangga besi yang berkarat, hingga akhirnya tiba di lorong yang dindingnya dipenuhi ukiran tangan. Setiap tangan mengarah ke depan, seolah menunjuk jalan yang sama.

Udara di dalam begitu pekat hingga setiap tarikan napas terasa seperti menghirup debu kenangan. Kompas Leo mulai bergetar, lalu berhenti.

> “Berarti aku sudah di titiknya…” bisik Arka.

Cahaya dari lentera Aetheryon di tangannya meredup, menyisakan nyala biru lembut. Di ujung lorong, berdiri sebuah cermin berbingkai hitam pekat. Tak ada pantulan. Tak ada bayangan. Hanya kehampaan.

---

Bagian 4: Cermin Tanpa Refleksi

Arka mendekat. Ia bisa merasakan sesuatu dari balik cermin itu menatapnya. Tapi bukan mata musuh. Bukan juga sosok dari Pantulhera. Ini… lebih dalam dari itu. Lebih pribadi.

Ia menyentuh permukaan cermin. Dingin. Kemudian hangat. Kemudian menghilang.

Ia terjatuh ke dalam cermin.

Tapi tidak jatuh ke bawah—jatuh ke dalam dirinya sendiri.

Ia terbangun di kamar lamanya saat kecil. Dindingnya berwarna biru muda. Poster bintang-bintang terpajang di atas tempat tidur. Di sudut ruangan, duduk seorang anak laki-laki.

Anak itu adalah dirinya.

Tapi yang belum mengenal rasa takut. Belum mengenal kehilangan. Belum mengenal dunia.

> “Kenapa kau tinggal pergi?”

Arka tidak bisa menjawab.

> “Aku ingin ikut tumbuh bersamamu. Tapi kau menguburku.”

Air mata Arka menetes tanpa ia sadari.

> “Aku menyesal,” bisiknya.

Dan anak itu tersenyum.

> “Ayo pulang.”

---

Bagian 5: Ruang Tanpa Suara

Mereka berjalan melewati lorong putih kosong, tanpa dinding, tanpa batas. Di sisi-sisinya melayang fragmen ingatan seperti kepingan kaca. Di setiap fragmen, Arka melihat versi dirinya yang terluka, tertawa palsu, berpura-pura kuat, dan terkadang benar-benar ingin menghilang.

> “Ini semua kamu,” kata anak itu.

Arka menahan napas. “Lalu yang mana aku sebenarnya?”

> “Yang masih memilih berjalan meski tahu akan jatuh.”

Sebuah pintu kayu tua muncul di tengah lorong. Tanpa gagang. Tanpa kunci.

Anak itu menatap Arka. “Kalau kau buka pintu ini, semua akan berubah. Tapi itu bukan berarti kau harus melupakan. Justru kau harus mengingat semuanya.”

Arka menempelkan telapak tangan ke permukaan pintu. Jantungnya berdetak cepat. Lalu, ia mendorongnya perlahan.

Di balik pintu, terbentang dataran luas penuh cahaya. Dan di tengahnya… berdiri Rey.

---

Bagian 6: Dalam Diri Rey

Rey berdiri dengan tenang. Angin tak menyentuh rambutnya. Waktu tak menua wajahnya. Ia memandangi Arka seperti seseorang yang sudah lama tahu bahwa pertemuan ini akan terjadi.

> “Akhirnya kau datang,” katanya dengan suara lembut.

Arka menelan ludah. “Aku tidak tahu harus bilang apa.”

> “Tak perlu berkata apa-apa dulu. Duduklah.”

Mereka duduk berdua di atas tanah bercahaya. Tak ada bangku. Tak ada pepohonan. Tapi tempat itu terasa hangat, tenang, dan tak ada ancaman.

> “Kau tahu kenapa aku di sini?” tanya Rey.

Arka menggeleng. “Karena aku menyesal?”

Rey tersenyum. “Karena kau masih mengingat.”

Ia menunjuk ke langit yang bergelombang lembut seperti air.

> “Setiap orang menyimpan seseorang di tempat seperti ini. Tapi sebagian membiarkannya terkubur. Kau… menyimpanku dalam cahaya. Itu yang membuatku tetap ada.”

Air mata Arka mulai jatuh.

> “Aku tidak bisa menyelamatkanmu.”

> “Kau tidak harus. Aku sudah diselamatkan saat kau tetap mengingatku bukan sebagai luka… tapi sebagai bagian dari cerita.”

Rey menggenggam tangan Arka.

> “Cermin terakhir ini bukan untuk menemukan kebenaran. Tapi untuk memaafkan.”

---

Bagian 7: Cahaya yang Tidak Menyilaukan

Rey berdiri dan menggandeng Arka ke tepi dataran. Di sana, mereka melihat lautan langit yang bergelombang. Bintang-bintang bergerak perlahan, membentuk pola-pola yang tidak dikenal Arka.

> “Apa itu?” tanya Arka.

> “Itu adalah ingatan yang belum pernah kau lihat. Momen-momen kecil yang kau pikir tidak penting, tapi membentuk siapa dirimu.”

Arka melihat dirinya kecil memungut daun jatuh dan tertawa. Ia melihat saat dirinya gagal ujian tapi tetap pulang dan memeluk ibunya. Ia melihat Rey tersenyum padanya saat pertama kali mereka berbicara di ruang kelas.

> “Semuanya ada. Bahkan yang paling kecil. Dan setiap momen itu pantas dihargai.”

Rey berbalik, menatap Arka dengan mata jernih.

> “Kau tidak harus menghapus luka untuk bisa melangkah. Kau hanya perlu menerimanya sebagai bagian dari perjalanan.”

Arka tersenyum. “Aku siap.”

Cahaya mulai menyelimuti sekeliling mereka. Tidak menyilaukan. Hanya hangat.

Rey memeluk Arka. “Sampai jumpa di sisi lain.”

Dan ketika Arka membuka matanya…

Ia sudah kembali di Lorong Nadir, di hadapan cermin hitam. Tapi kali ini, cermin itu memantulkan bayangan dirinya.

Bayangan yang utuh.

---

Bagian 8: Jalan Pulang

Arka menghela napas panjang. Kompas Leo di tangannya kembali berdetak pelan, jarumnya bergerak mengikuti arah cahaya samar yang muncul di ujung lorong.

Dengan langkah mantap, ia menyusuri jalan kembali ke permukaan. Setiap langkah terasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul telah larut di ruang antara refleksi dan kenyataan.

Ketika Arka keluar dari reruntuhan rumah sakit tua, langit Asthera memerah jingga. Di kejauhan, menara-menara dimensi mulai bersinar kembali. Energi Aetheryon mengalir pelan, membawa ketenangan yang belum pernah ia rasakan selama ini.

Leo dan Devi menunggunya. Begitu melihat Arka, Devi langsung memeluknya erat.

> “Kau berhasil…” katanya terisak.

Leo hanya tersenyum dan mengangkat jempol. “Jadi, bagaimana rasanya menatap cermin terakhir?”

Arka menatap ke arah cahaya matahari terakhir.

> “Rasanya seperti… pulang.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arka tersenyum bukan karena ingin menyembunyikan luka, tetapi karena ia benar-benar merasa damai.

Cermin terakhir tidak lagi ada. Tapi kenangannya akan tetap hidup.

Karena kini, ia tidak hanya melihat dunia luar.

Ia telah melihat ke dalam dirinya sendiri.