Cahaya dari Dalam Kegelapan
Sudah enam bulan sejak Arka tidak kembali dari Nadarien. Namun, gaung kehadirannya tak pernah benar-benar menghilang. Devi dan Leo tetap menjalankan Pusat Refleksi Baru dengan dedikasi yang tak tergoyahkan. Setiap harinya, pengunjung dari seluruh penjuru dimensi datang membawa luka, harapan, dan pertanyaan.
Tapi malam itu berbeda.
Di langit Asthera, sebuah garis cahaya muncul—bukan seperti retakan dulu, melainkan pancaran halus yang menjalar seperti akar bercahaya. Garis itu berdenyut perlahan, membentuk simbol yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Dan hanya satu orang yang bisa memahaminya.
Devi memandang ke langit dari balkon menara observasi, lalu berlari turun.
> “Leo, cepat! Aku rasa… ini pesan dari Arka.”
Leo segera menyalakan scanner pantulan. Data masuk dengan cepat, membentuk pola gelombang yang terputus-putus namun memiliki ritme seperti detak jantung.
Setelah beberapa detik, kata-kata itu muncul:
> “Nadarien bukan lagi tempat. Ia sudah hidup. Dan ia memanggil kalian.”
---
Menara Cermin Kedua
Menara Cermin adalah tempat suci di masa lalu, digunakan oleh para penjelajah dimensi untuk membaca arah gema. Tapi kini, bagian tertua dari menara itu—Menara Kedua—sudah lama ditutup karena dianggap terlalu berbahaya.
Namun Leo dan Devi tak punya pilihan.
Mereka menyusup masuk, melewati koridor berlapis pantulan yang tak stabil, hingga tiba di inti menara. Di sana, sebuah alat kuno bernama Spektra Nadi masih berdiri tegak, tertutup debu dan jaring.
Dengan hati-hati, Leo menyalakannya. Alat itu berdengung lirih, lalu mengeluarkan pancaran cahaya ke langit-langit menara. Sebuah pintu dimensi terbuka—tapi bukan seperti sebelumnya. Pintu ini bukan hanya celah antar realitas. Ini adalah tubuh kesadaran.
Dan di dalamnya… terdengar suara Arka.
> “Kalian harus masuk. Tapi jangan membawa tubuh kalian.”
> “Bagaimana mungkin?” bisik Devi.
> “Gunakan gema kalian. Pantulan terdalam kalian. Nadarien sekarang bisa menerima.”
---
Gema Jiwa
Devi dan Leo harus melepas semua perangkat fisik. Jubah dimensi, pelindung aura, bahkan identitas mereka. Sebelum masuk ke portal itu, mereka berdua menatap satu sama lain.
> “Apa pun yang kita temui di dalam, jangan lupakan siapa kita,” kata Leo.
> “Atau mungkin… justru kita akan menemui siapa kita sebenarnya.”
Mereka melangkah ke dalam cahaya.
Seketika tubuh mereka lenyap.
Dan hanya kesadaran yang melayang.
---
Nadarien yang Baru
Nadarien telah berubah. Dulu gelap, kini benderang dengan bentuk yang tidak bisa dijelaskan. Waktu mengalir mundur dan maju sekaligus. Dimensi tidak lagi datar atau berlapis—semuanya bergerak dalam tarian tak henti.
Devi melihat dirinya saat masih kecil, menatap dirinya yang dewasa.
Leo melihat ayahnya yang meninggal, berbicara dengan dirinya yang belum pernah ada.
Dan di tengah semua itu, berdiri Arka—tapi bukan dalam bentuk manusia. Ia adalah cahaya, sekaligus gema. Ia adalah tempat itu.
> “Kalian datang.”
> “Apa yang terjadi padamu, Arka?”
> “Aku tidak menjadi bagian dari Nadarien. Aku menyatu. Aku adalah pantulan yang diterima.”
Mereka berdua terdiam.
> “Dan sekarang, aku butuh kalian untuk membantuku menjaga tempat ini.”
---
Bayangan yang Tidak Mau Pergi
Namun Nadarien tidak sepenuhnya damai. Di sudut-sudutnya, ada suara yang tak bisa dijelaskan. Gema dari realitas yang tak pernah selesai. Bayangan orang-orang yang tidak pernah menerima.
Mereka di sebut Eho.
Mereka bukan hantu, tapi lebih seperti kenangan yang menolak padam. Mereka marah, tersesat, dan membahayakan seluruh dimensi jika tak diredam.
Arka menunjuk ke satu wilayah Nadarien yang mulai membusuk.
> “Jika kita tak bertindak, Eho akan bocor ke realitas lain.”
> “Dan itu bisa memicu retakan baru,” tambah Devi.
Leo mengangguk. “Kita harus masuk ke dalam ingatan mereka. Membantu mereka menemukan akhir.”
Dan misi mereka dimulai.
---
Eho Pertama – Gadis Tanpa Suara
Eho pertama adalah seorang gadis kecil yang terjebak dalam gema saat ayahnya meninggal dalam kecelakaan. Dalam pikirannya, ia terus mengulang hari itu.
Devi masuk ke ingatannya dan menyamar menjadi sahabatnya. Dalam waktu tiga siklus, Devi berhasil membimbingnya keluar dari ruang ingatan yang memenjarakan.
Saat gadis itu tersenyum dan memeluk Devi, seluruh bagian Nadarien tempatnya tinggal berubah menjadi taman penuh cahaya.
> “Satu Eho telah pulih,” kata Arka. “Masih ada ratusan.”
Dan mereka terus bergerak.
---
Eho Kedua – Prajurit Tak Bernama
Eho kedua adalah prajurit dari perang antar dimensi yang tak pernah dicatat sejarah. Ia terus mencari musuh yang sudah lama tiada.
Leo masuk dan membawanya ke tempat damai. Mereka bertarung dalam ingatan, tapi pada akhirnya, Leo menyerahkan pedangnya dan menunduk.
Prajurit itu meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya, ia melihat langit biru.
Dan menghilang.
---
Bagian 8: Eho Ketiga – Arka Sendiri
Di tengah misi, Devi menemukan Eho yang sangat kuat—berasal dari Arka sendiri. Bagian dirinya yang tidak ingin melepaskan Rey. Yang masih menyimpan dendam, dan rasa bersalah.
Arka gemetar. “Aku pikir aku sudah pulih.”
Devi menggenggam tangannya. “Penerimaan bukan garis lurus, Ark. Ia spiral. Kita kembali ke luka yang sama, tapi dengan kekuatan berbeda.”
Bersama-sama, mereka masuk ke dalam Eho itu.
Dan Arka memeluk bayangannya yang menangis.
> “Kau boleh sedih. Kau boleh marah. Tapi kau tidak harus terus bertahan di sini.”
Bayangan itu tersenyum. Dan perlahan memudar, membawa kedamaian yang belum pernah ada sebelumnya.
---
Nadarien Baru
Nadarien berkembang. Sekarang ia bukan hanya tempat refleksi, tetapi juga tempat kelahiran kembali.
Orang-orang dari dimensi lain mulai berdatangan—bukan untuk pelarian, tapi untuk belajar. Nadarien menjadi cermin kolektif kesadaran antar dimensi.
Arka, Devi, dan Leo membentuk Tiga Pilar Penjaga Gema. Mereka bertugas menjaga stabilitas dan menuntun jiwa-jiwa yang terluka menuju penyembuhan.
---
Akhir yang Baru
Asthera menerima berita bahwa Nadarien bukan hanya tempat spiritual, tetapi juga sumber energi baru yang lebih stabil dari Aetheryon. Pemerintahan dimensi mulai membuka jalur resmi ke sana.
Namun Arka tahu:
> “Semakin banyak yang masuk, semakin banyak tanggung jawab.”
Dan tugas mereka belum berakhir.
Namun kini, mereka tak lagi sendiri. Dunia telah belajar untuk tidak takut melihat ke dalam.
Karena dalam gema yang tak pernah padam, selalu ada harapan yang menunggu ditemukan.