Bug! Bug!
Dua tepukan lumayan keras mendarat di kedua pundak Arjuna.
Arjuna yang merasa terganggu, segera melirik ke arah kiri dan kanan untuk memastikan. Andri dan Putra, mereka yang menepuk pundak Arjuna saat baru saja sampai tongkrongan.
“Juna, my bro” ucap Putra yang kini sudah duduk di bangku panjang yang sama dengan yang diduduki oleh Arjuna dan Kamal. Putra duduk di tengah-tengah Kamal dan Arjuna, memisahkan kedua temannya yang sebelumnya duduk berdekatan, dengan cara menggeser Arjuna.
“Berduaan aja nih, bos?” Tanya Andri yang sudah duduk di samping kanan Arjuna.
Keempat sahabat itu duduk berdempetan karena bangku panjang yang mereka duduki seharusnya hanya bisa diduduki oleh tiga orang di antara mereka.
Biasanya Andri akan duduk di bangku panjang yang berada di seberang bangku panjang yang kini sedang mereka duduki, tapi belakangan ini Andri terus duduk di bangku yang sama dengan mereka karena paksaan Putra yang pernah berkata ‘kita nongkrong berempat, masa yang satu ldr-an?’. Karena Kamal dan Arjuna juga setuju dengan perkataan Putra, membuat Andri mau duduk berempat dengan ketiga temannya.
Untungnya, tubuh Kamal tidak seperti tubuh Andri, Putra, dan Arjuna. Tubuhnya yang kecil membuat mereka berempat dapat duduk bersama di kursi panjang yang disediakan oleh warung tersebut, walau masih harus berdesakan sedikit.
“Iya nih, tadinya lagi asik pacaran, tapi lu berdua malah ganggu” jawab Kamal yang mencoba untuk membuat Putra kesal dan sedikit menggeser tubuhnya, karena ia merasa terjepit.
“Cabut kok gak ngajak” ujar Putra “gak setia kawan” lanjutnya.
“Gak penting ngajak lu berdua” jawab Kamal santai “Gak modal soalnya” lanjutnya dengan penuh penekanan dalam setiap katanya.
“Bukan modalnya, bos, yang penting” balas Putra “tapi solidaritasnya”
“Put, geseran dikitlah, dikit banget ini gua dapetnya” protes Kamal pada akhirnya, karena Putra yang tidak kunjung peka dengan kode yang diberikannya. Bukannya menggeser ke arah yang berlawanan, Putra justru menggeser ke arah Kamal agar semakin terjepit dengan badan besarnya.
Seperti biasa, Arjuna dan ketiga temannya sedang berada di tongkrongan untuk bolos sekolah.
Tadinya, Arjuna dan Kamal sudah masuk kelas pada jam pelajaran pertama, karena merasa bosan dengan pelajaran kimia yang kini masih berlangsung di kelas X IPA 5. Arjuna dan Kamal memutuskan untuk bolos dari pelajaran tersebut dan menghabiskan waktu belajar mereka di tongkrongan.
“Udah mah gak modal, dateng-dateng ngerusuh, sekarang ngegusur gua segala lagi” protes Kamal pada perlakuan Putra.
“Jangan sok tahu lu, Mal, gua ke sini buat nanyain hal penting ke si Juna” ucap Putra sambil menggeser duduknya untuk memberikan lebih banyak tempat pada Kamal.
“Hm?” Arjuna berdeham sambil menoleh ke arah Putra untuk menanyakan perihal apa yang ingin Putra tanyakan.
“Seseorang bergerak dari titik A ke titik B yang berjarak 4 km, lalu dia kembali bergerak dari titik B ke titik C yang berjarak 3km. Jika digambarkan, dari titik A ke titik B adalah garis vertikal dan dari titik B ke titik C adalah garis horizontal. Maka, berapakah jarak yang memisahkan kita?” Putra membacakan soal yang berasal dari buku tulis miliknya dengan sedikit mengimprovisasi bagian akhir dari pertanyaannya.
Bug!
Kamal memukul paha Putra.
“Jarak antara titik A ke titik C, bego” ujar Kamal yang ikut membaca buku soal milik Putra “gampang itu mah” lanjutnya.
“Gimana, Mal, caranya?” Tanya Andri yang sudah tahu kalau Kamal hanya ingin bercanda.
“Ya, gitu” jawab Kamal santai.
“Ya, gitu gimana?” Tanya Andri mulai kesal.
“Ya, pokoknya gitu aja” jawab Kamal lagi.
“Mending lu diem dah, Mal” kesal Andri “gak guna” tambahnya.
“Kalau buat jarak tinggal ditambah aja dari jarak A ke B sama jarak B ke C. Kalau buat perpindahannya, karena dia bergerak secara vertikal dari A ke B, terus bergerak secara horizontal dari B ke C, berarti kalau digambarin itu kayak segitiga siku-siku, perpindahannya itu dari A ke C. Lu tinggal pake rumus pitagoras aja buat nentuin perpindahannya ini” jawab Arjuna berpanjang lebar sambil menuliskan beberapa poin penting untuk menerangkan.
l“Rumus pitagoras tuh yang gimana? Gua lupa” tanya Putra.
“〖AC〗^2=〖AB〗^2+〖BC〗^2” jawab Kamal.
“Sok tahu lu, Mal” Andri berkomentar.
“Beneran ini mah” ujar Kamal “ya kan, Jun?” Tanya Kamal untuk memastikan.
“Hm” Arjuna hanya berdeham untuk menyetujui jawaban Kamal.
“Tumben bener, Mal?” Tanya Andri.
“Gini-gini gua juga juara paralel” ujar Kamal dengan bangga sambil merapikan rambutnya dengan tangan.
“Ampun, suhu” ujar Andri sambil menyatukan tangannya dan menundukkan sedikit badannya ke arah Kamal.
“Oh, berarti nanti pas kuadrat AC dihilangin, hasil dari AB²+BC² langsung diakarin?” Tanya Putra untuk memastikan.
“Yoi” jawab Kamal santai. Dengam ini, Putra langsung mencoba untuk mengerjakan soal yang ia tanyakan barusan.
“Bener gak, Jun?” Tanya Putra sambil memberikan buku catatan yang telah ia kerjakan pada Arjuna.
“Hm” Arjuna hanya berdeham untuk membenarkan hasil kerjaan Putra setelah membaca buku catatannya.
“Ternyata gua pinter juga, ya” ujar Putra bangga.
“Put, kemarin gua lihat ada orang yang pelukan di depan kelas lu” ujar Andri tiba-tiba.
“Nah, itu pertanyaan kedua gua” timpal Putra “lu kenapa meluk Sani kemarin, Jun?” Lanjutnya bertanya.
“Hah!?” Kamal yang tidak tahu apa-apa erkejut dengan apa yang dikatakan oleh Putra “Seriusan?”
“Iya” Andri menjawab pertanyaan Kamal “gua tadinya mau masuk kelas, tapi gara-gara lihat adegan drama korea secara langsung, gua langsung diem aja di depan kelas buat nonton dulu” lanjutnya.
“Apa lagi gua, Ndri. Gua yang ada di dalam kelas dan lihat langsung kejadiannya kaget banget, anjir” Putra menimpali “padahal Bu Enden di dalam kelas gua, Juna juga udah masuk kelas gua buat izin ketemu Sani. Tapi dengan nekatnya, dia malah meluk Sani di depan kelas, dlihatin bu Enden pula”
“Wah, nyesel gua gak ikut masuk ke kelasnya Putra kemarin” ujar Kamal yang menolak ajakan Putra untuk ikut belajar di kelas X IPA 3 kemarin.
“Lu beneran suka sama Sani, Jun?” Tanya Putra yang hanya dibalas dengan gelengan oleh Arjuna.
“Terus, lu ngapain meluk dia?” Tanya Andri penasaran “di depan kelas pula”
“Gua cuma mau buat dia diem” jawab Arjuna santai.
“Gimana maksudnya? Kalau ngomong tuh jangan setengah-setengah” Kamal berkomentar dengan emosi.
“Pertama, gua gak suka sama dia. Kedua, gua gak suka sama dia. Ketiga, gua gak suka sama dia. Keempat, gua cuma mau buat dia diem, karena belakangan ini dia selalu ganggu gua, risih gua” Arjuna kembali menjawab pertanyaan ketiga temannya dengan santai.
“Terus, kenapa harus lu peluk?” Tanya Putra semakin penasaran.
“Dibilang, gua gak meluk dia” jawab Arjuna dengan penuh penekanan di tiap nada yang ia ucapkan. Walaupun begitu, tidak ada orang yang percaya pada Arjuna, Andri dan Putra lebih memilih untuk percaya pada penglihatan mereka terhadap ilusi optik yang Arjuna lakukan pada Sani, sedangkan Kamal lebih memilih untuk percaya pada ucapan Andri dan Putra.
“Jadi, lu suka gak sama Sani?” Tanya Andri.
“Gak” jawab Arjuna singkat.
“Gini deh, kenapa lu ngelakuin hal itu?” Tanya Kamal.
“Biar dia kena mental” jawab Arjuna santai.
“Wah, gila, psikopat” kata Putra setelah mendengar jawaban Arjuna “psycho Juna is back”
“Harus banget kayak gitu caranya?” Andri kembali bertanya, Arjuna hanya mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyaannya.
“Udahlah, gua mau masuk kelas aja” ucap Kamal tiba-tiba “emosi gua denger semua jawaban Juna” lanjutnya sambil bangkit dari tempat duduknya, kemudian beranjak pergi meninggalkan ketiga temannya semua.
Keheningan tercipta setelah kepergian Kamal.
Putra hanya memainkan ponselnya dan Andri terlihat seperti sedang memikirkan beberapa hal.
“Mumpung gak ada Kamal, gaskeunlah” Putra memecahkan kehingan yang tercipta selama beberapa saat, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Gas” Arjuna dan Andri menjawab secara bersamaan.
Arjuna memutuskan untuk kembali ke kelas saat jam pelajaran keempat berlangsung.
Kini Arjuna sudah berada di kelas untuk kembali mengikuti kegiatan belajar. Setelah beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh guru yang sedang mengajar, akhirnya Arjuna diizinkan untuk masuk.
Setelah puluhan menit berada di kelas, waktu istirahat pun tiba. Arjuna yang sudah puas istirahat sebelum waktunya tiba, lebih memilih untuk tinggal di kelas.
Bruk!
Baru saja Arjuna membaca beberapa bait buku, suara mengganggu datang dari mejanya. Saat Arjuna melihat ke arah suara mengganggu itu berasal, Arjuna melihat Sani dan beberapa buku miliknya yang sudah ada di atas meja Arjuna.
Sani kembali datang ke kelas Arjuna. Bagi Arjuna, hanya ada satu kemungkinan jika dia datang ke kelasnya. Mengganggu Arjuna.
‘Kalau dia masih ke sini lagi sekarang, berarti pelajaran yang gua kasih kemaren masih belum cukup buat bikin dia nyerah gangguin gua. Ternyata nih cewek bener-bener ngerepotin dah’ batin Arjuna.
“Juna, ayo belajar!” Ucap Sani penuh semangat saat Arjuna mencoba untuk tidak menghiraukannya.
Sani langsung duduk di kursi kosong yang ada di samping kursi Arjuna.
“Kalau lu mau belajar bareng sama gua, lu harus izin dulu sama pacar gua” kata Arjuna yang mencoba untuk mengusir Sani dari kelas ini.
“Pacar? Kamu punya pacar? Kamu kira aku gak tahu kalau kamu itu jomblo?” Oceh Sani dengan penuh penekanan saat mengakatakan kata ‘jomblo’.
“Karena gua gak punya pacar, berarti lu gak harus izin dan gak bisa belajar bareng gua” ujar Arjuna malas “jadi, silakan pergi”
“Pacarnya Juna, aku izin buat belajar bareng Juna, ya, boleh, gak?” Sani mengoceh sendiri “oh, iya, gpp, belajar aja sana sama Juna sampe dia gak males lagi” lanjutnya menjawab ocehannya sendiri.
‘Dia ngomong sendiri? Nih cewek waras gak si sebenernya? Bener-bener orang aneh.’ Monolog Arjuna dalam hatinya.
“Jun, aku udah minta izin tuh sama pacar gaib kamu” ucap Sani dengan penuh penekanan saat mengatakan ‘gaib’ “ayo belajar bareng!”
‘Kalau emang itu yang dia mau, gua bakal ikutin permainannya’ batin Arjuna.
“Jun, aku dengar kamu suka fisika, ya?” Tanya Sani pada Arjuna yang hanya dijawab dengan anggukan “ajarin aku dong, aku agak kesusahan kalau belajar fisika sendiri”
“Yang mana, hm?” Tanya Arjuna pada Sani.
Arjuna benar-benar menepati apa yang terlintas di dalam pikirannya, dia benar-benar mengikuti alur permainan yang Sani inginkan dengan bersikap normal terhadap Sani.
“Yang ini, ini, sama ini!” Sani menunjuk tiga soal yang ia rasa tidak paham dari buku catatan fisikanya.
“Banyak banget yang lu gak paham” komentar Arjuna “kok bisa sih jadi juara umum sekolah?” Lanjutnya bertanya.
“Waktu semester satu tuh masih gampang pelajaran fisikanya, jadi aku paham” Sani menjelaskan sambil mengetuk-ngentukkan jari telunjuknya ke meja “kalau yang sekarang udah lebih susah, jadinya aku agak susah buat ngertinya” tambahnya.
‘Dia kalau nanya sama jawab emang selalu berlebihan kayak gini, ya? Bener-bener banyak bacot dah nih cewek’ Arjuna kembali bermonolog dalam hatinya.
“Lu suka fisika, hm?” Tanya Arjuna sambil menatap wajah Sani.
“Dulu, pas SMP, aku suka banget fisika, karena pelajarannya masih mudah banget. Tapi makin ke sini makin susah, walaupun aku masih suka, tapi makin sulit buat ngerti” jawab Sani “kenapa deh pake nanya aku suka fisika atau nggak?”
“Kalau lu gak suka fisika, gua gak mau bantu lu belajar fisika” jawab Arjuna santai.
“Kan aku suka fisika, berarti kamu mau dong ngajarin aku?” Tanya Sani dengan mata yang terbuka sangat lebar penuh harap.
“Hm” Arjuna hanya berdeham untuk menyutujui perkataan Sani.
“Yeay” ujar Sani sambil mengangkat kedua tangannya “Asyiiik! Aku bakal diajarin fisika sama maknae sekolah”
“Maknae?” Arjuna menyebut ulang kata yang tidak dia mengerti untuk menanyakan maksudnya.
“Iya, kamu kan yang paling muda di sekolah” jawab Sani “ya udah, silakan dimulai pelajarannya, pak guru maknae sekolah”
“Lu tahu dari mana kalau gua yang paling muda di sekolah?” Tanya Arjuna hanya untuk sekadar berbasa-basi.
“Siapa sih yang gak tahu kalau sebenarnya anak yang paling nakal di sekolah itu ternyata anak yang paling muda di angkatannya?” Sani balik bertanya untuk menjawab pertanyaan Arjuna “dia paling muda di angkatannya, karena umurnya setahun di bawah anak-anak angkatannya”
“Materi ini, lu udah paham tentang konsep dasarnya, kan?” Arjuna bertanya untuk memastikan dan mengganti topik pembicaraan.
“Udah dooong. Aku kan pintar dan cantik” jawab Sani sambil menempelkan ibu jari dan jari telunjuknya di bawah dagunya saat mengatakan kata ‘cantik’.
“Pede banget lu, cewek aneh” kata Arjuna malas.
“Emangnya kenapa gitu kalau aku gak ngerti?” Sani tidak mempedulikan cibiran Arjuna, dia lebih memilih untuk bertanya “kamu gak mau ngajarin aku kalau aku gak paham sama konsep dasarnya? Yeay, untung aku udah ngerti, jadi kamu pasti mau ngajarin aku ya kan”
Tak mau lelah karena ekspresi Sani yang terlalu berlebihan, Arjuna lebih memilih untuk langsung menerangkan materi yang Sani tanyakan. Sani benar-benar orang yang sangat ekspresif dan banyak bicara, dia akan benar-benar senang jika mengerti, dan akan mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri jika belum paham.
Arjuna benar-benar lelah melihat Sani yang selalu bertingkah berlebihan. Tapi, ntah mengapa, dia merasa terhibur saat Sani merasa tidak paham dengan apa yang ia ajarkan. Karena, saat tidak paham, Sani akan memasang raut wajah cemberut, dan itu membuatnya terlihat sangat lucu di mata Arjuna.
Di sisi lain, Arjuna cukup hebat dalam mengajar, dia bisa menyesuaikan cara apa yang harus digunakan untuk mengajarkan seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman dan menyesuaikan bahasa yang harus digunakan, sehingga mudah untuk dipahami. Tak butuh waktu lama, Sani sudah benar-benar paham semua yang Arjuna ajarkan.
“Udah kan, ya?” Tanya Arjuna seyelah selesai mengajarkan semua materi Sani tanyakan” “udah, sana pergi” lanjutnya kembali menoba untuk mengusir Sani.
“Lagi dong, masih mau belajar ih” ujar Sani kecewa “ganti pelajaran, yuk” pintanya.
“Bentar deh, kamu kan suka fisika, kenapa gak ikut olimpiade fisika? Kan waktu semester 1 ada seleksi buat masuk olimpiade fisika, kalau kamu ikut pasti kamu lolos seleksi, deh” ujar Sani berpanjang lebar “kayaknya kamu juga bisa dapet juara deh” lanjutnya sambil mengetuk-ngetuk pelan dagunya dengan pulpen yang sedang dipegangnya dan bola mata yang mengarah ke arah kiri atas, juga bibir bawah yang dimajukan seperti saat dia sedang berpikir.
“Gua ikut seleksi, tapi gak lolos” jawab Arjuna.
“Kok bisa?” Tanya Sani heran “kamu kan pinter banget fisika, kok bisa gak lolos sih?” Lanjutnya bertanya karena penasaran..
“Lu sendiri kenapa gak ikut olimpiade?” Alih-alih menjawab pertanyaan Sani, Arjuna justru membalikkan pertanyaan “kan lu pinter kimia, juara umum sekolah juga” tambahnya.
“Aku tuh ikut seleksi olimpiade kimia, tapi gak tahu kenapa pas tes seleksinya aku malah dapet lembar soal fisika pas seleksinya, dan pas aku lihat, fisikanya tuh udah agak susah, jadi aku gak lolos deh” Sani menjawab pertanyaan Arjuna dengan jujur.
“Gua juga” balas Arjuna “ikut seleksi olimpiade fisika malah dapet lembar soal kimia” lanjutnya.
“Iya ih, aneh banget, aku udah bilang kalau aku tuh bukan ambil seleksi fisika, tapi sayangnya pihak sekolah bilang kalau lembar soalnya tuh dicetak ngepas banget sama tiap pelajaran yang diambil siswa” Sani kembali berpanjang lebar.
“Bentar deh!” Ujar Sani dengan nada yang sedikit tinggi “kamu dapet soal kimia? Berarti lembar soal kita ketukar dong?” Lanjutnya bertanya untuk memastikan.
“Mungkin” jawab Arjuna “lu baru sadar?” Lanjutnya bertanya, heran karena otak Sani sangat lemot.
“Iya ih, baru sadar” jawab Sani jujur “astaga. Lemot banget sih aku?” lanjutnya sambil memukul-mukul pelan kepalanya.
Tring! Tring! Tring!
Bel sekolah yang menandakan siswa harus kembali masuk ke kelas sudah berbunyi, itu artinya jam istirahat sudah selesai.
“Akhirnya” Arjuna bersyukur. Sani cemberut, paham jika Arjuna bersyukur karena bel masuk yang berbunyi juga merupakan tanda dia harus segera pergi dari kelas Arjuna dan kembali ke kelasnya.
Istirahat yang biasanya terasa begitu cepat bagi Arjuna, kini menjadi terasa begtiu lama karena Sani yang terus-menerus mengganggunya. Akhirnya Sani akan keluar dari kelas X IPA 5, membuat Arjuna sangat bersyukur karenanya. Arjuna sempat mengira kalau hal itu tidak akan pernah terjadi.
Pertama kalinya di masa SMA, Arjuna senang saat mendengar bel masuk berbunyi.
Beberapa murid kelas X IPA 5 sudah masuk ke kelas untuk kembali mengikuti kegiatan belajar mengajar, tapi Sani belum juga pergi karena masih merapikan semua buku yang ia bawa sebelumnya.
“Assalamu’alaikum” ucap seseorang yang baru masuk ke kelas X IPA 5. Arjuna sangat mengenali suara orang ini, ini adalah suara dari guru matematika lintas minat, guru yang melihat kelakuan Arjuna sebelumnya, Bu Enden.
“Wa’alaikumussalam” semua murid yang ada di kelas X IPA 5 menjawab salam.
“Eh, ada Sani” kata Enden saat menyadari keberadaan Sani yang sedang duduk di samping Arjuna “habis belajar bareng sama pacarnya?” Lanjutnya bertanya untuk menggoda Sani.
“Eh, nggak, kok, bu” jawab Sani dengan raut wajah yang terlihat sangat panik.
“Gapapa Sani, gak usah malu” ujar Enden “lagian, kamu sama Juna, maksud ibu, pacar kamu, kan cuma belajar bareng di kelas” lanjutnya.
“Ih, ibu, gak gitu” kata Sani yang terlihat semakin panik, sepertinya dia takut semua orang yang ada mendengar ucapan Enden jadi salah paham.
“Sani sekarang pelajaran siapa?” Tanya guru matematika lintas minat itu lagi.
“Matematika wajib, bu” jawab Sani.
“Oh, pak Fahrinya lagi pergi keluar kota untuk mewakili sekolah. Tadi pak Fahri meminta ibu untuk mengisi kelasnya, tapi karena ibu ada jadwal mengajar di kelas ini, jadi ibu hanya akan memberikan soal di kelas kamu nanti” ujar guru itu berterus terang “gimana kalau kamu ikut belajar di sini aja? Kan ada pacar kamu juga di kelas ini” lanjut guru itu sambil meledek Sani.
“I-iya, bu” jawab Sani ragu.
‘Dahlah’ batin Arjuna sambil menepuk dahinya sendiri.
Baru saja Arjuna berterima kasih pada bel sekolah yang ia kira akan membuat Sani keluar dari kelasnya. Tapi ternyata, bel itu tidak membuat Sani keluar dari kelasnya. Menyebalkan.
Sekali lagi, Arjuna harus terjebak dalam kondisi yang sama seperti kemarin, harus belajar matematika lintas minat dengan Sani sebagai teman sebangkunya.