Strategi, Pasukan, dan Rasa yang Tak Terduga

Udara pagi di ibu kota kerajaan Aldebaran terasa lebih hangat dari biasanya, seolah menyambut sesuatu yang besar akan terjadi hari ini. Burung-burung berkicau riang di langit yang bersih dari awan gelap, dan sinar matahari pagi menari-nari di atas atap istana, memantulkan cahaya keemasan yang menenangkan sekaligus menggetarkan hati.

Raka berdiri di balkon kamarnya yang megah, memandangi halaman luas di bawahnya, tempat para kesatria sedang melakukan latihan tempur pagi. Di sampingnya berdiri Mirana, yang sejak kejadian malam itu tampak lebih dekat, meskipun keduanya belum pernah membicarakan perasaan secara langsung. Ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan lewat kata-kata, hanya dengan tatapan atau diam yang nyaman, semuanya seolah sudah cukup.

"Pasukan kita sudah mulai terbentuk," ujar Mirana sambil menyilangkan tangan di dada. "Tapi kalau kita mau menghadapi Zareth dalam waktu dekat, kita butuh strategi. Dan... keajaiban."

Raka menoleh, menatap gadis itu lekat-lekat. "Aku nggak percaya keajaiban bakal datang kalau kita cuma duduk dan berharap. Kita yang harus menciptakan keajaiban itu sendiri."

Mirana mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Itu alasan kenapa aku percaya kamu akan menang."

Ucapan itu menghantam jantung Raka lebih keras dari suara guntur di langit perang. Hatinya yang semula fokus pada taktik dan logika mendadak bergetar. Tapi Raka menghela napas, mencoba menjaga fokusnya. Hari ini adalah hari yang penting.

---

Di ruang strategi, para jenderal kerajaan dan beberapa anggota party Raka sudah berkumpul. Peta besar tergelar di meja bundar, dengan bendera-bendera kecil yang menunjukkan posisi pasukan Zareth yang mulai merangsek dari utara.

Gavin, kesatria berambut merah yang kini menjadi tangan kanan Raka, mengetukkan jarinya di titik kritis di peta.

"Kalau kita membiarkan mereka lewat lembah Morthal, kita bakal kehilangan tiga desa sekaligus dalam dua hari," katanya dengan nada berat. "Tapi kalau kita kirim pasukan sekarang, mereka belum siap."

Raka memandangi peta dengan seksama. Ia mengingat setiap skrip, setiap algoritma AI musuh yang ia tanam sendiri saat merancang game ini. Tapi sekarang, dia bukan lagi pemain yang berada di balik layar—dia berada di tengahnya. Dan semua nyawa ini... bukan sekadar kode.

"Aku tahu sistem mereka," kata Raka pelan, tapi tegas. "Zareth pasti akan mengirim penjajakan di malam hari. Kita buat jebakan. Kita beri mereka ilusi kemenangan, lalu... boom." Ia menggeser satu bendera kecil, meletakkannya tepat di sisi kanan lembah. "Pasukan bayangan akan menutup dari samping."

Semua orang menatapnya. Bahkan jenderal tua yang semula meragukan kepemimpinan Raka kini mengangguk setuju. Strategi itu gila—tapi bisa berhasil.

"Aku akan ikut turun ke medan," ujar Raka.

Mirana segera memprotes. "Kau tidak perlu berada di sana langsung! Kau pemimpin mereka sekarang!"

"Aku pemimpin karena mereka percaya aku bisa melindungi mereka. Kalau aku cuma duduk di menara ini, apa bedanya aku dengan penguasa-penguasa sombong lainnya?"

Kata-kata Raka membuat ruangan itu terdiam. Lalu, satu per satu, para jenderal menunduk memberi hormat.

---

Malam itu, di pinggiran lembah Morthal, udara kembali berubah. Langit yang tadi biru berubah kelabu, seolah tahu akan ada darah yang tertumpah. Raka berdiri di atas bukit kecil, mengenakan armor ringan dan membawa pedang bercahaya yang dulu ia ciptakan untuk event khusus—dan kini justru akan ia pakai untuk bertarung sungguhan.

Di sampingnya, Gavin dan Mirana berdiri siap. Di belakang mereka, ratusan pasukan bayangan bersembunyi di balik pohon dan batu, menanti sinyal untuk menyerang.

"Lima... empat... tiga..." bisik Gavin.

Dari kejauhan, terdengar suara derap kaki—pasukan musuh datang. Raka mengangkat tangannya, dan dalam hening yang begitu menegangkan, ia menurunkan tangan itu dengan tegas.

Tanda perang dimulai.

Panah api beterbangan di langit malam. Jeritan pertama terdengar. Raka melompat ke medan, memotong musuh dengan gaya bertarung yang selama ini hanya ia lihat dari layar komputer. Setiap gerakan terasa alami, seperti tubuhnya dan dunia ini menyatu.

Musuh sempat terkejut dengan serangan mendadak itu, dan dalam waktu kurang dari satu jam, pasukan penjajakan Zareth berhasil dipukul mundur.

Namun perang ini... belum selesai.

---

Di akhir malam, Raka kembali ke perkemahan. Bajunya sobek, ada darah—bukan hanya dari musuh, tapi juga dari luka di lengannya sendiri. Ia terduduk di depan api unggun, menatap langit yang kini bertabur bintang.

Mirana datang membawa ramuan penyembuh dan duduk di sampingnya. Diam lama, sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku takut kamu mati tadi."

Raka tersenyum lemah. "Aku juga takut. Tapi aku lebih takut kalau kita menyerah."

Mirana menatapnya, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menyandarkan kepalanya di bahu Raka.

Untuk sesaat, dunia terasa sunyi. Tak ada perang. Tak ada sistem. Tak ada quest. Hanya mereka berdua, dan detak jantung yang saling berdetak berdampingan.

---

Keesokan paginya, kabar kemenangan mereka menyebar ke seluruh negeri. Rakyat mulai percaya—bahwa pemimpin baru mereka bukan hanya jenius, tapi juga pemberani. Dan Zareth... dia pasti tahu, bahwa permainannya sekarang sudah dimasuki pemain utama.

Tapi entah mengapa, Raka merasa... ini semua baru permulaan.