Bab 2: Gadis dari Sekte Cahaya

Tiga bulan telah berlalu sejak Li Zhen keluar dari Kawah Abadi.

Tubuhnya masih penuh luka terbuka, namun tak satu pun darahnya menetes ke tanah. Setiap tetes darahnya kini mengalir dalam pola aneh, seperti ukiran kutukan purba yang terus berubah di bawah kulitnya.

Ia berjalan sendirian di wilayah terlarang: Hutan Ranting Hitam, tempat di mana roh-roh buangan bersembunyi dan cahaya matahari tak pernah mencapai tanah.

Ia tak takut pada roh.

Karena kini, dialah ketakutan itu sendiri.

---

Namun hari itu, langkahnya tertahan.

Di bawah pohon kematian, seorang gadis muda tergeletak tak sadarkan diri.

Rambutnya seputih salju, jubahnya robek berlumur darah, dan di tangannya tergenggam lambang Sekte Cahaya Murni—salah satu dari tiga sekte yang menghancurkan desanya.

“...Sekte Cahaya?” bisik Li Zhen.

Tangannya bergetar. Nafasnya menajam. Dendam menyala di dadanya.

Ia mengangkat tangan, membentuk jaring darah yang mengalir dari lengannya.

“Jika kau mati, satu utang terbayar.”

Namun sebelum ia bisa menghabisinya, gadis itu membuka mata perlahan.

“...Kau… manusia… bukan roh?” bisiknya lemah.

Li Zhen terdiam.

Tatapan gadis itu tidak mengandung kebencian. Tidak pula ketakutan.

Malah… ada senyuman samar.

“Kalau… kau membunuhku… setidaknya… mataku terakhir kalinya melihat wajah manusia.”

Dan ia pingsan lagi.

---

Li Zhen mengerutkan alis.

“Dia aneh…”

Tapi ia tak membunuhnya. Entah kenapa, tangannya tak bisa bergerak.

Bukan karena belas kasihan. Tapi karena satu rasa aneh yang menghantui hatinya:

"Mengapa seorang murid sekte yang pernah menyiksa ribuan… bisa tersenyum saat menatap musuhnya?"

Dengan enggan, Li Zhen menyeret tubuh gadis itu ke gua sunyi tempat ia beristirahat.

---

Malam Pertama: Dua Jiwa yang Bertolak Belakang

Saat gadis itu terbangun, ia hanya memperkenalkan diri singkat:

“Namaku Yue Xian. Aku sudah diusir dari sekteku.”

Li Zhen tak menjawab.

Yue Xian terus berbicara, walau Li Zhen tak menanggapinya. Ia bercerita tentang bagaimana ia dihukum karena menentang kebijakan sekte yang memusnahkan desa-desa kecil demi mencari roh ramalan.

“Aku berkata mereka salah. Aku dikutuk, dikurung, dan akhirnya dibuang ke sini.”

Mata Li Zhen membelalak.

“Desa-desa kecil… termasuk Desaku?”

Yue Xian mengangguk pelan. “...Aku tahu. Aku berada di perbatasan saat pembantaian itu terjadi. Aku melihatnya… dan aku tak bisa lupa.”

Li Zhen berdiri. Tangannya mengepal.

“Kalau begitu… kau harus mati.”

Namun Yue Xian tak lari. Ia hanya memejamkan mata.

“Jika membunuhku membuatmu tenang, lakukanlah. Tapi ketahuilah, aku juga… korban dari sekte yang sama.”

Li Zhen kembali terdiam. Di dalam dirinya, dua suara bertarung:

“Bunuh dia. Dia bagian dari mereka.”

“Dia juga disakiti. Sama sepertimu.”

---

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia keluar dari Kawah, Li Zhen tidak bisa tidur karena konflik batin.

Dendam adalah napasnya. Tapi kini, ada satu keraguan kecil yang menusuk dalam jiwanya.

---

“Jika kau adalah kutukan… apakah kau tidak berhak memilih siapa yang pantas dikutuk?”