Dengung rendah pod kembali menyambutnya saat Leon terbangun. Lampu panel redup berkedip pelan, dan bau logam bercampur antiseptik memenuhi kabin sempit itu. Perutnya bergejolak kosong; ia menelan ludah, menyadari tenggorokannya kering.
Tangannya bergerak pelan membuka kompartemen makanan. Makanan kering berbungkus tipis terasa keras di giginya, tapi ia mengunyah juga, disertai dua teguk air suling dari botol kecil. Rasanya hambar, hampir seperti minum uap logam, tapi setidaknya cukup untuk mengusir rasa lapar yang menggerogotinya.
> “Kadar glukosa tubuh menurun delapan belas persen. Asupan makanan: disarankan.”
Suara tenang gelang itu memecah sunyi. Leon mendengus, suara seraknya pelan.
“Ya… aku tahu. Jangan cerewet, aku sedang makan.”
Ia menatap pergelangan tangannya. Cahaya biru lembut gelang itu memantul di pipinya yang pucat. Kilatan logam yang dilihatnya kemarin masih menghantui pikirannya. Mungkin itu hanya potongan kapal. Mungkin juga sesuatu yang bisa menyelamatkan hidupnya.
> “Pemantauan lingkungan selesai. Titik pantulan logam masih terdeteksi. Jarak: seribu dua ratus meter, arah tenggara.”
“Bagus.” Leon menarik napas dalam, mengusap wajahnya. “Kalau begitu… mari kita pergi.”
Leon berdiri, merapikan sabuk baju luarnya, lalu membuka kotak perlengkapan di belakang kabin. Dari dalamnya, ia menarik sebuah alat berbentuk seperti gagang logam dengan tonjolan melingkar di ujungnya.
Cutter Plasma P1. Alat potong serbaguna, biasa digunakan untuk memutus pelat baja, tapi bila diatur ke mode defensif, energi panasnya cukup untuk membakar kulit makhluk hidup dalam hitungan detik.
Ia kemudian memeriksa indikator energinya: 78% tersisa.
> “Perangkat pertahanan standar aktif. Mode defensif siap digunakan.”
Leon mengaitkan cutter itu di sabuknya. Rasanya aneh, seperti memakai senjata padahal ia bukanlah seorang tentara. Ia menghela napas. “Aku bukan tentara, tapi kalau ada sesuatu mencoba memakan aku… ya, setidaknya aku bisa sedikit melawan.”
Scanner portable dan penanda jalur dimasukkan ke dalam tas kecil di punggungnya. Ia memeriksa tabung oksigen cadangan, menyalakan lampu helm, lalu menatap pintu pod.
“Buka.”
Tuas berdecit berat, pintu bergeser, dan kabut kehijauan menyambutnya lagi, dingin dan menggigit. Leon melangkah keluar.
Permukaan batu hijau itu masih bergetar halus di bawah sepatu botnya. Di kejauhan, kilau biru flora tampak seperti bintang yang tumbuh dari tanah. Udara beracun bergulung malas di permukaan, seperti napas makhluk raksasa yang tak terlihat.
Leon menempelkan penanda jalur pertama di dekat pod, lampunya berkedip merah kecil.
“Kalau aku nyasar, setidaknya aku bisa pulang,” gumamnya.
Langkah demi langkah, ia bergerak perlahan, mengikuti jalur peta hologram yang diproyeksikan dari gelang.
Di tengah perjalanan, ia menemukan kantung kecil berwarna biru kehijauan dengan daun pipih yang memancarkan sinar lembut. Ia berjongkok, mengarahkan scanner gelangnya dan mencoba memotongnya sedikit, cairan biru langsung tumpah dan mendesis setelah mencapai permukaan tanah.
"Sial! Aku harus lebih berhati hati," ucap Leon menghindari cairan itu.
Cahaya biru memindai perlahan, dan suara laporan bergema jernih:
> “Flora asing dianalisis…
Nama: [Belum teridentifikasi]
Komposisi: Serat berenergi rendah, mengandung senyawa karbonik stabil.
Potensi: Dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar minor atau material isolasi.”
Leon mengangguk kecil.
“Bahan bakar… mungkin nanti aku butuh kau. Mungkin akan ku beri nama nanti.”
Ia kemudian menggunakan pisau lipatnya dengan hati hati untuk memotong sedikit batangnya dan memasukkannya ke kontainer sampel.
> “Sampel disimpan. Data diperbarui.”
“Terima kasih,” gumam Leon, suara sumbang di balik helmnya.
Jalan berbatu menanjak sedikit, memaksanya berhenti sejenak dan mengatur napas. Wajahnya basah oleh keringat meski suhu internal bajunya dijaga tetap stabil. Pikiran tentang kapal yang hancur mendadak muncul di benaknya: suara orang-orang, teriakan, bau terbakar… Dadanya sesak, jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar memegang tali tas.
“Fokus, Leon… fokus.” Ia mengatur napas, memaksa pikirannya kembali ke sini dan sekarang.
Begitu ia mencapai puncak batu yang lebih tinggi, matanya menangkap kilatan logam itu lagi. Potongan besar, miring tertanam di tanah hijau, dikelilingi akar flora biru yang melilit seperti ular bercahaya.
Ia melangkah mendekat, cutter plasma sudah di tangannya. Akar-akar itu seolah bergerak pelan tertiup angin. Leon menelan ludah, mengangkat cutter, memotong beberapa lilitan yang menghalangi. Bau hangus tipis muncul ketika serat biru itu terputus, memendar lalu layu.
Di balik potongan logam besar itu, matanya menemukan sesuatu: sebuah kotak logam kecil, terjepit di celah batu. Kotak itu penuh goresan, tertutup lapisan debu kehijauan, tapi jelas bukan bagian alami dari planet ini.
Leon memindai cepat.
> “Material paduan kapal terdeteksi. Energi residual: nol. Potensi penyimpanan data: tinggi.”
Mulut Leon kering. Ia menarik kotak itu perlahan, menggoyangkannya hingga terlepas. Berat, tapi cukup kecil untuk dimasukkan ke tasnya.
> “Waktu aktivitas di luar tersisa lima belas menit.”
Suara AI mengingatkannya. Leon mengangkat wajah, melihat kabut di kejauhan mulai menebal lagi.
“Oke, oke, aku pulang sekarang.” Ia menempelkan penanda jalur terakhir, lalu mempercepat langkahnya kembali. Setiap suara desis dari flora membuatnya sedikit melirik ke kanan-kiri, jari-jarinya menyentuh gagang cutter plasma untuk memastikan.
Pod terlihat di balik kabut, lampu penanda merah kecil menyambutnya. Ia bergegas masuk, pintu menutup dengan desisan berat, memisahkan dirinya dari dunia luar yang asing itu.
Leon melepas helmnya, duduk di kursi sempit pod. Napasnya terengah, matanya menatap kotak logam yang kini berada di pangkuannya. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena adrenalin yang perlahan surut.
Kotak itu mungkin hanya sampah kapal… atau mungkin kunci untuk bertahan lebih lama di planet ini.