Bab 24. Dunia Tanpa Cermin

Setelah Retakan Reda

Tiga bulan telah berlalu sejak Arka menatap cermin terakhir di Lorong Nadir. Sejak itu, kehidupan di Asthera perlahan bertransformasi. Bangunan-bangunan tua yang dulu bergetar karena retakan dimensi kini di perbaiki dengan teknologi baru berbasis resonansi stabil. Kota tak lagi di selimuti ketegangan, tapi keheningan yang berbeda—bukan kosong, melainkan penuh rasa ingin tahu.

Arka duduk di dalam observatorium tua yang telah diubah menjadi pusat dokumentasi dimensi. Ruangan itu luas, dengan kubah kaca besar yang menghadap langit biru pucat. Di depannya terhampar peta realitas yang terus berubah, setiap garisnya bergerak lambat seperti urat nadi makhluk hidup.

Ia menatap cermin kecil berbentuk heksagon di mejanya. Bukan cermin ajaib, bukan portal dimensi, hanya cermin biasa yang ia temukan saat kembali dari Lorong Nadir. Tapi entah kenapa, benda itu seolah menyimpan keheningan yang dalam. Sebuah pengingat bahwa tak semua pantulan harus menakutkan.

Leo datang sambil membawa dua cangkir kopi hitam.

> “Masih menatap benda itu?”

Arka tersenyum tipis. “Aku tidak bisa membuangnya.”

Leo duduk di kursi seberang. “Aku ngerti. Setiap luka pasti meninggalkan bekas. Tapi bekas itu bisa jadi peta.”

> “Dan peta itu akan membawamu ke mana?”

> “Ke tempat di mana kita belum pernah benar-benar menjadi utuh.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan kopi mereka mendingin.

---

Devi dan Surat Tak Bernama

Devi mengetuk pintu ruangan observatorium. Di tangannya tergenggam surat kuno dengan segel biru kelam. Segel yang sama dengan simbol Pantulhera versi awal.

> “Ini ditemukan di arsip lama. Tidak ada tanggal. Tapi di tulis dengan tinta Aether.”

Arka membuka surat itu. Tulisan di dalamnya bergetar perlahan seperti tinta hidup.

> “Jika kalian membaca ini, maka Pantulhera telah menutup. Tapi dunia tidak. Masih ada satu gema terakhir yang belum terungkap. Sebuah dimensi yang belum memiliki nama. Ia memanggil—dan ia menunggu.”

Leo mengerutkan alis. “Siapa yang menulis ini?”

Devi menjawab pelan. “Namanya terhapus. Tapi di bagian bawah ada satu kata yang belum pudar.”

Arka menatapnya. “Apa?”

> “Nadarien.”

Seketika ruangan menjadi sunyi. Kata itu terasa seperti sesuatu yang pernah mereka dengar dalam mimpi, tapi tidak pernah mereka ucapkan.

---

Pantulan yang Tidak Terdefinisi

Malam itu, Arka bermimpi lagi.

Ia berdiri di tengah danau tenang. Airnya bening, tapi tidak memantulkan dirinya. Sebaliknya, ia memantulkan bayangan orang lain—Rey, Devi, Leo, bahkan musuh-musuh lama seperti Danton dari Dimensi Rengkuh.

Setiap wajah yang muncul mengucapkan hal yang sama:

> “Nadarien bukan tempat. Ia adalah pantulan dari yang belum selesai.”

Ketika Arka terbangun, tubuhnya berkeringat dingin. Tapi ia tahu satu hal pasti: dia harus pergi.

---

Persiapan ke Tak Terpetakan

Perjalanan menuju titik yang di duga sebagai gerbang menuju Nadarien tidak mudah. Mereka harus menggunakan generator lama yang hanya bisa di aktifkan dengan bahan bakar Aetheryon murni, sesuatu yang kini sangat langka.

Devi menciptakan prototype baru dari pelindung dimensi, kali ini berbentuk jubah tipis yang bisa menyesuaikan suhu dan tekanan ruang yang tidak stabil.

Leo membangun ulang alat pembaca gema yang bisa menangkap getaran dari dimensi yang tidak tersentuh Pantulhera.

Dan Arka... menulis surat wasiat. Bukan karena ia berniat mati, tapi karena ia tidak ingin ada lagi rahasia yang tertinggal.

> “Kalau aku tidak kembali, ini bukan akhir. Ini hanya bab baru yang kutulis di tempat lain.”

---

Gerbang Aetheryon

Gerbang menuju Nadarien di temukan di tempat tak terduga—di bawah ruang meditasi Rey yang dulu. Sebuah simbol tua terbentuk di lantai: lingkaran bergelombang dengan titik hitam di tengahnya. Ketika Arka meletakkan tangannya di atas simbol itu, ruangan mulai bergetar.

Energi Aetheryon mengalir dari seluruh kota, mengumpul ke titik itu. Cahaya biru tua menyelimuti mereka, dan ruang di sekitar mulai terbelah seperti kaca pecah.

> “Kita hanya punya satu kesempatan,” kata Devi.

> “Kalau gagal, kita bisa terperangkap.”

> “Kalau berhasil, kita mungkin tidak pernah bisa kembali.”

Arka menarik napas dalam. “Kalau begitu... mari kita pergi.”

Dan mereka melangkah masuk.

---

Nadarien

Yang pertama mereka lihat bukan cahaya. Tapi gelap.

Namun, bukan gelap yang kosong. Gelap itu... hidup.

Bayangan-bayangan berbicara. Bukan dalam bahasa, tapi dalam ingatan. Setiap langkah membawa mereka melewati perasaan. Di satu sudut, Arka melihat ulang saat Rey meninggal. Di sisi lain, Leo melihat dirinya saat menyerah pada Pantulhera.

> “Tempat ini bukan hanya dimensi,” gumam Devi. “Ini adalah kesadaran.”

Nadarien bukan tempat fisik. Ia adalah perwujudan dari gema yang ditinggalkan. Dan setiap orang yang masuk ke dalamnya, harus menanggung pantulan terdalammya sendiri.

Arka harus menghadapi satu hal yang paling ia takuti: dirinya yang menyerah.

---

Konfrontasi dan Penerimaan

Di pusat Nadarien, berdiri sebuah menara terbalik yang melayang. Di dalamnya, Arka bertemu dengan sosok dirinya sendiri. Tapi ini bukan pantulan, bukan versi masa lalu. Ini adalah dia yang pernah ingin menghilang.

> “Kenapa kau kembali?”

> “Karena aku tidak bisa meninggalkanmu.”

> “Kau membenciku.”

> “Tidak. Aku takut padamu. Tapi kini aku siap mengenalmu.”

Percakapan itu bukan debat. Ia seperti pelukan jiwa. Dan ketika keduanya menyatu, Arka merasakan dirinya utuh—untuk pertama kali dalam hidup.

---

Kembali atau Tidak Pernah Pergi

Di ujung perjalanan, Devi dan Leo menemukan titik stabil dalam Nadarien yang bisa di gunakan sebagai portal keluar. Tapi ada syaratnya: hanya mereka yang telah berdamai bisa keluar.

Arka memejamkan mata. Ia merasa damai. Tapi ia tahu, tugasnya belum selesai. Nadarien belum selesai.

> “Kalian pulanglah dulu,” katanya.

Devi menolak. “Kita datang bersama.”

Leo menyentuh bahunya. “Tapi kadang, petualangan terbesar adalah yang harus di jalani sendirian.”

Dengan berat hati, mereka meninggalkan Arka di Nadarien. Dan untuk pertama kalinya, Arka tidak merasa ditinggalkan.

Ia merasa... lengkap.

---

Pantulan Terakhir yang Belum Bernama

Asthera kini hidup dalam damai. Devi dan Leo membangun Pusat Refleksi Baru—tempat siapa pun bisa datang untuk memulihkan diri dari trauma dimensi.

Tiap malam, Devi menatap langit dan bertanya-tanya di mana Arka.

Suatu malam, ia mendengar suaranya di dalam mimpinya:

> “Aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku hanya menyatu dengan gema yang lain.”

---

Dunia tanpa cermin bukan berarti dunia tanpa pantulan.

Tapi dunia yang tak lagi takut untuk melihat.