Langit masih mendung ketika Aika kembali berjalan sendirian menyusuri gang kecil di dekat stasiun. Hujan memang sudah reda, tapi udara dingin masih menggantung di antara dinding-dinding beton dan suara tetesan air dari atap-atap bangunan tua. Suasana itu membungkusnya dalam diam—diam yang sama seperti dua tahun terakhir.
Langkahnya lambat. Bukan karena lelah, tapi karena jantungnya belum bisa mengejar kenyataan bahwa Kaoru… atau Ren… benar-benar berdiri di hadapannya tadi. Bukan mimpi. Bukan bayangan. Bukan nostalgia yang menyaru dalam hujan.
“Namaku sekarang Ren…”
Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, mengusik rasa yang belum punya tempat untuk pulang. Ia tahu suara itu. Ia tahu cara lelaki itu menatapnya—dalam, pelan, dan seolah mengukur apakah ia masih bisa dipercaya.
Sampai di rumah, Aika langsung masuk ke kamarnya dan membiarkan tubuhnya jatuh ke tempat tidur. Kotak kecil berisi pita biru masih ia genggam erat. Dulu, Kaoru menyelipkan pita itu di pergelangan bajunya, diam-diam. Dan sejak itu, Aika selalu memakainya setiap ujian, setiap festival sekolah, setiap hujan turun—sampai hari ia tahu Kaoru tidak akan datang lagi.
Ia memeluk kotak itu, seolah itu bisa menggantikan pelukan yang tak pernah terjadi. Lalu air mata jatuh tanpa suara.
Sementara itu, di sebuah atap apartemen di distrik Setagaya, Ren berdiri sendiri, memandangi kota yang mulai menyala dalam warna oranye lampu jalanan. Angin sore menyibak rambutnya, dan untuk sesaat, ia merasa… kosong.
Ia sudah bertemu Aika.
Ia sudah membuka satu rahasia.
Tapi hatinya tahu—itu baru permulaan dari luka yang harus ia buka kembali satu per satu.
“Kaoru…” gumamnya pelan, seolah sedang berbicara pada diri sendiri yang dulu.
Nama itu bukan hanya nama. Itu adalah bagian dari hidupnya yang dihapus secara paksa. Saat ayahnya memutuskan untuk mengirimnya ke luar negeri, mengganti identitas, bahkan memutus semua koneksi dengan Jepang, Kaoru mati. Dan yang tersisa hanyalah Ren—nama baru, hidup baru, tapi jiwa yang tak pernah benar-benar berpindah.
Ia duduk di tepi atap, membuka buku sketsa usang dari ranselnya, dan mulai menggambar wajah Aika dari ingatan. Kali ini, bukan sekadar siluet seperti yang dulu ia buat setiap malam. Tapi ekspresinya yang tadi sore—ragu, terluka, tapi masih menyala.
“Aku nggak bisa langsung percaya, Ka…”
Kata-kata itu menamparnya. Tapi Ren tahu Aika tidak salah. Ia pantas meragukannya. Pantas untuk marah. Bahkan pantas untuk tidak mengizinkannya masuk lagi.
Namun ia tidak datang untuk diampuni. Ia datang untuk mengembalikan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak yakin bisa dimiliki kembali.
---
Pagi hari berikutnya, Aika berdiri di depan cermin, mengenakan seragam lengkap dengan pita biru di lengan kirinya. Ia tidak tahu kenapa ia memakainya lagi hari ini. Mungkin karena hatinya ingin menegaskan sesuatu—bahwa meski ia tidak bisa langsung percaya, ia belum sepenuhnya lupa.
Di sekolah, segalanya berjalan seperti biasa. Suara sepatu, bel masuk, guru yang menjelaskan dengan suara monoton. Tapi dunia Aika terasa seperti berjalan pada dimensi yang berbeda. Ia tidak fokus. Setiap suara, setiap langkah, seakan bisa menjadi gema dari masa lalu.
Dan tepat setelah bel istirahat berbunyi, seseorang mengetuk pintu kelasnya.
“Permisi… Apakah Tachibana-san ada?”
Semua kepala menoleh. Di ambang pintu, berdiri Ren dengan seragam SMA lain, lengkap dengan name tag siswa pindahan.
“Namaku Minazuki Ren. Mulai hari ini, aku akan bergabung di kelas ini.”
Aika membeku. Suara tawa pelan terdengar dari teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik, terutama para gadis. Tidak heran—Ren memang punya aura yang sulit diabaikan. Kalem, dewasa, dan misterius. Tapi bagi Aika, itu bukan aura asing.
Itu masa lalunya yang kembali tanpa pemberitahuan.
Ren duduk dua bangku di belakangnya. Mereka tidak saling bicara selama pelajaran. Tapi sesekali, Aika bisa merasakan tatapan yang menembus punggungnya—bukan mengganggu, tapi mengusik terlalu dalam.
Saat bel pulang berbunyi, Aika langsung keluar dari kelas, berjalan cepat menuju taman belakang sekolah. Dan seperti yang ia duga… Ren mengikutinya.
“Kamu gila,” kata Aika tanpa menoleh.
“Aku tahu.”
“Kamu pikir ini lucu? Tiba-tiba muncul sebagai siswa baru dan duduk dua bangku di belakangku?”
“Aku tidak ingin kamu merasa sendiri lagi.”
Aika membalikkan badan, menatapnya dengan mata yang bergetar.
“Kamu pikir dua tahun bisa ditebus hanya dengan berdiri di dekatku lagi?”
Ren mengangguk pelan. “Tidak. Tapi aku tidak tahu cara lain. Jadi aku memilih untuk ada… dan menunggu.”
Mereka saling menatap. Angin sore berhembus, membawa wangi pohon sakura yang mulai berguguran terlalu awal tahun ini. Seperti hati yang terlalu cepat mengenang, sebelum benar-benar pulih.
“Berikan aku satu alasan… kenapa aku harus percaya kamu lagi.”
Ren mendekat satu langkah. Lalu satu lagi. Ia berhenti ketika hanya ada jarak dua meter di antara mereka.
“Aku tidak akan memberikan satu alasan,” katanya. “Aku akan memberikan satu per satu. Setiap hari. Setiap kali kamu melihatku. Setiap kali kamu merasa ingin menyerah, aku akan ada… dan mengingatkanmu bahwa aku belum menyerah.”
Aika menahan napas. Matanya berkaca. Ia ingin percaya, tapi takut. Ia ingin berlari, tapi hatinya tak bergerak.
“Minggu depan…” katanya akhirnya, “adalah festival sekolah.”
Ren menunggu.
“Ada sebuah kebiasaan. Pasangan yang mengikat pita di pohon sakura utama di tengah festival… akan bersama selamanya.”
Ren tersenyum tipis. “Kamu percaya mitos seperti itu?”
Aika menunduk. “Dulu... Kaoru bilang dia akan mengikat pita itu bersamaku. Tapi dia hilang sebelum sempat melakukannya.”
Ren tak menjawab. Tapi ia tahu... itulah janji yang belum sempat ditepati.
---
Dan di bawah langit yang kembali memutih oleh awan tipis, dua hati yang lama saling mencari perlahan mulai berjalan beriringan—tidak dalam pelarian, tapi dalam keberanian untuk mengulang apa yang pernah terhenti.
Karena kadang, cinta yang paling kuat... bukan yang tidak pernah pergi, tapi yang berani kembali dan berkata: “Boleh aku memulainya dari awal?”