Langit pecah.
Serius. Pecah—kayak kaca retak yang jatuh pelan-pelan dari atas langit.
Kami bertiga berdiri membeku di tengah padang rumput yang berubah bentuk jadi medan abu-abu. Segala warna memudar. Burung-burung yang tadi beterbangan hilang. Angin berhenti. Suara pun lenyap.
Dan retakan itu—muncul dari atas awan, menjalar ke segala arah.
“Apa dunia ini… rusak?” gumam Ayla.
Aku membuka panel sistem. Tapi layar tidak stabil. Tulisan-tulisan berkedip. Bahkan UI berubah bentuk jadi fragmentasi huruf-huruf acak.
> [Error 9x144: Dimensi Tak Terdeteksi]
[Status: Awakening System — Phase 1 Completed]
[Phase 2: Incoming Transmission…]
Tiba-tiba, suara asing muncul. Tidak seperti notifikasi sistem biasanya. Suara ini... lebih manusiawi. Dalam dan menggema, seolah datang dari luar dunia ini.
> “Raka Ardiansyah. Kau berhasil melewati percobaan pertama. Tapi sistem sudah tahu... bahwa kau adalah pembuat dunia ini. Dan itu adalah pelanggaran mutlak dalam Protokol Dunia Virtual.”
Aku membeku.
Ayla memandangku, keningnya berkerut. “Raka… siapa yang barusan ngomong?”
“Aku nggak tahu,” kataku, pelan. “Tapi suaranya kayak… AI. Atau… semacam entitas pengawas sistem.”
> “Kau tidak seharusnya masuk ke dunia yang kau buat. Sistem telah mengidentifikasimu sebagai Anomali Kesadaran. Maka, dimensi ini akan dihancurkan secara bertahap—kecuali kau menemukan kunci utama untuk stabilisasi.”
“Kunci utama?” ulang Duren. “Apa itu kunci keluar?”
Ayla menggeleng. “Bukan. Kayaknya itu… semacam item sistem, atau orang, atau kode rahasia yang bisa menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.”
Aku mengepalkan tangan. “Berarti ada jalan buat nyelamatin dunia ini. Buat nyelamatin kalian juga.”
Duren menatapku. “Tunggu. Maksud lo… dunia ini beneran bakal hancur?”
Aku angguk perlahan.
Dan seperti menjawab keraguan kami, tanah mulai retak. Gedung-gedung di kejauhan—yang sebelumnya berdiri megah—mulai runtuh menjadi piksel-piksel terbang.
“ASTAGA!” Ayla menjerit. “Itu kota pusat! Itu tempat kita latihan dulu!”
“Gue tahu!” kataku. “Semuanya diretas atau dihapus dari dalam!”
Tiba-tiba, ikon baru muncul di panelku:
> [Hidden Mission Unlocked: Save The Root Code]
Objective: Temukan 3 Fragmen Kunci Sebelum Dimensi Kolaps Total (Sisa waktu: 48 jam)
Muncul peta hologram baru. Tiga lokasi ditandai merah:
1. Menara Langit Runtuh
2. Perpustakaan Terkunci di Kota Timur
3. Lembah Cermin Gelap
“Gila,” desahku. “Ketiganya dulunya cuma konsep level yang belum aku rilis…”
Duren menyipit. “Berarti tempat-tempat ini belum stabil. Kita bakal masuk ke zona bug penuh anomali, ya?”
Aku angguk. “Tapi di situlah fragmen kuncinya disimpan.”
Ayla menggenggam tanganku. “Kita harus pergi sekarang, kan?”
“Ya. Mulai dari yang terdekat dulu—Menara Langit Runtuh.”
---
Perjalanan ke sana nggak gampang.
Karena separuh dunia udah berubah jadi zona glitch. Kadang tanah tiba-tiba hilang dan muncul lagi. Ada bagian langit yang bolong, memperlihatkan void ungu di baliknya.
Beberapa NPC juga bertingkah aneh—ada yang membeku di tempat, ada yang melayang, bahkan ada yang wajahnya berubah jadi noise hitam-putih.
Kami menghindari semua itu dan tiba di kaki menara sebelum senja.
Menara itu dulunya adalah bangunan prototipe untuk area ‘Sky Kingdom’ yang belum sempat aku aktifkan. Sekarang, menara itu terlihat tua, lapuk, dan patah di bagian tengah—seperti digerogoti waktu.
Ayla menatap ke atas. “Fragmennya… ada di puncak?”
Aku membuka peta. “Iya. Tapi jalurnya nggak stabil. Kita harus cari jalan lewat sisi yang nggak keruntuhan.”
Begitu kami masuk ke dalam menara, suasana berubah. Lampu-lampu di dinding menyala sendiri. Tangga melingkar muncul, mengambang di udara.
Dan setiap lantai menara punya semacam ujian kesadaran.
Di lantai kedua, aku harus menghadapi versi diriku sendiri—tapi yang gagal. Yang menyerah. Yang bilang, “Harusnya lo mati aja waktu kecelakaan itu. Dunia nyata lebih parah daripada dunia ini.”
Aku menghadapinya dengan mantap. “Aku di sini bukan buat kabur. Aku di sini buat benerin semua ini.”
> [Trial Clear — Kesadaran Stabil]
Di lantai kelima, Ayla harus menghadapi ingatan masa kecilnya: sendirian, ditinggal orang tuanya, terjebak dalam game sebagai karakter tanpa nasib. Ia menangis, tapi tetap melangkah.
Di lantai ketujuh, Duren dihadapkan dengan pilihan: menyelamatkan dirinya sendiri atau kami berdua yang jatuh ke jurang. Dia memilih jatuh bersama.
> [Trial Clear — Kepercayaan Penuh]
Akhirnya, kami tiba di puncak menara. Ada altar dengan bola kristal berwarna emas.
Aku mendekat dan menaruh tanganku.
> [You have obtained: Root Fragment 1 — Heart of Origin]
Seketika, retakan di langit perlahan menyusut sedikit.
Tapi kami tahu… masih ada dua lagi.
> Waktu tersisa: 41 jam.
---
Saat malam tiba dan kami mendirikan tenda di luar menara, aku memandangi langit yang mulai hancur itu.
Ayla duduk di sebelahku. “Raka… kalau dunia ini beneran hancur, apa yang terjadi pada kami? Pada semua orang di sini?”
Aku diam sebentar.
“Nggak tahu pasti. Tapi kayaknya… kalian bakal lenyap. Bukan mati. Tapi… terhapus.”
Dia mengangguk pelan. “Kalau gitu, ayo selamatin semuanya.”
Aku menoleh padanya. “Kamu percaya aku bisa?”
Ayla tersenyum kecil. “Aku bukan cuma percaya. Aku milih percaya.”
Dan di kejauhan, suara sistem muncul kembali—suara berat dan menakutkan dari entitas misterius:
> “Langkahmu benar, Raka. Tapi hati-hati. Semakin kau dekat pada akar kebenaran, semakin sistem akan mengaktifkan penjaga lapis dalam. Tidak semua dari mereka ingin dunia ini diselamatkan.”
Aku merinding.
Di balik semak, bayangan tinggi besar berdiri diam—dengan mata merah menyala.