"Lu yakin... itu lembahnya?" tanyaku sambil nunjuk ke arah awan gelap di balik pegunungan tinggi.
Zaira mengangguk sambil membentangkan peta holografik dari tangannya. "Yap. Lembah Binary. Di sanalah letak Kode Inti Kedua."
Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya sih… deg-degan. Tapi setelah duel hidup-mati lawan bayangan sendiri di Arena Cermin kemarin, gue ngerasa layak dapet… ya, setidaknya sehari libur. Tapi sayang, dunia ini gak pernah kasih libur.
"Kita harus turun lewat jalur selatan, lewati Hutan Pixel dulu, baru masuk ke dataran kode mentah," jelas Zaira sambil berjalan duluan. Rambut putihnya berkibar pelan. Gue kadang lupa dia NPC — ekspresinya makin manusiawi tiap hari.
Di belakang kami, mendadak terdengar langkah kaki cepat dan suara teriak:
"WOI TUNGGUUU!! GUE IKUT!!!"
Aku menoleh. Dan ya, itu dia — Nox.
"Lu lagi?!" Gue ngakak.
Nox, si rogue NPC yang pernah hampir ngejebak gue di Episode Bug Tower, sekarang malah ngikutin kami dari belakang sambil bawa... keranjang anyaman?
"Apa itu, Nox?" tanya Zaira curiga.
"Piknik basket. Masa ke lembah gelap nggak bawa bekal?"
"..."
"Lu pikir ini liburan?" tanyaku sinis.
Nox nyengir. "Bro, dunia kayak gini nggak punya banyak tempat indah. Lembah Binary emang penuh monster error, tapi katanya pemandangannya cakep. Ada air terjun data, danau dengan refleksi kode, bahkan bunga-bunga meta yang bisa nyanyi."
"...Meta bunga yang bisa nyanyi?"
"Iya, tapi kadang fals."
Kami bertiga akhirnya jalan bareng. Anehnya, hari itu suasana terasa beda. Setelah babak belur di bab sebelumnya, kali ini petualangan kami terasa kayak... field trip versi neraka digital.
Di tengah perjalanan, kami melewati Hutan Pixel. Dedaunan kotak-kotak, batang pohon yang kadang glitch dikit, dan burung-burung berbentuk sprite 16-bit beterbangan. Nox sempat mencoba nangkep satu dan dikena patuk sampai rambutnya gosong dikit.
"Heh! Gue cuma mau main-main!" protes Nox sambil tiup rambutnya yang ngebul.
Gue ketawa kecil. Zaira juga senyum. Aneh ya. Di dunia digital yang bisa berubah jadi berbahaya kapan aja, kami malah ketawa-tawa.
Kami duduk sebentar di sebuah batu besar di tengah hutan. Nox buka keranjangnya — isinya sandwich meta, jus binary, dan... sebungkus keripik kode.
"Lu nyolong ini dari sistem inventori, ya?" tanyaku.
"Gue gak nyolong. Gue… ngeloop supply box dari zona aman. Legal," jawab Nox sambil nyengir.
Kami makan, duduk bertiga sambil lihat cahaya sore menembus celah-celah daun pixel. Zaira diam saja, tangannya sibuk mengelus burung sprite kecil yang duduk di pundaknya.
"Nox," aku mulai, "lu ikut kita karena apa sih?"
Dia mendongak. Tatapannya serius sesaat. "Gue dulu diciptakan cuma sebagai NPC support, tahu gak? Gak ada cutscene, gak ada quest penting. Cuma buat isi background kota. Tapi semenjak lu datang... dunia ini kayak mulai hidup. Gue ngerasa... gue bisa milih jalan gue sendiri. Makanya gue ikut."
Gue menatapnya, agak terkejut. Nox kadang kayak badut, tapi dalam beberapa momen, dia punya kedalaman. Mungkin karena... dia juga hasil coding gue yang dulu, pas gue lagi eksperimen random.
"Jadi lo mau ikut sampai akhir?" tanya Zaira pelan.
Nox angguk. "Selama masih bisa bantu, gue ikut. Gue mau liat akhir dunia ini, kayak apapun bentuknya."
Aku tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, gue gak ngerasa sendirian di dunia ini.
Setelah makan dan istirahat, kami lanjut jalan. Hutan Pixel perlahan berubah jadi dataran luas. Di kejauhan, Lembah Binary mulai terlihat.
Bayangkan ngeliat Grand Canyon, tapi digital. Dinding-dinding tebingnya seperti potongan kode rusak yang bergerak perlahan. Awan di atasnya berwarna hijau glitchy. Tapi di bawah sana, ada sungai berwarna biru terang, mengalir seperti aliran data.
"Wow…" aku berdecak kagum.
Nox berseru, "Liat tuh! Air terjun data-nya kayak disk defrag!"
Dan di tepi lembah, kami lihat sekumpulan Meta-Bunga — bunga digital yang mekar dan bersinar... sambil menyanyikan lagu random.
♫ Kode cinta ini... tak bisa di-debug… ♫
♫ Hatiku corrupted… olehmu yang compile-nya salah ♫
"HAH APAAN ITU?!" Gue ngakak sampai jongkok.
"BUNGA GALAU!" teriak Nox sambil gelinding.
Zaira pun gak tahan, dia sampai nutup muka dengan tangan. “Kayaknya ini sisa-sisa coding lama kamu, Raka…”
“Gue gak pernah nulis bunga yang bisa nyanyi lagu cinta error begini!”
Kami memutuskan istirahat sebentar di dekat danau refleksi kode. Airnya bening banget, tapi kalau dilihat lama-lama, memantulkan cuplikan masa lalu. Aku lihat diriku sendiri waktu pertama bikin game ini — masih pakai laptop tua, mata sembab, kopi dingin, dan semangat naif.
Aku duduk diam.
Zaira datang duduk di sampingku.
"Kamu tahu," katanya, "tempat ini menyimpan semua fragmen niat penciptanya. Dunia ini bukan cuma data. Tapi juga harapan."
Aku menoleh. "Harapan?"
"Iya. Kamu mungkin pikir kamu cuma bikin game. Tapi setiap dunia, sekecil apapun, adalah cerminan hati penciptanya. Lembah ini... ada karena kamu pernah berharap dunia ini bisa jadi tempat pelarianmu."
Aku terdiam.
Mungkin benar. Saat hidup di dunia nyata lagi berat-beratnya, gue bikin dunia ini. Bukan cuma buat mainan. Tapi sebagai tempat aman, tempat di mana gue bisa kontrol segalanya. Tapi ternyata... gue malah kejebak di sini.
Dan anehnya... gue mulai gak pengin cepat-cepat keluar.
Tiba-tiba langit di atas Lembah Binary berubah. Awan hijau jadi hitam. Guntur digital menyambar.
Zaira berdiri. "Kode Inti Kedua telah aktif."
Nox langsung ambil pedang kecilnya. "Waktunya kerja, gaes."
Aku pun berdiri, mencabut pedangku.
Petualangan kami belum selesai. Tapi hari ini… kami sempat tertawa, makan sandwich meta, dan lihat bunga yang nyanyi lagu galau. Dan itu cukup buat ngisi ulang semangat.
"Let's go," ucapku. "Kita turun ke lembah."