Chapter 4: Pita Merah dan Suara yang Tidak Pernah Didengar

Langit Tokyo memamerkan wajah terbaiknya hari itu—biru cerah, langka setelah serangkaian hari hujan. Cahaya mentari menari di permukaan jendela kelas Aika, memantul ke dalam, memanaskan lantai dan suasana hati para siswa yang kini mulai sibuk membahas persiapan Festival Sakura.

Suara gemuruh ide-ide dan tawa menggema di seluruh ruangan. Poster jadwal mulai digantung di papan pengumuman, dan kertas warna-warni serta pita mulai menumpuk di meja.

Aika duduk di dekat jendela, memperhatikan pohon sakura di luar yang mulai mengembang sempurna. Kelopaknya berjatuhan perlahan, seperti salju merah muda yang lembut. Tangannya memainkan pita biru di pergelangan tangan, namun pikirannya melayang—ke suara Ren, ke mata Satoshi, dan ke pertanyaan yang belum sempat ia ajukan pada dirinya sendiri: *Apakah aku masih bisa mencintainya seperti dulu?*

“Lagi ngelamun?”

Suara itu lembut, ringan, tapi familiar. Aika menoleh. Seorang lelaki berdiri di samping mejanya, membawa setumpuk kertas desain untuk stan festival. Rambutnya cokelat gelap, rapi, dan wajahnya penuh cahaya seperti matahari musim semi.

“Riku?” ucap Aika agak terkejut.

“Yup.” Ia tersenyum. “Aku tahu kamu pasti gak ikut rapat dekorasi tadi, jadi aku bawain draft-nya. Siapa tahu kamu mau bantu gambar seperti tahun lalu.”

Aika tersenyum tipis. “Masih inget aja.”

“Tentu. Kamu satu-satunya yang bisa gambar bunga sakura dengan ekspresi ‘galau’,” kata Riku sambil tertawa pelan.

Aika terkekeh, tapi hatinya tahu: Riku lebih dari sekadar teman satu klub seni. Ia pernah jadi satu-satunya orang yang menemani Aika selama Kaoru menghilang. Diam-diam, Riku hadir dalam ruang yang tak bisa dimiliki, tapi tetap bertahan.

Kini, dengan Ren kembali, keberadaan Riku menjadi lebih… rumit.

“Kalau kamu butuh bantuan… soal festival, atau hal lain,” kata Riku pelan, “kamu tahu aku selalu bisa diandalkan.”

Aika menatapnya. “Terima kasih.”

Tapi sebelum Riku sempat berkata lebih jauh, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu.

Ren berdiri di ambang kelas, membawa kotak besar berisi cat dan alat dekorasi. Ia tampak biasa saja, tapi sorot matanya langsung berubah begitu melihat Riku dan Aika berdiri terlalu dekat.

Riku hanya tersenyum kecil dan menyapa. “Oh, kamu Ren ya? Aku Riku. Kita pernah satu angkatan di klub seni SMP.”

Ren mengangguk. “Kita juga pernah ikut lomba mural, kalau nggak salah.”

“Betul,” jawab Riku, lalu berbalik pada Aika. “Aku tinggal dulu ya. Jangan lupa dicek desainnya.”

Ren diam. Tapi saat hanya berdua, Aika bisa merasakan atmosfer di sekitarnya berubah.

“Kamu kelihatan nggak nyaman,” kata Aika akhirnya.

Ren menatap meja, lalu berkata tanpa suara tinggi, “Dia menyukaimu, kan?”

Aika terdiam. Pertanyaan itu sederhana. Tapi jawabannya rumit.

“Dia pernah menyukai aku. Tapi dia nggak pernah bilang langsung.”

Ren menatap keluar jendela. “Orang seperti itu… jauh lebih kuat dariku.”

Aika menggeleng. “Orang seperti itu… hanya menunggu saat yang tepat. Dan kamu? Kamu datang meski tahu saatnya mungkin sudah lewat.”

Ren menoleh. “Kalau aku terlalu lambat… kamu akan memilih dia?”

Aika tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu bukan untuk dijawab hari ini. Mungkin tidak besok. Mungkin... tidak pernah.

---

Dua hari sebelum festival, sekolah berubah seperti pabrik yang tidak tidur. Siswa-siswi berseliweran menghias koridor, mempersiapkan stan makanan, memeriksa sound system, dan melatih pertunjukan panggung. Suasana ramai, namun di hati Aika, keramaian justru mempertegas kesepiannya.

Malam itu, Aika pulang lebih lambat karena latihan musik. Ia berjalan sendiri menyusuri jalanan kota yang diterangi lampu jalan temaram. Saat melewati taman dekat sungai, ia melihat siluet seseorang duduk di bangku.

Ren.

Dengan hoodie-nya yang khas, buku sketsa di tangan, dan wajah yang serius memandangi langit yang hanya dihuni satu-dua bintang.

“Kamu nggak pulang?” tanya Aika sambil duduk di sebelahnya.

Ren menggeleng. “Kadang aku suka dengar suara malam. Di tempat seperti ini, aku bisa denger suara hati sendiri.”

Aika menatapnya. “Apa yang kamu dengar?”

Ren memejamkan mata. “Takut.”

Satu kata itu membuat Aika bungkam. Ia tahu rasa itu. Ia hidup bersamanya.

“Aku takut nggak cukup buat kamu. Takut kamu lebih bahagia dengan seseorang yang nggak pernah ninggalinmu. Takut kamu mencintaiku hanya karena kamu nggak tahu harus memaafkan siapa.”

Aika menghela napas panjang. “Aku juga takut. Takut kalau ternyata aku nunggu kamu selama ini… bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah.”

Ren menatapnya dalam. “Kalau begitu… kita saling takut.”

Aika tersenyum lirih. “Mungkin itu sebabnya kita saling ngerti.”

Hening. Tapi hening yang hangat.

Lalu, Aika berkata pelan, “Waktu festival nanti… aku akan datang ke pohon sakura utama. Kalau kamu datang juga… dan kamu masih ingin mengikat pita itu… aku akan percaya kamu sungguhan.”

Ren mengangguk. “Aku akan datang.”

Aika berdiri, siap pulang. Tapi sebelum melangkah, ia berkata, “Tapi jangan salah. Aku nggak janji bakal ikat pita itu bersamamu. Aku cuma… akan menunggu sampai kamu layak untuk itu.”

---

Dan malam itu, di bawah langit musim semi yang pelan-pelan menghangat, dua hati yang dipenuhi ketakutan saling memberi ruang. Bukan untuk memastikan masa depan, tapi untuk mencoba—bahwa mungkin, keberanian tidak selalu datang dalam bentuk pelukan. Tapi dalam bentuk kesediaan untuk tetap bertahan… dan menunggu.