Amukan Tuan Besar

Elsa berjalan keluar menghampiri Sebastian yang tak mengubah tempatnya berdiri. Keduanya kemudian menghabiskan waktu sampai Akuarium itu akan ditutup.

Masih mengalumgkan tangannya di lengan Sebastian, Elsa tak berhenti tersenyum. Hari ini kencan yang sungguh menyenangkan. Meski Sebastian hanya mendengar celotehan dan menemani semua tetap indah di mata Elsa.

"Terima kasih, kencannya sangat asyik. Nanti kalau ada waktu kita kencan lagi ya," usul Elsa berusaha semanja mungkin pada Sebastian. Dari depan sana sudah ada dua mobil terparkir hendak menjemput keduanya

Sebastian menghentikan langkah, dia melepas rangkulan Elsa dan memandanginya serius. "Ayo kita bicara serius sekarang." Elsa ikut memandangi Sebastian, sorot matanya terlihat khawatir.

"Sebenarnya aku mengajakmu kencan, agar aku bisa membicarakan ini. Aku mau membatalkan pertunangan kita." Elsa terhenyak, dia benar-benar diam sebab terkejut dengan keputusan Sebastian.

Dia menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. Elsa tak terima. Dia sangat tidak menerima pembatalan pertunangan ini. "Kenapa?" tanya Elsa dengan lidahnya yang kelu.

"Karena aku tidak pernah menganggapmu sebagai calon tunanganku. Pertunangan kita hanya didasarkan oleh kedua orang tua kita yang ingin memperkokoh hubungan bisnis politik mereka. Aku tak mau dijadikan alat oleh orang yang menyebut dirinya adalah Ayahku." Sebastian berujar dengan tenang tak kelihatan gentar.

Elsa mengusap air matanya, memandangi Sebastian penuh kesedihan. "Lalu kenapa kau harus mengatakan ini setelah kencan kita? Apa kau tahu seharian ini aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Aku tak peduli bahkan saat kau tidak peduli padaku itu semua karena aku mencintaimu. Saat pertama kali kita bertemu, aku langsung jatuh cinta lalu kenapa kau menghancurkan kencan terbaik yang akan aku ingat sebagai kenangan terbaik? Apa kau membenciku? Kau sengaja kita berdua kencan agar kau bisa menyakiti hatiku seperti ini?" Segala pertanyaan itu sama sekali tak dibalas oleh Sebastian, makin membuat Elsa sedih dan sakit hati.

Tangan Elsa langsung melayang ke arah pipi Sebastian. Rasa kebas tidak membuat pria itu bergeming. Dia tetap memandangi Elsa yang kini beruraian air mata. "Kau jahat! Aku tidak mau bertemu atau pun mengenalmu lagi. Aku tak peduli lagi padamu, jika kau mau bersama dengan wanita itu atau wanita yang baru itu terserah kau saja!" Elsa kemudian bergerak pergi menuju mobil dan masuk ke dalam.

Dalam sekejap mobil tersebut menghilang, pergi entah ke mana menyisakan Sebastian yang masih berdiri termenung. Gino berjalan mendekat, meminta agar Sebastian masuk ke mobil sementara di dalam sudah ada Laras. "Bagaimana perasaanmu? Sudah merasa lebih baik?" tanya Laras.

"Belum." Sebastian menjawab pelan dan singkat.

Laras mengkerutkan dahi. Bukankah seharusnya Sebastian merasa lega? Kenapa dia masih bersikap tidak biasanya? Gadis itu tak mengerti.

"Nona Laras akan langsung tahu begitu pulang ke rumah." Tuan Gino dari tempat duduk sebelah kursi pengemudi memberikan jawaban dan hanya menambah kebingungan Laras.

Mobil akhirnya sampai di rumah. Suara pecahan kaca dan keributan terdengar dari dalam. Laras turun bersama dengan Sebastian, bergerak ke dalam menemukan seorang pria bersama wanita sedang memarahi beberapa pelayan.

Pria itu menoleh ke arah mereka dengan mata menyalak marah. "Nah itu dia anak yang tak tahu diuntung!" serunya sambil berjalan mendekat.

Sebelum bisa melakukan apapun Gino langsung menempatkan diri menjadi penengah di antara keduanya. "Minggir kamu! Aku ingin bicara dengan anak ini."

"Tuan mohon diingat pemilik rumah ini dan asetnya adalah milik Tuan kami. Aku pun sebagai kepala pelayan harus melindungi Tuan kami." Gino membalas dengan nada tenang.

"Untuk apa Anda kemari? Apa Anda datang hanya untuk menghancurkan rumah saya?" tanya Sebastian. Riak wajahnya menjadi tenang namun terkesan begitu dingin.

"Anak tak tahu diri! Kenapa kau membatalkan pertunanganmu?! Kau tahu itu adalah yang penting bagiku! Apa kau ingin menjadi anak durhaka?!" kata pria itu dengan geram. Rupanya ia adalah Ayah Sebastian.

"Durhaka? Setelah yang Anda lakukan pada saya? Bercerminlah Tuan, Anda yang memulainya dahulu menyakiti saya. Tidak pernah mengatakan apapun tiba-tiba langsung menjodohkan saya dengan seorang wanita hanya demi keuntungan Anda saja tanpa peduli apa mauku?!" hardik Sebastian keras.

"Dasar anak kurang ajar!" Pria itu melayangkan tangannya tapi perempuan yang datang bersamanya buru-buru menengahi keduanya.

"Sudah jangan bertengkar, Pa! Kalau dia memang tidak mau lebih baik jangan dipaksa," kata wanita itu melerai.

"Anak ini sudah tidak bisa dibiarkan Ma, dia pantas mendapatkan hukuman karena sudah berani menentangku..."

"Wah aku pikir Pak Karim itu orang yang paling manipulatif ternyata ada ya orang yang melebihi atasanku itu." Laras memotong pembicaraan tegang mereka dan mendapat atensi dari semua orang.

"Jangan ikut campur urusan kami, gadis asing. Ini urusan keluarga," tegur Ayah Sebastian.

"Oh ini akan menjadi urusanku ketika ada orang sepertimu Tuan. Pantas saja Tuanku ini temperamentalnya buruk rupanya turunan dari Ayahnya toh." Baik Sebastian maupun Ayahnya langsung memandangi Laras dengan melotot.

Sungguh pasangan Ayah dan Anak yang mirip. "Aku tak sudi disamakan dengan pria ini!" kata Sebastian menunjuk Ayahnya.

"Apapun itu, Tuan tidak berhak meminta apapun pada Tuanku termasuk memaksa kehendaknya menikah dengan seorang wanita hanya untuk keuntungan Anda. Dia bukan barang yang bisa diperlakukan semau Tuan sendiri, Tuanku memiliki perasaan juga."

"Lalu apa pentingnya? Tuanmu itu anakku! Aku yang membuatnya lahir ke dunia ini! Maka dia harus menghormati segala keputusanku!" ucap Ayah Sebastian tetap bersikukuh.

"Bukannya Tuan sudah dengar sendiri apa yang dikatakan oleh Tuanku. Tuan memperlakukan dia tidak adil, ketimbang merawatnya Tuan malah mengabaikan Tuanku hanya demi seorang wanita, lalu jangan lupakan bagaimana perlakuanmu pada Tuanku. Tuan bukan Ayah yang baik dan tidak mendidik Tuanku benar tapi Tuan harus menghukumnya sebab menentang keinginan Tuan? Tuan, Anda sudah kehilangan gelar Ayah sejak dari dulu."

"Kau..." Ayah Sebastian bergerak menghampiri Laras. Emosi yang tersulut makin panas saja, dia sepertinya akan menyakiti wanita itu.

"Jangan pernah coba kau menyentuhnya apalagi menyakiti Laras." Sebastian kali ini tampak tenang namun penuh ketegasan. "Silakan pergi dari tempat ini sebelum aku melaporkan ke polisi bahwa Anda mengganggu ketenangan dan memasuki property tanpa izin, kita lihat nanti apa pendapat masyarakat saat aku menyebarluaskan berita ini."

Ayah Sebastian mendecih sebal. "Baiklah, jika itu maumu! Mulai sekarang kau bukan anakku lagi, anakku hanya Mikael seorang!"seru Ayah Sebastian membentak.

"Aku pun tidak ingin berhubungan lagi denganmu, sekarang kau angkat kaki dari rumahku!" balas Sebastian ikut menghardik.

Ayah Sebastian bergerak keluar dari mansion beserta sang istri. Sebastian mengatur napas yang memburu akibat emosi memuncak namun begiti Ayahnya pergi, dia mencoba untuk lebih tenang.

"Tuan, Tuan tak apa-apa kan?" tanya Gino. Tersirat wajah khawatir di wajahnya yang keriput.

"Aku tak apa-apa. Tolong berikan saja aku air putih." Gino buru-buru berjalan ke dapur menyisakan Laras dan Sebastian. Wanita itu bisa melihat tangan bosnya bergetaran sementara wajah tampak pucat.