Langit hari itu mendung, menggantung berat seperti dada Raka yang perlahan mulai dihantam perasaan aneh—bukan rasa takut, tapi lebih seperti pertanda.
Angin membawa bisikan yang terasa asing di telinganya, semacam gemuruh yang hanya bisa didengar oleh mereka yang pernah merancang sesuatu... dan kini dipaksa bertanggung jawab atas ciptaannya sendiri.
Raka berdiri di atas menara penjagaan barat kerajaan Aldebaran, memandangi tanah yang jauh di ujung cakrawala—tempat kabut gelap perlahan menjalar, menyelimuti hutan dan desa-desa kecil yang satu per satu menghilang dari peta mereka.
Mirana muncul dari balik pintu menara, membawa laporan pagi. "Desa Dunforth jatuh, hanya dalam semalam. Nggak ada yang selamat."
Raka memejamkan mata, menggenggam pagar besi menara itu dengan erat, seolah mencoba menahan diri untuk tidak meninju udara. "Cepet banget..."
"Dan ada yang lebih aneh lagi," lanjut Mirana, suaranya menegang. "Dari sisa-sisa reruntuhan, ditemukan simbol... simbol yang sama persis kayak lambang studio lo waktu masih di dunia asli."
Raka langsung menoleh, tatapannya menusuk. "Lambang DevCore?"
Mirana mengangguk pelan, wajahnya ikut tegang. "Simbol itu diukir di tanah... pakai darah."
Raka mendadak merinding, dari ujung kaki sampai tengkuk. Itu bukan hal yang biasa. Itu bukan script. Itu bukan dari sistem. Ini adalah respon. Dunia ini mulai merespons dirinya.
---
Di ruang bawah tanah istana, Raka duduk di depan meja besar yang dipenuhi blueprint, peta, dan catatan-catatan tua dari perpustakaan kerajaan. Gavin, Mirana, dan seorang penyihir tua bernama Zedor ikut hadir.
Di tengah meja, terpampang sebuah peta misterius—peta wilayah tersembunyi yang dulunya hanya bonus easter egg di dalam game. Tempat itu bernama Valemortis, dan tidak pernah dimaksudkan untuk dimasuki pemain biasa.
"Valemortis adalah wilayah yang nggak pernah dikembangkan sampai akhir, kan?" tanya Gavin sambil mengernyit.
"Iya," jawab Raka. "Gue sempet ngerancang tempat itu cuma buat fun. Isinya cuma eksperimen AI paling awal. Tapi kayaknya... ada yang bangunin mereka."
Zedor, si penyihir tua, mengetukkan tongkatnya ke lantai. "Ada yang lebih parah dari itu. Aku menemukan mantra kuno... mantra yang baru aktif kalau seseorang dari luar dunia ini datang. Nama itu disebut—Raka."
Ruangan itu langsung senyap. Bahkan lilin di dinding seolah enggan berkedip.
Raka berdiri pelan. "Nama gue?"
Zedor mengangguk. "Ya. Nama 'Raka' tertulis dalam teks kuno di menara sihir Aetheria—yang konon berdiri sebelum dunia ini punya raja, sebelum ada kerajaan, sebelum ada manusia. Teks itu menyebutkan, 'akan datang sang Pemrogram Agung, membawa harapan... atau kehancuran.'"
Semua menatap Raka dengan campuran kaget, takut, dan bingung. Termasuk dirinya sendiri.
"Berarti... Zareth tahu gue siapa?"
Zedor menjawab, "Zareth bukan cuma tahu. Dia... menunggumu."
---
Malam itu, Raka duduk sendirian di taman belakang istana. Lampu-lampu sihir menggantung di udara, cahayanya melayang-layang lembut seperti kunang-kunang. Tapi suasana hatinya jauh dari tenang.
"Kalau semua ini jadi bumerang dari ciptaan gue sendiri, apa gue pantas nyelamatin mereka?" gumamnya lirih.
Langkah kaki pelan terdengar dari belakang. Mirana datang membawa dua gelas teh hangat dan duduk di sampingnya. "Lo tahu nggak... bahkan kalau lo bukan pembuat dunia ini, bahkan kalau lo bukan siapa-siapa, bahkan kalau lo cuma orang asing yang tiba-tiba muncul, aku... aku tetap bakal percaya sama lo."
Raka menoleh perlahan. Tatapan Mirana malam itu nggak biasa—lebih dalam, lebih tenang, lebih tulus dari semua ekspresi yang pernah dia lihat dari gadis itu. Dan entah kenapa, di tengah kekacauan ini, hatinya justru terasa sedikit... tenang.
"Lo nggak takut sama gue?" tanya Raka pelan.
Mirana tersenyum kecil. "Takut, iya. Tapi lebih takut kehilangan lo."
Raka terdiam. Dunia ini memang semu. Tapi perasaan ini... nggak.
---
Keesokan paginya, pasukan dipersiapkan untuk perjalanan menuju Valemortis. Mereka tahu itu akan menjadi perjalanan sekali jalan. Wilayah itu tidak pernah ditaklukkan oleh siapapun.
Bahkan dalam kode game-nya dulu, Raka membuat Valemortis sebagai semacam neraka dunia—hutan abadi yang dipenuhi makhluk bayangan, lembah yang menyerap cahaya, dan menara hitam tempat semua ketakutan lahir.
Namun mereka tidak punya pilihan. Jika Zareth sedang membangkitkan semua AI gagal dan bug terkutuk yang dulu dibuang, maka hanya penciptanya sendiri yang bisa menutup pintu neraka itu.
Raka menaiki kudanya, memimpin di barisan depan. Di belakangnya, Gavin, Mirana, dan tiga ratus pasukan elit bersiap mengikuti perjalanan yang bisa mengubah nasib dunia ini.
Masyarakat kerajaan berdiri di tepi jalan, memberikan salam perpisahan. Ada yang menangis. Ada yang memeluk. Ada yang menatap dengan mata penuh harap.
Saat iring-iringan pasukan melewati gerbang utama, Raka sempat menoleh ke belakang, ke arah istana dan tanah yang sudah mulai ia anggap rumah.
"Jaga tempat ini," bisiknya.
Lalu mereka berangkat.
---
Tiga hari perjalanan menuju Valemortis tidak mudah. Mereka melewati desa-desa kosong yang hancur, hutan yang terdengar seperti berbisik, dan langit yang semakin gelap meski waktu masih pagi.
Hari keempat, mereka tiba di perbatasan—tempat langit berubah ungu kelam, dan tanah retak seperti kulit bumi yang terbakar dari dalam.
Dan di sanalah... mereka melihatnya.
Sebuah pilar hitam setinggi gunung, menjulang dari tengah tanah tandus, dengan aura yang berdenyut seperti jantung.
Pilar itu berdiri sendirian, dan di puncaknya—berdiri sosok berjubah hitam dengan dua sayap transparan seperti bayangan kertas yang robek.
"Zareth..." gumam Raka, menggenggam pedangnya.
Zareth menoleh.
Dan yang membuat Raka hampir menjatuhkan pedangnya adalah... saat mulut makhluk itu terbuka dan berkata dengan jelas:
> “Raka. Akhirnya... kamu datang juga.”