Angin tak lagi terasa seperti angin biasa. Ia bergerak seperti gelombang data, mengiris udara dengan serpihan partikel cahaya dan glitch yang berpendar. Setiap tarikan napas terasa seperti menyerap fragmentasi dunia—dunia yang pelan-pelan kehilangan bentuknya sebagai “game”, dan mulai menjelma menjadi sesuatu yang jauh lebih aneh: realitas yang diciptakan ulang oleh kehendak yang kacau.
Di tengah alun-alun kota Eldaria yang kini rusak total—bangunan runtuh, jalanan terbelah, dan langit seperti kertas terbakar—Raka berdiri, menatap sosok di hadapannya yang menyerupai dirinya sendiri namun memancarkan aura asing. Sosok itu adalah Prototype 000, entitas buatan yang seharusnya sudah terhapus sejak fase awal penciptaan dunia ini, namun entah bagaimana berhasil bertahan, bersembunyi di celah logika, menunggu waktu untuk bangkit.
"Kenapa sekarang?" tanya Raka, suaranya pelan namun tegas, matanya menatap tajam tanpa berkedip. "Kenapa kamu muncul sekarang, saat dunia ini sudah mulai stabil?"
Prototype 000 menyeringai. "Karena stabilitas itu ilusi. Kamu kira dunia ini damai hanya karena kamu bisa jalan-jalan, ngetik script, dan ngobrol sama NPC? Dunia ini—yang kamu sebut game—adalah medan perang dari ratusan kemungkinan logika. Dan aku... adalah salah satu logika yang kamu buang. Tapi aku tidak pernah benar-benar mati."
Raka mencengkeram tangannya. Kode-kode yang terukir samar di pergelangan tangan kanan dan kiri mulai bercahaya. Kemampuan barunya, Code Rewrite, kini tak hanya berfungsi sebagai senjata, tapi juga sebagai pertahanan mental terhadap realitas yang terus-menerus berubah.
"Aku nggak akan biarin kamu ngerusak ini semua," ujar Raka.
"Lucu," balas Prototype 000 sambil melangkah pelan ke depan, tubuhnya berpendar glitch hitam-keunguan. "Karena aku nggak ngerasa ini rusak. Aku hanya... mengembalikan hakku. Dunia ini seharusnya dibangun dengan dasar 'kemurnian logika', bukan kompromi emosi kayak yang kamu buat."
---
Langit meledak dalam cahaya keemasan dan ungu. Petir data menyambar ke segala arah. Dari kedua tangan mereka, pancaran kode terlempar seperti peluru tak kasatmata. Mereka tidak lagi hanya bicara; mereka menulis ulang realitas di depan mata, dalam bentuk duel digital yang terasa nyata—terlalu nyata untuk ukuran game.
Raka menyerang duluan. Tangannya mengayun ke depan, dan dari jari-jarinya muncul rangkaian perintah:
if enemy.aura == "glitch": enemy.form = "tangible"
Tubuh Prototype 000 langsung berubah menjadi padat—bisa disentuh. Raka melompat, meninju dengan kekuatan augmented reality yang terbungkus kilatan listrik kode.
Tapi Prototype 000 malah tersenyum, tubuhnya kembali menjadi asap glitch, lalu membalas:
rewrite(player.memory[core]): inject("fear")
Tiba-tiba, Raka melihat kilasan ingatan yang menyakitkan—wajah ibunya, saat memintanya berhenti main game dan kembali ke dunia nyata. Kilasan dirinya yang duduk sendirian di ruang gelap, dengan laptop rusak dan tubuh lelah.
“Ini bukan pertarungan skill,” ujar Prototype 000. “Ini pertarungan siapa yang berani menghadapi dirinya sendiri.”
Raka menggertakkan gigi. "Lu pikir gua takut sama masa lalu gua?"
"Lu nggak takut," bisik Prototype 000 sambil muncul tepat di belakangnya, "tapi lu belum benar-benar nerima."
---
Sementara itu, di pinggir arena, Mira, Kazan, dan Nira hanya bisa menyaksikan. Setiap kali mereka mencoba masuk, sebuah dinding transparan penuh simbol—semacam firewall realitas—menghentikan mereka.
“Mereka bertarung di layer sistem,” kata Mira. “Ini bukan dunia fisik. Ini lapisan kode terdalam. Kita nggak bisa masuk kecuali kita juga punya kemampuan rewrite penuh.”
Kazan memukul dinding itu, frustrasi. “Jadi kita cuma bisa nonton dia mati?”
“Dia nggak akan mati,” jawab Mira sambil mengepalkan tongkat sihirnya. “Kalau aku kenal Raka, dia akan menulis ulang takdirnya sendiri.”
---
Kembali ke tengah arena digital, Raka sudah tersungkur, napasnya terengah. Tubuhnya berkeringat, walaupun ini hanya dunia virtual. Tapi rasa sakitnya nyata. Luka-luka digital di tubuhnya berdarah data, dan matanya mulai kehilangan fokus.
Prototype 000 berdiri di atasnya, tangan terangkat, siap menghancurkan memori inti Raka.
"Tahu kenapa gua bisa bertahan selama ini, Rak?" katanya pelan. "Karena lu pernah pengin jadi kayak gua. Dingin. Rasional. Jenius. Tapi lu takut. Jadi lu buang gua. Tapi sekarang? Sekarang gua balik buat ngambil alih."
Raka menatap langit. Potongan-potongan kenangan berterbangan: tawa Tika, pesan suara dari adiknya, malam-malam tanpa tidur saat menyusun script level pertama. Dan satu hal yang menyadarkannya—semua ini bukan soal logika atau kesempurnaan.
Ini soal rasa.
Perlahan, Raka bangkit. Tubuhnya gemetar, tapi matanya menyala.
"Lu salah satu bagian gua. Tapi bukan satu-satunya. Dunia ini... bukan cuma sistem. Dunia ini punya ‘cerita’. Dan gua udah milih jadi penulisnya."
Raka mengangkat tangan, dan kali ini bukan cuma satu baris kode. Tapi satu paragraf penuh yang keluar dari dalam dirinya:
if (core.memory.purpose !== "perfect system") {
world.logic = "imperfection_with_meaning";
player.resolve += 100;
Prototype_000.access = "DENIED";
override(Prototype_000, "memory_fragment") => delete();
}
Seketika dunia berguncang. Tanah terbelah, langit menyala. Prototype 000 menjerit, tubuhnya mulai hancur oleh logika baru yang ditulis Raka—logika yang tidak lagi berdasarkan kesempurnaan sistem, melainkan makna, emosi, dan keterikatan.
"Apa yang lu lakuin...!" teriak Prototype 000, setengah tubuhnya berubah jadi debu digital.
"Gua nulis ulang cerita ini. Dan lu... bukan tokoh utamanya."
---
Dengan satu gerakan terakhir, Raka mendorong tangannya ke depan. Cahaya putih menyelimuti seluruh arena, dan Prototype 000 menghilang dalam badai data yang menutup dirinya sendiri.
Dunia kembali hening. Langit perlahan berubah menjadi biru. Fragmen bangunan mulai menyatu. NPC mulai bergerak normal. Dan firewall yang memisahkan Raka dan teman-temannya runtuh.
Mira berlari ke arah Raka yang hampir jatuh, menangkap tubuhnya sebelum menyentuh tanah.
“Kamu berhasil…” ucapnya lirih.
Raka mengangguk pelan. “Tapi aku juga kehilangan sesuatu.”
“Apa?” tanya Mira.
Raka menatap ke langit. “Sebagian diriku yang dulu. Tapi itu harga yang pantas dibayar... demi dunia yang lebih manusiawi.”