Langit pagi itu tampak jernih, tapi udara mengandung rasa gugup yang tidak biasa. Suara riuh siswa dan tamu festival memenuhi lorong sekolah, diselingi aroma yakisoba, suara tertawa, dan alunan gitar akustik dari aula utama. Seluruh sekolah berubah menjadi sebuah dunia kecil penuh warna, tawa, dan kenangan.
Aika berdiri di depan cermin ruang kelas yang mereka ubah menjadi stan kafe kecil. Ia mengenakan seragam maid sederhana dengan pita merah muda di lehernya, seperti konsep yang diusulkan oleh Riku beberapa minggu lalu. Tapi, tak ada rasa malu di matanya hari itu. Hanya satu: degup jantung yang belum menemukan irama tenang sejak ia bangun pagi tadi.
“Pagi, sang model utama stan kita,” suara Riku muncul dari pintu dengan kamera tergantung di leher.
Aika menoleh dan tersenyum. “Jangan bilang kamu mau motret aku terus hari ini.”
“Kenapa tidak? Kalau kamu menghilang besok, aku masih punya kenangan hari ini,” katanya bercanda. Tapi Aika tahu kalimat itu menyimpan arti yang lebih dalam. Sesuatu yang hanya dipahami mereka yang tahu betapa mudahnya seseorang bisa hilang dari kehidupan tanpa peringatan.
Mereka berdua sibuk hingga siang, melayani pengunjung, menyapa guru, bahkan tampil sebentar dalam acara pentas mini. Semua terasa seperti mimpi ringan. Namun, bagi Aika, waktu terasa berjalan lambat sekaligus cepat. Seperti hatinya tak sabar menjemput sore.
Sementara itu, Ren berkeliaran di area festival, tampak biasa, tetapi hatinya bergolak. Ia melihat Aika di kejauhan beberapa kali—tertawa bersama teman, menyanyi dalam latihan, bahkan nyaris tersandung saat membawa nampan minuman. Tapi ia tak berani menyapa. Tidak di siang hari, bukan di hadapan kerumunan.
Ia memandangi jam tangannya. Pukul 15.24.
Pohon sakura itu terletak di belakang sekolah, dekat taman kecil yang sudah jarang digunakan siswa. Pohon itu… tempat mereka dulu mengikat janji sebagai anak-anak. Janji yang seharusnya tak berarti apa-apa, jika waktu tidak membekukannya.
---
Pukul 16.01. Aika berdiri di sana.
Angin sore menerbangkan helaian rambutnya, dan kelopak sakura jatuh perlahan, seperti membisikkan sesuatu yang hanya ia bisa dengar. Ia mengenakan cardigan abu-abu tipis, dengan pita merah tua yang digenggam erat di tangan kirinya. Pita itu sudah usang, tapi warnanya tetap kuat—seperti kenangan yang tak kunjung pudar.
Di sekeliling taman itu hanya ada suara daun dan angin. Sepi. Tapi Aika tak bergerak.
Pukul 16.08.
Seseorang berlari.
Ren muncul, napasnya memburu, rambutnya berantakan, dan wajahnya sedikit merah karena terburu-buru.
“Maaf… aku—”
“Telat.” Suara Aika pelan, tapi tegas. “Tujuh menit.”
Ren terdiam, mencoba membaca wajahnya. Tapi Aika tak marah. Ia hanya... berbeda.
“Aku pikir kamu nggak datang,” lanjutnya.
“Aku datang. Aku cuma—takut. Takut kamu beneran nunggu.”
Aika menatap mata Ren. “Kalau kamu takut aku nunggu, kenapa datang?”
Ren menarik napas panjang. “Karena aku juga takut kalau aku nggak datang… kamu akan berhenti menunggu selamanya.”
Hening.
Aika membuka telapak tangannya, memperlihatkan pita merah tua yang usang.
“Ingat waktu kita kecil? Kamu bilang kita akan ketemu lagi di bawah pohon ini kalau kita sama-sama jujur.”
Ren mengangguk pelan.
“Aku waktu itu nggak ngerti. Tapi sekarang… aku ngerti. Jujur itu bukan cuma soal bilang ‘aku suka kamu’. Tapi soal berani menerima jawabannya.”
Ia melangkah lebih dekat. “Jadi… ini jawabanku.”
Aika menyerahkan pita itu padanya.
Tangan Ren gemetar saat menerima. “Boleh… aku yang mengikatnya?”
Aika mengangguk.
Dengan hati-hati, Ren berdiri di belakang Aika. Ia menyentuh rambut Aika—halus, wangi, dan familiar. Seperti rumah. Lalu, ia ikat pita itu di sisi kiri, seperti dulu. Tidak sempurna, tapi penuh makna.
Saat selesai, Aika menoleh pelan.
Ren ingin berkata sesuatu. Tapi Aika lebih dulu.
“Aku belum tahu apakah ini cinta yang sama seperti dulu. Tapi aku tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku tidak takut lagi untuk berjalan ke depan… kalau kamu ada di sebelahku.”
Ren tidak menjawab. Ia hanya menarik Aika ke dalam pelukan perlahan. Tidak dramatis. Tidak terlalu erat. Tapi cukup untuk menyampaikan seluruh luka, penyesalan, dan harapan yang mereka simpan sendiri selama ini.
Dan di bawah sakura yang berguguran, dua hati yang sempat patah mulai menyusun ulang cara mereka memaknai janji.
---
Namun saat senja mulai turun, di sudut sekolah yang lain, Riku berdiri memandangi mereka dari kejauhan. Kamera tergantung di lehernya, tapi tidak ia gunakan. Ia hanya tersenyum—kecil, pahit, dan penuh penerimaan.
“Kau akhirnya menjemputnya,” gumam Riku pelan.
Lalu, ia berbalik, berjalan menjauh. Tanpa suara. Tanpa protes.
Namun saat langkahnya sampai di lorong sekolah, ia berhenti. Matanya menangkap seseorang berdiri di ujung lorong.
Seorang gadis dengan pita putih di rambutnya, sedang menatapnya… dan tersenyum.
Dan cerita yang selama ini hanya berkisar pada dua nama—mulai membuka pintu untuk babak yang lebih luas.