Senja mengambang di langit Shinjuku. Warna jingga pucat menyelimuti gedung-gedung tinggi yang berdiri kaku, seolah menanti sesuatu yang tak kunjung datang. Di antara kerumunan yang lalu-lalang di stasiun Shinjuku Selatan, seorang gadis berdiri diam, menggenggam payung lipat yang belum ia buka meski gerimis turun perlahan. Seragam SMA-nya basah di bahu. Tapi ekspresinya tidak menggambarkan kegelisahan. Justru sebaliknya—tenang, kosong, dan entah kenapa... menunggu.
Namanya Aika Tachibana. Usianya 17 tahun. Rambutnya hitam legam, diikat longgar di sisi kiri. Tatapannya sepi, tapi jika kau cukup peka, kau bisa menangkap sisa-sisa luka yang belum sembuh di dalam matanya.
Tepat dua tahun lalu, di tempat yang sama, seseorang berjanji untuk kembali padanya. Tapi sejak saat itu, tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Tidak ada petunjuk.
Hanya keheningan.
Dan hujan. Selalu hujan, setiap tanggal ini.
"Langit Tokyo selalu tahu kapan seseorang sedang kesepian," suara laki-laki muncul dari arah kanan, diselingi suara langkah pelan dan genangan air yang diinjak.
Aika menoleh. Seorang pria muda, mengenakan jaket putih dengan tudung menutupi sebagian wajahnya, berdiri tidak jauh dari tempatnya. Dia membawa payung transparan—yang biasa dijual di minimarket—dan senyuman yang... mengganggu. Terlalu familiar.
“Maaf, kita… saling kenal?”
Laki-laki itu mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. “Ah, kupikir kamu sudah lupa.”
Aika memicingkan mata. Detak jantungnya tiba-tiba tak stabil. Senyum itu… ada sesuatu yang aneh. Bukan hanya aneh—tapi nyaris menyakitkan.
“Namaku Ren,” katanya sambil menatap langit, “Tahun lalu kita satu kelas di mata pelajaran sejarah dunia. Aku duduk di pojok belakang, sering tidur saat pelajaran. Kamu suka duduk di dekat jendela, menulis sesuatu di buku catatanmu.”
Aika mengernyit. Nama itu tidak asing, tapi juga tidak cukup jelas untuk ia percaya. Kenapa lelaki ini muncul tiba-tiba... dan tahu terlalu banyak?
“Aku ingat kamu,” katanya akhirnya. “Tapi tidak pernah berpikir kau akan bicara padaku.”
Ren terkekeh kecil. “Aku juga tidak berpikir akan kembali ke tempat ini.”
“‘Kembali?’”
Ia menatap Aika lama, sangat lama. Dan kemudian, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia berkata, “Kau masih menunggu dia, ya?”
Pertanyaan itu menusuk seperti hujan yang masuk dari sela kerah baju. Aika diam, lalu menunduk. “Bukan menunggu. Aku hanya… belum tahu cara berhenti.”
Ren berjalan pelan ke arah bangku kayu di bawah atap halte, duduk dengan sikap santai tapi sorot mata yang tidak main-main. “Kamu tahu, terkadang orang tidak pergi untuk menghilang. Kadang… mereka hanya berubah bentuk. Atau nama.”
Aika mengangkat wajah. Tatapannya tegang. “Apa maksudmu?”
Ren tidak menjawab. Ia membuka ranselnya, mengambil sebuah kotak kecil, dan menyerahkannya pada Aika.
Tanpa berkata apa-apa, Aika membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya… ada pita biru muda, sedikit lusuh, tapi bersih. Pita yang dulu ia ikatkan di lengan seragam milik… seseorang. Seseorang yang hanya ada dalam mimpinya selama dua tahun terakhir.
“Ini…”
Ren menatap langsung ke matanya. “Aku pernah berjanji, bukan?”
Dunia terasa hening. Semua suara kereta, percakapan, bahkan derai hujan… menghilang. Yang tersisa hanya detak jantung Aika yang melompat-lompat, menolak logika.
“Kaoru…?” tanyanya dengan suara bergetar.
Ren tersenyum. Tapi bukan senyum bahagia—itu senyum yang menyimpan terlalu banyak rasa sakit.
“Aku bukan Kaoru yang dulu. Tapi bagian dari hatiku… tetap mencarimu.”
Aika terdiam. Bibirnya gemetar, tangan yang memegang kotak mulai basah bukan karena hujan—tapi air mata. Dunia terlalu kecil untuk pertemuan seperti ini. Atau mungkin, takdir terlalu kejam untuk memainkannya seperti boneka.
“Kamu… menghilang tanpa kabar. Semua orang bilang kamu pindah sekolah ke luar negeri. Ada yang bilang kamu meninggal…”
“Aku hanya... dihilangkan,” potong Ren—atau Kaoru—pelan. “Ayahku ingin aku ‘dilahirkan kembali’ sebagai seseorang yang lebih berguna. Jadi dia menghapus semua masa lalu.”
Aika tidak tahu harus berkata apa. Dunia ini terlalu penuh kejutan untuk anak usia 17 tahun yang hanya ingin merindukan seseorang dalam damai.
“Aku masih suka menulis puisi,” katanya akhirnya. “Tapi sekarang… kata-katanya lebih pendek. Seperti hidup yang takut berjanji terlalu panjang.”
Ren tertawa pelan. “Aku juga masih suka melukis. Tapi sekarang warnanya lebih gelap.”
Mereka saling diam. Tapi dalam diam itu, ada ratusan kalimat yang tak sempat diucapkan. Tentang malam-malam yang sepi. Tentang mimpi yang selalu berakhir di stasiun ini. Tentang rasa yang tidak pernah selesai.
Hujan berhenti. Angin membawa aroma tanah basah dan musim semi yang menua terlalu cepat.
Aika berdiri, menatap Ren lurus. “Kau kembali untuk apa?”
Ren menjawab tanpa ragu. “Untuk mengembalikan waktu yang kucuri darimu.”
Aika memejamkan mata. “Kalau begitu… buat aku percaya kalau kamu nyata. Bukan mimpi yang akan hilang saat matahari terbit.”
Ren mengangguk pelan. “Izinkan aku tetap berdiri di sisimu, meski sebagai orang baru. Aku tidak butuh maaf, hanya… kesempatan.”
Dan seperti itu, dua bayangan berjalan beriringan di trotoar stasiun, dengan langkah hati-hati seolah takut menginjak masa lalu.
Langit mulai cerah. Di kejauhan, pelangi tipis muncul sejenak sebelum menghilang lagi.
Karena cinta yang benar, mungkin bukan yang langsung kembali. Tapi yang berani muncul… meski tahu dia tidak disambut dengan mudah.