Chapter 3: Seseorang yang Tidak Pernah Pergi

Pagi itu, matahari akhirnya menyapa langit Tokyo dengan sinar hangat yang lembut. Setelah berhari-hari hujan, udara musim semi terasa lebih jernih. Aika berjalan ke sekolah dengan langkah pelan, membiarkan angin bermain dengan rambutnya. Di tangannya tergenggam pita biru yang mulai pudar warnanya, tapi tetap ia bawa seperti bagian dari dirinya sendiri.

Hari ini, suasana sekolah berbeda. Koridor dipenuhi siswa yang sibuk membahas Festival Sakura yang akan datang seminggu lagi. Poster-poster kegiatan mulai dipasang, tawa dan obrolan bertebaran di setiap sudut. Tapi Aika hanya berjalan melewatinya—diam, namun penuh suara di dalam kepala.

Ren kini menjadi bagian dari rutinitasnya, meski hatinya belum bisa menentukan posisinya: masa lalu yang menyamar sebagai masa kini, atau masa kini yang sedang mencuri waktu dari hati yang rapuh?

“Aika!”

Suara itu membuatnya menoleh. Seorang gadis berambut pendek berlari kecil menghampirinya dengan senyum cerah yang selalu bisa membakar pagi.

“Mika…” gumam Aika.

Mika Ayano—sahabat Aika sejak SMP. Sosok ceria, blak-blakan, dan tidak pernah setengah hati dalam berteman. Ia adalah satu-satunya orang yang tahu seluruh cerita tentang Kaoru. Tapi juga orang pertama yang menaruh curiga saat Aika menyebut nama *Ren*.

“Gue udah liat dia. Anak baru itu,” kata Mika sambil menyamakan langkah. “Lo yakin dia bukan Kaoru?”

Aika menarik napas. “Wajahnya… caranya bicara… semuanya terlalu mirip.”

Mika menggeleng. “Tapi Kaoru udah menghilang dua tahun, Kai. Tanpa jejak. Tanpa kabar. Orang nggak bisa gitu aja balik kayak tokoh drama.”

Aika berhenti berjalan. “Tapi hatiku tahu.”

Mika menatapnya. Wajahnya tidak marah. Justru sedih. “Dan kalau hatimu salah?”

Aika tidak menjawab. Hanya menunduk, lalu berjalan lagi. Mika mengikutinya tanpa berkata-kata. Kadang, persahabatan bukan tentang menyetujui. Tapi menemani, bahkan saat langkahnya berseberangan.

Di kelas, Ren sudah duduk di bangkunya, membaca buku dengan wajah tenang seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Seseorang sedang berdiri di dekat mejanya—tinggi, berwajah tajam, dengan seragam sekolah berbeda.

Aika terdiam di pintu.

Ren menoleh padanya sekilas, lalu kembali memandangi lelaki itu. “Kenapa kamu ke sini?”

“Cuma ingin memastikan kalau kamu beneran ada di sekolah ini,” kata lelaki itu, senyumnya penuh sindiran. “Pakai nama baru, pindah sekolah, dan bertingkah seolah hidupmu mulai dari nol. Tapi sayangnya, masa lalu itu nggak pernah mati, Kaoru.”

Beberapa siswa mulai memperhatikan. Aika merasa dadanya sesak.

Lelaki itu menatap Ren dengan pandangan dingin. “Kalau kamu berpikir bisa ngelupain semua yang terjadi dua tahun lalu… kamu lebih bodoh dari yang aku kira.”

Ren berdiri pelan. “Jangan buat keributan di sini, Satoshi.”

Satoshi. Nama itu menampar Aika seperti tamparan masa lalu yang tiba-tiba muncul tanpa izin. Ia ingat—Kaoru pernah menyebut nama itu saat bercerita tentang seseorang yang menghancurkan lukisan-lukisannya.

“Aku akan menunggu kamu di taman belakang. Kau tahu apa yang kita perlu bicarakan,” kata Satoshi, lalu pergi begitu saja, meninggalkan udara yang menggantung di antara semua orang.

Beberapa murid mulai berbisik. Aika berjalan pelan menuju bangkunya, duduk tanpa menatap Ren. Tapi pikirannya terus berputar.

Apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu?

---

Jam istirahat, Ren tidak ada di kelas. Aika tahu ke mana ia pergi. Dan meski hatinya berat, langkahnya tetap membawanya ke taman belakang.

Ren berdiri sendiri, memunggungi pohon sakura yang belum sepenuhnya mekar. Satoshi berdiri tak jauh darinya, tangan di saku, sikapnya menantang tapi tidak sepenuhnya sombong.

“Gue tahu alasan lo balik bukan cuma buat cewek itu,” kata Satoshi. “Lo lagi nyari jawaban, kan?”

Ren tidak menoleh. “Aku tidak akan menjawab pertanyaan yang tidak perlu.”

Satoshi mendekat. “Gue tahu lo masih nyimpen lukisan itu. Dan lo masih belum tahu siapa yang bakar kanvas-kanvas lo waktu itu.”

Aika berdiri di balik tembok taman, menguping diam-diam. Dadanya berdebar. Apa maksudnya… kanvas terbakar?

“Gue nggak dateng buat ngajak ribut, Kaoru. Tapi dunia yang lo tinggalkan dua tahun lalu… masih ada. Dan sekarang, lo nggak bisa kabur lagi.”

Satoshi pergi, meninggalkan Ren yang berdiri membisu.

Aika keluar dari persembunyiannya.

“Ren…”

Ren kaget, lalu menoleh. “Kamu dengar semuanya?”

Aika mengangguk. “Apa maksud dia… tentang lukisan yang dibakar?”

Ren menunduk. Tangannya mengepal. “Waktu itu… ada pameran seni antar sekolah. Aku kirim beberapa lukisan. Tapi malam sebelum hari pembukaan, semua lukisan itu dibakar. Aku nggak pernah tahu siapa pelakunya. Tapi ayahku… bilang itu salahku. Karena aku terlalu ‘emosional’. Lalu dia tarik aku dari sekolah, dan... hapus semua yang aku punya.”

Aika diam. Semua itu bukan sekadar kepindahan. Itu pelarian. Pemaksaan. Dan kini, ia mulai melihat Ren bukan sebagai lelaki yang menghilang, tapi sebagai seseorang yang disingkirkan oleh dunia.

“Kamu nggak sendirian sekarang,” bisik Aika. “Aku nggak tahu apa yang terjadi waktu itu. Tapi kalau kamu beneran ingin mulai dari awal… aku akan berdiri di sampingmu.”

Ren menatapnya. Mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, tak ada kebohongan di antaranya.

---

Di kejauhan, angin berhembus pelan, membawa kelopak bunga sakura pertama yang jatuh.

Dan dalam diam itu, sebuah keputusan telah lahir.

Masa lalu memang tak bisa dihapus. Tapi mungkin… bisa disembuhkan.

Bukan oleh waktu. Tapi oleh seseorang yang tidak pernah pergi, meski pernah ditinggalkan.